44. Surat Gugatan

6.8K 479 91
                                    


"Alana," ucapnya dengan nada tajam.

Ia lalu mencoba menghubungi Alana. Beruntungnya tak butuh waktu lama suara perempuan itu dapat Arsen dengar.

"Halo? Ada apa, Sen?" Alana bertanya dengan nada heran.

"Aku mau nanya sesuatu, Lana," pinta Arsen dengan nada serius.

"Okey. Nanya apa? Silakan."

Arsen menarik napas panjang guna mengontrol gejolak emosi yang kini melanda dirinya.

"Soal teror yang pernah kamu alami."

Terjadi keheningan selama beberapa saat. Sepertinya, Alana tidak menyangka kalau Arsen akan menanyakan kejadian kelam dan mengerikan yang pernah menimpa dirinya itu.

"Lana?" panggil Arsen.

"Y-ya?" tanya Alana terdengar agak gelagapan.

"Maaf kalo aku bikin kamu ingat kejadian itu lagi. Tapi, aku perlu tau tentang itu, Lana."

"Siapa lagi korbannya, Sen?"

"Istriku."

"Arsen, ini nggak bisa dibiarin gitu aja. Kamu harus cari bukti yang kuat untuk memenjarakan dia. Sampai kapanpun dia nggak akan berubah. Kamu lihat, kan? Sekarang dia bahkan berani neror istri kamu."

Nada bicara Alana terdengar emosional ketika melontarkan pernyataan panjang perihal peneror itu. Alana juga akhirnya menyadarkan Arsen bahwa keputusannya 4 tahun yang lalu sungguh sangat salah. Karena ternyata kesempatan kedua yang dia berikan pada orang itu tak berarti apa-apa.

"Arsen? Arsen?" panggil Alana.

"Ya?"

"Kamu nggak akan diam aja, kan?"

Arsen menggelengkan wajahnya meski tahu Alana tak akan melihat hal itu.

"Aku nggak akan lengah lagi, Na. Aku pasti akan cari buktinya."

"Bagus. Ngomong-ngomong kapan aku bisa ketemu istri kamu?"

"Kamu udah ketemu dia."

"Oh, ya? Kapan? Kok, aku nggak ingat?"

"Kemarin. Di supermarket."

"Di supe--jangan bilang cewek yang waktu itu?! Mahasisiwimu?" pekik Alana.

"Istri. Dia istri aku," ralat Arsen tak terima.

"Heh! Kemarin kamu sendiri yang bilang kalo dia cuma mahasiswimu," omel Alana.

"Nggak usah dibahas."

"Kalian lagi berante--"

Sebelum Alana menyelesaikan kalimatnya, Arsen sudah lebih dulu mematikan panggilan. Mengingat Alana doyan sekali debat dengannya, maka Arsen yakin kalau dia tak memutuskan panggilan secara sepihak pasti mereka akan adu argumen dalam waktu yang lama.

Memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, lalu Arsen berdiri. Netranya menatap langit yang pagi ini berwarna biru tanpa ada satupun awan yang menggantung.

"Semoga kamu baik-baik aja, Mara," harap Arsen.

***

Baru sehari, tetapi Arsen benar-benar merasa tidak sanggup. Dia tidak terbiasa dengan keadaan yang kini menyambutnya. Apartemen yang gelap dan sunyi ketika dirinya pulang setelah seharian sibuk di kampus.

Tak ada suara Jingga yang menyambutnya. Tak ada pelukan hangat dan celoteh antusias gadis itu ketika menceritakan hal apa saja yang dilewati seharian tanpa dirinya. Hanya ada kekosongan yang mencekik.

After We Got MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang