7. Hati-hati

8.4K 588 7
                                    

"Ayah kenapa?" Jingga bertanya dengan nada khawatir karena melihat sang Ayah yang tampak murung. Seolah ada sesuatu yang tengah membebani pikirannya.

Gadis itupun berhenti menyuapkan bubur untuk Dirga. Ia mencoba untuk sejenak fokus pada apa yang akan Ayahnya utarakan. Dengan harapan setelah mengobrol dengannya, Dirga akan berhenti murung.

"Bilang aja sama Jingga. Apa yang membebani pikiran Ayah?" tanya Jingga dengan sabar.

Dirga meraih tangan Jingga yang tidak memegang mangkuk. Ia menggenggam tangan itu dengan lembut.

"Maafkan Ayah, ya," ucap Dirga diiringi raut wajah penuh rasa bersalah.

Mata lelaki paruh baya itu juga terlihat seperti menahan kesedihan. Sangat berlawanan dengan Jingga yang tampak lebih lega karena akhirnya bisa kembali mendengar suara Ayahnya.

"Kenapa Ayah harus minta maaf? Ayah nggak salah apa-apa sama Jingga," sanggah Jingga.

Karena memang bagi Jingga lelaki itu tak melakukan kesalahan apapun.

"Ayah salah. Ayah sudah memaksa kamu menikah dengan Arsen. Padahal, seharusnya sekarang kamu fokus mengejar mimpi-mimpi kamu," terang Dirga.

Gadis itu memindahkan mangkuk dalam genggamannya ke atas nakas. Ia lantas balas menggenggam tangan sang Ayah. Bermaksud meyakinkan lelaki itu bahwa ia baik-baik saja.

"Ayah nggak salah," ujar Jingga. Bola matanya menatap tangan Dirga dengan sorot lembut.

"Jingga tau ... Ayah sayang sekali sama Jingga. Ayah nggak mau ninggalin Jingga sendirian. Ayah ingin ada orang yang menjaga Jingga. Iya, kan?"

Suara Jingga mengalun merdu dan begitu lembut. Selembut tatapan matanya.

Air mata Dirga pun luruh tanpa diminta tatkala mendengar pernyataan sang putri. Ia sungguh tidak menyangka kalau putri kecilnya sudah dewasa dan memahami jalan pikirannya. Padahal, saat ini seharusnya Jingga marah padanya yang telah memaksakan kehendak hanya karena ketakutan akan usianya yang tak lama lagi.

"Jingga ...," lirih Dirga.

Wajah Jingga terangkat dan memperlihatkan kedua pipinya yang sudah dibasahi air mata.

Sembari tersenyum lebar, Jingga pun berkata, "Pernikahan ini bukan kesalahan. Pernikahan Jingga dengan pak Arsen itu nggak terjadi karena kesalahan Ayah. Jingga percaya kalau semua ini bagian dari rencana Tuhan," ucap Jingga panjang lebar.

Saat ini, gadis itu hanya ingin membuat sang Ayah berhenti merasa bersalah. Jadi, ia melontarkan kalimat itu. Walaupun sebenarnya ia sendiri juga tidak yakin dengan pernikahannya yang terjadi begitu tiba-tiba. Jingga tidak yakin apakah pernikahannya akan bertahan dan mampu memberinya kebahagiaan.

"Jadi, tolong jangan merasa bersalah. Jingga janji akan bahagia sama pak Arsen. Jingga juga janji akan tetap fokus untuk mengejar mimpi-mimpi Jingga," lanjut Jingga, kemudian mengusap genangan air mata di pipi tembamnya.

Usai mengutarakan pemikirannya, Jingga langsung memeluk Dirga. Sekedar ingin meleburkan rasa khawatir sekaligus rasa syukur karena Tuhan masih memberinya kesempatan untuk lebih membahagiakan lelaki itu. Untuk kembali merasakan betapa hangat dan nyaman pelukannya.

"Oh, iya," celetuk Dirga.

Pelukan keduanya terlepas. Jingga pun langsung bertanya, "Kenapa, Yah?"

"Dari tadi Ayah dengar kamu panggil Arsen dengan pak Arsen, pak Arsen. Kenapa begitu? Padahal, usia kalian terpaut nggak terlalu jauh, lho. Sekarang kalian juga udah resmi jadi suami istri," heran Dirga.

Sontak, Jingga menunjukkan cengirannya.

"Ya, gimana, ya? Masalahnya pak Arsen itu salah satu dosen di kampus Jingga, Yah. Jadi, masih agak nggak enak gitu kalo mau manggil pake panggilan yang lebih akrab," terang Jingga.

After We Got MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang