23. Jangan Salah Paham

6.7K 500 19
                                    

"Pembagian kelompok bisa pilih sendiri. Nanti kalau sudah fix silakan dikumpulkan ke ketua kelas. Selanjutnya, untuk tugas masing-masing kelompok akan saya share di grup. Sekian untuk hari ini. Selamat siang. Sampai jumpa minggu depan."

Pak Beni, lelaki usia awal 40-an dengan ciri khas kumis tipis dan kacamata minusnya itu langsung keluar kelas begitu selesai mengisi mata kuliah siang ini. Kondisi kelas pun langsung riuh dan sibuk. Bukan karena penghuninya yang ingin segera pulang melainkan karena sibuk membentuk kelompok untuk satu semester ke depan.

"Bim, kelompok kita kurang satu orang," cetus Jingga.

Masing-masing kelompok memang diharuskan berjumlah tiga orang.

"Ya, emang," jawab Bima dengan santai.

Namun, netra cowok itu sibuk menatap sekeliling. Persis seperti elang yang sedang mengintai mangsanya. Singkatnya Bima sedang mencari orang yang tepat untuk ia ajak masuk ke dalam kelompok mereka.

"Gue gabung sama kalian, ya?"

Baik Bima maupun Jingga kompak mendongakkan wajah mereka ketika suara berat itu terdengar.
Dua bersahabat itupun langsung disambut oleh senyum ramah seorang lelaki beralis tebal dengan fitur wajah oriental.

"Elkan?" panggil Jingga.

"Lo di kelas ini juga?" tanya Bima agak tak percaya. Pasalnya sedari awal masuk kelas Bima tak melihat ada Elkan.

Lelaki bernama lengkap Elkana Gavindra itu tersenyum. Tangan kanannya menggaruk tengkuk yang tak gatal. Senyum ramahnya pun berubah menjadi cengiran canggung.

"Iya. Kita sekelas. Tadi gue ketiduran di sekret Himpunan, jadi gitu, deh," terang Elkan.

"Yee! Dasar kebo!" hujat Bima yang dibalas kekehan oleh Elkan.

"Jadi, gimana? Boleh, kan, gue gabung sama kalian?" tanya Elkan sekali lagi.

Bima dan Jingga saling pandang sejenak sebelum akhirnya sama-sama mengangguk setuju.

"Yes! Thanks, ya!" seru Elkan kegirangan.

"Ya, udah lo berdua keluar duluan aja. Gue samperin ketua kelas dulu."

Usai berkata demikian Bima pun berdiri sambil memakai tas punggungnya.

Sebenarnya, Jingga ingin mencegah Bima dan berniat agar dirinya saja yang mendatangi ketua kelas untuk mengumpulkan data kelompok. Namun, sebelum bibirnya melontarkan keinginan itu, Bima sudah melenggang pergi lebih dulu. Terpaksa Jingga harus berdua saja dengan Elkan. Menyebalkan.

"Kita tunggu di luar aja," usul Elkan.

"Oke."

Keduanya pun bergegas keluar. Mereka duduk di bangku panjang yang tersedia di depan ruang kelas. Bermaksud menunggu Bima yang masih menuntaskan keperluan kelompok mereka.

Duduk hanya berdua dengan Elkan sebenarnya sangat tidak nyaman bagi Jingga. Dia merasa canggung pada lelaki berwajah tampan bak pangeran itu. Apa lagi saat ingat apa yang pernah terjadi di antara mereka. Rasanya Jingga ingin kabur saja.

"Jingga?" panggil Elkan dengan suara lembutnya.

"Ya?" sahut Jingga seraya menatap Elkan selama beberapa saat.

Elkan tersenyum tipis.
"Kamu apa kabar?" tanya Elkan.

"Baik. Lo sendiri apa kabar?" Jingga balas bertanya.

"Aku nggak terlalu baik," jawab Elkan.

Kembali Jingga menatap lelaki berjaket denim itu.

"Kenapa?" tanya Jingga. Ia bertanya karena murni peduli bukan karena ada unsur lain.

After We Got MarriedWhere stories live. Discover now