35. Pelik

6.5K 463 23
                                    


Deringan ponsel terus terdengar. Salah satu dari dua manusia yang tertidur nyenyak pun mulai terusik. Perlahan-lahan kesadarannya datang bersama kerutan-kerutan di kening yang menandakan bahwa dia jelas sangat terganggu dengan dering ponsel itu.

Berusaha mengusir kantuk yang masih betah menggelayuti, Jingga pun membuka matanya. Ia menyipitkan pandangan beberapa saat karena cahaya matahari yang menyeruak masuk melalui jendela dengan gorden putih itu. Sepertinya setelah ini Jingga harus mengganti gorden kamarnya dengan warna yang lebih gelap supaya cahaya matahari tak masuk sebebas ini.

"Ck! Siapa, sih?" gerutunya sambil mengucek mata.

Lalu, ia pun meraih ponsel yang ada di atas nakas. Mata yang masih tampak enggan terbuka itu langsung memicing kesal begitu melihat nama si penelepon.

"Nih, anak ngapain, sih, nelepon pagi-pagi gini? Ganggu orang tidur aja." Jingga kembali menggerutu sambil beranjak dari kasur.

Ia memutuskan untuk keluar kamar supaya tak mengganggu Arsen yang masih tidur nyenyak.

"Halo? Lo ngapain, sih, nelepon pagi-pagi begini? Ganggu orang lagi enak-enak tidur aja," semprot Jingga begitu ponselnya terhubung dengan Bima.

"Pagi? Lo bilang pagi? Woi! Buka mata lo! Ini udah jam 11 siang, ya!" seru Bima dengan semangat 45.

"H-hah?"

Ingin membuktikan ucapan Bima, maka Jingga segera memeriksa jam dinding di ruang tamu. Benar saja. Jarum jam ternyata sudah menunjuk angka 11 tepat.

Refleks, Jingga langsung menutup mulutnya yang ternganga karena kaget.

"Mentang-mentang udah halal jam segini masih nekad kelon," oceh Bima.

"Ck! Congor lu," desis Jingga.

"Dih! Dih! Ngomong gitu di depan laki lo coba kalo berani," tantang Bima.

"Udah, deh. Nggak usah banyak dongeng. Lo ngapain nelepon gue?"

Kalau tidak Jingga yang mengalah, maka sampai penghujung hari pun mereka akan tetap berdebat. Jadilah, kini Jingga memutuskan untuk mengakhiri perdebatan mereka dengan mengabaikan segala ejekan Bima.

"Jadi ketemuan, nggak?" tanya Bima tanpa basa-basi.

Kening Jingga mengernyit heran. "Ketemu? Buat apa?"

"Yang kemarin bilang minta ketemu buat cerita sesuatu siapa, ya? Perasaan bukan gue, dah. Lo masih mudah udah pikun aja. Makanya masih bocah, tuh, nggak usah gegayaan nikah segala. Jadi, terganggu kan--"

"Stop! Gue ingat, ya! Jadi, nggak usah bawa-bawa pernikahan gue sama mas Arsen," sergah Jingga.

"Jidi nggik isih biwi-biwi pirnikihin giwi simi mis irsin," ejek Bima.

"Bima lo, tuh, ya!" geram Jingga.

Sahabat sengkleknya itu memang pandai sekali merusak suasana hati Jingga.

"Ya, udah. Jam 1 gue tunggu di coffee shop-nya bang Dika. Awas kalo telat," kata Bima.

Kebetulan sekali jarak coffee shop milik sepupu Bima itu tidak terlalu jauh dengan apartemen Arsen. Jadi, Jingga tidak perlu terburu-buru untuk bisa segera ke sana. Apalagi sekarang masih jam 11.

"Oke," setuju Jingga.

"Sip! Udah dulu, ya, sayang," pamit Bima disertai candaan khasnya.

"Gue bilangin mas Arsen abis lo digepuk," ancam Jingga.

"Jangan, dong. Kok sekarang dedek Jingga ngaduan, sih," goda Bima.

"Ck! Bodo amat. Udah, ah! Gue mau mandi. Bye!"

After We Got MarriedWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu