BAB 23

356 13 0
                                    

Pendar cahaya matahari pagi membangunkan Intan dari tidurnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Pendar cahaya matahari pagi membangunkan Intan dari tidurnya. Ia mengusap matanya yang masih ingin terpejam, tetapi sadar  jika hati ini ia harus ke kampus.

Intan menatap jam di atas nakas, menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Ia bangkit dari tidur dan mengubah posisi menjadi duduk. Samar-samar ia mendengar suara seseorang dari kamar mandi.

“Om Ferdi muntah lagi? Apa dia sakit?” gumam Intan seraya menurunkan kakinya dari ranjang, kemudian melangkah ke sumber suara.

“Om sakit apa, sih? Kemarin juga seperti ini. Kita periksa ke dokter saja, ya,” ujar Intan heran sambil memijat tengkuk sang suami.

“Tidak, aku baik-baik saja,” jawab Ferdi setelah berkumur dan membasuh wajahnya.

Intan memilih untuk mencuci muka dan menyikat gigi, sementara Ferdi hanya berdiam diri melihat setiap pergerakan sang istri.

“Kenapa lihat aku seperti—“

Intan tidak bisa melanjutkan ucapannya karena Ferdi susah mengungkung Intan di dinding.

“Kamu tanya aku kenapa? Aku selalu mual di pagi hari sejak dua hari yang lalu karena dia,” jawab Ferdi sambil meraba perut wanita yang memakai baju kimono itu.

“Berarti aku salah satu wanita yang beruntung,” ujar intan tersenyum mengejek pada suaminya.

“Kalau begitu, kamu harus diberi hukuman.” Intan memekik tertahan saat Ferdi tiba-tiba mengangkat tubuhnya.

*sensor*

“Udah, ih. Aku mau ke kampus, ada mata kuliah jam sembilan nanti. Om Ferdi memangnya gak kerja?” Intan melepas pelukan Ferdi dari tubuhnya.

“Kerja, dong. Nanti siang baru berangkat, mau cek restoran tempat kita pertama bertemu dulu,” jawab Ferdi seraya menarik selimut untuk menutup tubuhnya.

Intan memilih untuk ke kamar mandi dan membersihkan diri sebelum ia diseret kembali oleh sang suami. Setelah mandi, ia bersiap-siap untuk berangkat ke kampus.

Intan terkejut saat menuruni anak tangga dan mendapati Alex sudah duduk manis di sana. Ia tidak tahu jika ayahnya itu bermalam di rumah itu.

“Bagaimana keadaan kamu, Sayang?” tanya Alex saat melihat Intan berjalan ke arahnya.

“Baik, Yah. Yang kasian Om Ferdi.” Intan duduk di sofa tak jauh dari tempat duduk Alex. Pria itu mengerutkan kening mendengar ucapan Intan.

“Dia kenapa? Perasaan semalam baik-baik saja,”  tanya Alex penasaran.

“Entahlah, sejak pagi kemarin Om Ferdi selalu mual, pagi ini juga dia mual. Aku rasa dia yang ngidam,” jawab Intan tertawa kecil. Namun, sebenarnya ia juga tidak tega melihat suaminya tersiksa, tapi biarlah. Lagi pula itu perbuatannya, anggap saja Ferdi sedang bertanggungjawab atas perbuatannya menghamili sang istri.

Tawa Alex pecah, ia tidak bisa membayangkan bagaimana tersiksanya Ferdi yang muntah-muntah di pagi hari seperti orang sakit.

Tawa itu tiba-tiba terhenti saat melihat Ferdi turun dari lantai dua melewati anak tangga. Setiap tangga yang berhasil dilewati menciptakan senyum di wajah Alex.

“Ayo, sarapan sama-sama. Sarapan yang terlambat,” Intan segera menghampiri Ferdi saat tiba di lantai dasar. Ia juga sengaja mengajak sang suami ke dapur agar Alex tidak mengejeknya.

Mereka bertiga menikmati sarapan yang tersedia di atas meja. Intan sarapan dengan segelas susu dan roti. Sementara dua pria dewasa itu memilih untuk makan nasi goreng.

Saat menyuapkan makanan ke dalam mulut, Alex teringat dengan tamu semalam. Ingin mengatakan pada Ferdi, tetapi waktunya tidak tepat karena ada Intan.

Alex berencana akan meminta supir untuk mengantar putrinya ke kampus agar ia dapat berbicara dengan Ferdi. Ada hal penting yang harus ia katakan pada sahabatnya terkait wanita yang datang bertamu semalam.

Kini Ferdi dan Alex duduk di taman belakang setelah Intan pergi. Segelas kopi hitam masih menemani keduanya untuk berbicara.

“Semalam Sesil datang ke sini,” ujar Alex memecahkan kesunyian membuat Ferdi terkejut.

“Untuk apa dia ke sini?”  tanya Ferdi datar. Ia yakin, Sesil tidak datang dengan percuma, pasti ada sesuatu yang wanita itu inginkan.

“Entahlah, aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran. Waktu itu dia mengajak aku untuk menikah.” Ucapan Alex cukup untuk membuat Ferdi terkejut.

“Lalu?”  tanya Ferdi tak sabar ingin mendengar jawaban dari pria berkaos hitam tersebut.

“Aku menolaknya,”  jawab Alex singkat.

“Bukankah dulu kamu ingin menikah dengannya? Lalu?” tanya Ferdi penasaran.

“Entahlah, aku hanya ingin melihat sejauh mana ia berusaha untuk kumiliki. Aku hanya tidak ingin kecewa untuk kedua kalinya.” Alex terdiam sejenak. Menerawang ke masa lalu saat ia dan Sesil masih menjadi sepasang kekasih. Hubungan mereka saat itu memang masih muda. Sikap egois Sesil yang membuat hubungan mereka berakhir.

“Aku tahu keadaan dia saat ini sedang terancam. Usaha yang dia rintis mengalami kebangkrutan,” ujar Ferdi membuat Alex tersadar dari lamunannya. Ia tidak menyangka jika Sesil sedang mengalami keterpurukan.

**

Di tempat yang berbeda, Sesil sedang duduk di lantai dengan keadaan yang kacau. Warna lipstik tidak berbentuk lagi di bibirnya, jejak air mata berwarna hitam karena eyeliner, dan pakaian yang semalam dipakai ke rumah Ferdi sudah sobek di beberapa bagian.

Sekarang wanita cantik itu benar-benar bingung mencari jalan keluar dari permasalahannya. Mendatangi Alex pun tidak mendapat hasil. Mencoba mendatangi Ferdi, tetapi justru bertemu Alex dan memaki dirinya. Kenapa harus ada Alex di setiap langkahnya, batin Sesil frustrasi hingga meneriakkan nama pria itu.

Sesil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamarnya yang temaram. Matanya tidak sengaja melihat botol obat penenang yang diresepkan oleh dokter yang menanganinya.

Sebaris senyum sinis terlihat dari sudut bibirnya yang terlihat pucat. Sesil bangkit dari duduknya lalu melangkah ke meja rias yang dihiasi lampu led di sekitar bingkai kaca. Tidak menunggu lama, wanita itu membuka botol dan mengeluarkan semua isinya di atas telapak tangan.

Sepuluh butir obat penenang berharap mampu memberikan ketenangan hidup untuknya. Meminum air segelas membuat obat itu masuk tanpa hambatan di dalam tenggorokan.

Waktu mulai terasa berjalan lambat, kepala Sesil mulai terasa pusing, lehernya tercekat seperti tercekik, dan pandangannya mulai berkurang-kunang. Dan terakhir, semua gelap. Ia tidak sadarkan diri.

Seorang asisten rumah tangga mengetuk pintu kamar Sesil dengan tidak sabaran karena sejak tadi tidak ada respon dari dalam kamar wanita itu.

“Non, buka pintunya!” teriknya berulang kali diselingi ketukan. Namun, masih tidak ada jawaban.

Seorang pembantu lainnya datang membantu wanita yang sejak tadi mengetuk pintu. Tidak ada pilihan lain, biarlah mereka dianggap tidak sopan karena masuk ke kamar majikan.

Pintu yang tidak terkunci membuat keduanya dapat masuk dengan bebas. Didapatinya sang majikan tergeletak tidak berdaya di lantai dengan botol obat yang masih berada dalam genggamannya.

Tanpa berpikir panjang, salah satu di antara asisten rumah tangga itu menghubungi ambulans. Mereka berharap sang majikan tidak mengalami masalah serius.

Beberapa menit kemudian, ambulans datang dan membawa tubuh tidak berdaya itu ke rumah sakit. Semua pelayan menjadi heboh dan tidak percaya dengan tindakan yang dilakukan seorang wanita berkelas seperti majikannya. Beberapa asisten rumah tangga mulai bergosip. Mengambil kesimpulan sendiri setelah mengaitkan perilaku sang majikan akhir-akhir ini.

Di rumah sakit Sesil segera mendapat pertolongan. Keadaannya cukup memprihatinkan dan dokter harus mengeluarkan obat yang berhasil tertelan sebelum melebur dan menyebar ke seluruh tubuhnya.

Keadaan semakin panik saat wanita itu dinyatakan kritis, tidak ada keluarga yang mendampingi. Hanya ada satu asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja dan sangat mengenal Sesil.

Wanita paruh baya itu berinisiatif menghubungi Alex. Ia juga tidak tahu mengapa, tetapi nalurinya berkata untuk menghubungi pria yang dicintai oleh sang majikan.

Panggilan terhubung, wanita itu menyampaikan berita yang membuat Alex terkejut. Baru saja ia memikirkan mantan kekasihnya, lalu tiba-tiba seseorang menghubungi dirinya dan mengabarkan berita buruk tentang wanita itu.

“Baik, saya akan segera ke sana.” Begitu jawab Alex sebelum telepon berakhir.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Married To a Rich WidowerWhere stories live. Discover now