13. Yang Berjarak

7K 455 18
                                    

"Jadi, kamu nggak mau tinggal dengan saya? Sekarang ... saya suami kamu kalo kamu lupa, Jingga."

Lelaki itu menghampiri Jingga yang masih berdiri di depan meja rias. Ia berdiri tepat di hadapan Jingga dan hanya berjarak beberapa senti. Dari posisi sedekat ini Arsen dapat melihat kabut amarah yang tersirat pada bola mata Jingga.

Untuk pertama kalinya Arsen melihat Jingga dalam kondisi seperti itu. Diliputi amarah yang jika Arsen tak salah menebak penyebabnya adalah apa yang sudah ia lakukan tanpa sepengetahuan gadis itu.

"Kenapa nggak bilang dulu sama saya? Yang ngekos di sana saya bukan Pak Arsen. Dan juga kenapa Pak Arsen seenaknya mengambil keputusan itu?" cerca Jingga dengan nada kesal yang amat kentara.

"Saya bilang atau nggak bilang hasil akhirnya akan tetap sama, kan? Kamu akan tetap tinggal dengan saya," jawab Arsen masih dengan intonasi yang tenang.

"Jadi, menurut Pak Arsen pendapat saya nggak penting, gitu?" Jingga membalas dengan nada agak tinggi.

Napas Arsen terhela pelan. Berusaha menetralkan kekesalan yang ikut terpancing muncul ke permukaan.

"Saya nggak pernah berpikir seperti itu, Jingga," sanggah Arsen.

Gadis berkaos biru laut dengan lengan pendek itu mendengus pelan. Bibirnya tersenyum kecut usai mendengar kalimat sanggahan dari Arsen.

"Asal Pak Arsen tau, ya. Meskipun pernikahan kita terjadi karena unsur terpaksa, tapi saya nggak pernah punya pikiran untuk meremehkan apalagi nggak memikirkan Pak Arsen. Setiap langkah yang ingin saya ambil ... saya selalu memikirkan Pak Arsen. Tapi, ternyata apa yang saya lakukan nggak berlaku juga untuk Pak Arsen."

Wajah Arsen tampak begitu keruh setelah Jingga mengeluarkan seluruh uneg-uneg dan kekecewaannya terhadap Arsen. Hal yang sama pun terjadi pada Jingga.

Detik ini, Jingga memang benar-benar kecewa pada Arsen. Ia tidak menyangka kalau Arsen akan bersikap seperti itu.
Jingga tidak masalah ketika ia memang harus tinggal dengan lelaki itu. Ia juga sangat sadar kalau akhirnya mereka memang harus tinggal satu atap. Tapi, yang berhasil mengusik relung hati Jingga adalah kenyataan bahwa Arsen tak sedikitpun melibatkannya dalam rencana-rencana yang memang berkaitan dengan mereka berdua. Arsen bahkan mengurus kepindahan Jingga dari kosan bu Mirna tanpa mau repot-repot menanyakan pendapat Jingga atau sekedar memberi tahu Jingga. Sikap dan tindakan Arsen terkesan seenaknya.

Kini, keduanya saling diam dan hanya menatap mata satu sama lain. Tak lagi ada kata-kata yang terucap. Jingga sedang berusaha menenangkan diri sementara Arsen tenggelam dalam rangkaian kata yang Jingga lontarkan.

Tampaknya lelaki itu sudah mulai menyadari letak kesalahannya. Namun, egonya masih terlalu tinggi. Sehingga kata maaf tak kunjung terlontar dari bibirnya.

Ya, pada kenyataannya lelaki memang seperti itu bukan? Tidak pernah bisa meninggalkan egonya. Kadang sadar tidak sadar lelaki akan lebih memilih memberi makan egonya. Lalu, melupakan hal-hal yang harusnya lebih penting. Lebih pantas untuk diperjuangkan.

Menghela napas pelan, akhirnya Jingga memilih beranjak pergi. Ia berniat ke dapur untuk membantu tante Santi yang hari ini memasak sarapan untuk seluruh keluarga. Namun, sebelum benar-benar keluar, Jingga sempatkan untuk menoleh pada Arsen.

"Program pertukaran mahasiswa ... saya udah mengundurkan diri," ucap Jingga.

Tubuh Arsen tampak terkesiap sesaat. Lalu, dengan cepat tubuh tinggi atletis itu berbalik menghadap Jingga. Bibirnya yang tipis dan pink alami karena tak pernah menyentuh rokok terlihat terbuka kemudian tertutup lagi. Seperti ingin mengatakan sesuatu, namun terhalang oleh rasa bersalah juga egonya.

Jingga yang semula berniat menunggu hingga Arsen memberikan respon pun akhirnya memilih pergi dari sana. Entah kenapa seiring langkah yang terayun rasa kecewa yang Jingga rasakan semakin menumpuk saja.

