38. Language of Love

5.5K 446 13
                                    


"Mereka hampir menikah, Jingga. Saya rasa ... kalo sekarang Alana kembali ... pasti Arsen nggak akan ragu untuk menceraikan kamu."

Untuk kesekian kalinya, Jingga menggelengkan wajah ketika ingat perkataan Nagita. Padahal, sudah 2 hari berlalu sejak pertemuan mereka. Namun, apa yang dikatakan oleh kakak iparnya itu masih betah menghantui benaknya.

Jingga menarik napas pelan, lalu menata menu sarapan buatannya di atas meja makan. Usai menata sarapan, ia lantas mengambil air mineral dingin dari kulkas untuk dirinya sendiri. Sebab, sekarang Jingga memang butuh sesuatu yang bisa mendinginkan kepalanya. Walaupun dia tahu air dingin sama sekali tak berpengaruh apa-apa.

Saat akan meraih botol air mineral netra Jingga justru tak sengaja melihat botol beling berisi jamu pemberian Maya. Keningnya pun langsung mengernyit heran.

"Kok, bisa di sini? Perasaan kemarin ada di lemari atas wastafel, deh," heran Jingga.

"Pagi, Mara."

Sejenak Jingga terkesiap ketika suara Arsen terdengar tepat di depan telinga kanannya. Seperti biasa, lelaki itu juga menyematkan kecupan di pelipis Jingga sebagai pelengkap ucapan selamat pagi. Sebenarnya, hal seperti ini terjadi setiap pagi. Namun, Jingga tetap tidak bisa terbiasa. Jantungnya selalu saja berdebar berlebihan saat Arsen menyentuhnya atau hanya sekedar menatap matanya.

"Pagi, Mas," balas Jingga, lalu ia menyingkirkan tubuhnya dari depan kulkas.

Arsen menggantikan posisi Jingga, lalu meraih botol beling yang sejak tadi mendongkrak rasa heran gadis itu.

"Eh, Mas!" sergah Jingga.

Baru saja lelaki itu hendak menuang isi botol tersebut ke dalam gelas ukuran sedang.

Menoleh ke arah Jingga, lalu Arsen bertanya, "Kenapa, sayang?"

"I-itu ... anu ... Mas yakin mau minum itu?" tanya Jingga terbata-bata.

Secara bergantian Arsen menatap botol di tangannya serta sang istri.

"Kenapa emangnya?" bingung Arsen.

"Itu ... anu ...." Suara Jingga semakin tak terdengar.

"Apa? Bilang aja, Mara. Nggak usah takut," tutur Arsen dengan nada lembut.

Sinar matanya pun tak kalah lembut. Sehingga rasa takut Jingga pun mulai luntur.

"Itu jamu dari mama, Mas," terang Jingga.

"Jamu dari mama? Jamu apa?" tanya Arsen.

Jingga menundukkan wajah, lalu berucap,"Jamu kesuburan ... buat saya."

Tidak ada respon dari Arsen. Entah apa yang kini terbesit di benak lelaki itu. Namun, apapun itu Jingga sama sekali tak berani menebak. Dia juga tak berani menatap mata sang suami.

"Kenapa baru bilang?" Akhirnya, Arsen kembali bersuara.

"I-itu ... a-anu ... saya bingung gimana bilangnya sama Mas Arsen," aku Jingga.

Terdengar hela napas pelan dari Arsen. Disusul sebuah elusan lembut yang mendarat di puncak kepala Jingga.

"Nggak ada yang perlu dibingungkan, Mara," kata Arsen.

Usai berkata demikian, Arsen menjauhkan tangannya dari Jingga. Ia beranjak menuju wastafel dapur dengan membawa serta jamu pemberian mamanya.

"Mas Arsen mau ngapain?" tanya Jingga sembari menyusul Arsen.

Hal yang selanjutnya dilakukan oleh pemilik mata teduh itu sungguh berhasil mengejutkan Jingga.

"Kok, dibuang, Mas?!" pekik Jingga.

After We Got Marriedحيث تعيش القصص. اكتشف الآن