Mendesah pasrah sembari menuruni satu demi satu anak tangga, Jingga lantas bergumam, "Apa yang lo harapkan dari pernikahan yang terjadi atas dasar terpaksa, Jingga?"

***

Sejak perdebatan pagi itu hubungan Jingga dan Arsen menjadi renggang. Mereka jarang berkomunikasi jika hanya berdua saja. Seringnya Jingga mengabaikan Arsen dan Arsen yang memang sudah setelan pabriknya datar serta tak suka banyak bicara akhirnya jadi ikut diam. Terhitung sudah 5 hari berlalu dan keduanya masih tetap saling diam.

Hari ini mereka akan kembali ke Jakarta karena besok Jingga harus melakukan KRS susulan serta menghadap dosen wali untuk konsultasi beberapa hal terkait perkuliahannya. Mengingat fakta itu Jingga jadi makin kesal karena benaknya jadi ikut mengingat kenyataan bahwa sepulang dari Bandung ia tak akan tidur di kamar kos yang sudah membuatnya nyaman, tapi tidur di tempat asing, yakni apartemen Arsen.

Sambil mengemasi beberapa barangnnya ke dalam tas ukuran sedang, Jingga terus bergumam, meluapkan kekesalannya. Ia tak perlu membawa koper karena kemarin kopernya yang ketinggalan di bandara sudah dikirimkan ke kosan bu Mirna yang Jingga yakin sekarang koper itu sudah berpindah ke apartemen Arsen.

"Ck! Dasar suami nyebelin," desis Jingga.

"Nggak peka. Nggak ada effort sama sekali."

"Udah tau gue marah. Bukannya dibujuk malah ikutan diem."

Jingga terus berdumal hingga tiba-tiba pintu kamarnya dibuka dari luar. Jelas saja gadis itu terkesiap melihat Arsen yang memasuki kamar sambil menatapnya datar.

Ngapain lihat-lihat? Gue colok juga, tuh, mata! Omel Jingga dalam hati.

Lagian kalau secara langsung Jingga mana berani. Bagaimanapun juga Arsen masih dosennya. Dan, semester ini dia pasti akan bertemu lelaki itu di kelas. Jadi, Jingga tak mau ambil risiko.

"Udah selesai packing-nya?" tanya Arsen yang berdiri di depan Jingga.

"Kelihatannya?" Jingga balas bertanya dengan nada ketus.

Menyugar rambut hitamnya ke belakang, Arsen lantas bertanya, "Mau sampai kapan kamu marah sama saya?"

Gadis itu berpindah duduk di depan meja rias. Ia bepura-pura sibuk memoleskan make up pada wajahnya yang sudah cantik.

"Suka-suka saya," jawab Jingga.

"Oke," kata Arsen, kemudian beranjak keluar.

Jingga benar-benar menganga. Tak habis pikir dengan lelaki itu.

"Udah? Gitu doang?!" pekik Jingga kesal.

Ah, memang apa yang Jingga harapkan dari Arsen? Mereka bahkan tidak saling cinta. Jingga juga yakin Arsen tak merasa punya tanggung jawab untuk membuatnya bahagia. Jadi, wajar saja jika sekarang Arsen tak peduli pada kondisi perasaannya. Pada rasa kecewa yang masih betah menjejali hatinya.

Kenyataannya itu dalam sekejap berhasil meremukkan hati Jingga. Bahkan, kini ia mendadak merasa jadi orang yang begitu tidak beruntung.

"Gue bahkan belum pernah jatuh cinta. Gue nggak tau gimana rasanya jatuh cinta. Tapi, sekarang ...."

Air mata sudah membasahi pipi Jingga. Seolah melukiskan kesedihan gadis itu.

Jika menyangkut hal lain Jingga masih bisa bersikap biasa saja. Ia masih sanggup berpura-pura kuat dan tahan banting. Tapi, jika sudah masalah hati. Entahlah. Mendadak Jingga menjadi gadis yang cengeng.

Menyadari air matanya yang terus mengalir, Jingga langsung menyekanya dengan cepat. Bagaimanapun ia tak ingin membuat Dirga sampai sedih jika tahu sekarang dirinya dan Arsen sedang terlibat perang dingin.

Jingga menunjukkan wajah. Kedua tangannya saling memilin di atas pangkuan.

"Maafin Jingga, ayah ...," lirih Jingga.

Semoga saja Jingga bisa bahagia agar ayahnya tak perlu merasa khawatir apalagi menyesal karena sudah menikahkannya dengan Arsen.




***

Yang kangen sama bapak Arsenio mari merapat!!
Angkat tangannya! Kita nyanyikan lagu rindu bersama.
🤣🤣🤣

After We Got MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang