BAB 18

599 18 0
                                    

“Baiklah, tapi ini terkahir ayah meminta uang padaku. Setelah ini lunasi utang ayah dan jangan meminjam uang lagi,” ujar Intan. “Lagipula ada barakan yang bisa menjadi penopang hidup kalian.”

Meski Intan merasa sangat kesal, tetapi ia juga tidak mungkin mengabaikan keluarganya begitu saja. Apalagi ini menyangkut kedua adik kembarnya, Erliana dan Erliani. Kedua adiknya memang tidak memperlakukan Intan dengan baik, tetapi bukankah kita tidak boleh membalas keburukan orang lain dengan keburukan pula?

Tanpa sepengetahuan Ferdi, Intan melakukan transaksi melalui M-banking di ponselnya. Saldo sejumlah 500 juta di salah satu kartu debit miliknya merupakan uang yang diberikan oleh Ferdi sebagai uang nafkah. Namun, Intan tidak pernah menggunakannya, wanita itu memilih untuk menabungnya.

Setelah transaksi berhasil, Intan kembali mengingatkan kepada Ridwan agar tidak menemuinya lagi jika hanya untuk meminta uang.

Intan telah melakukan kesalahan baru karena Ferdi sudah pernah melarang Intan untuk tidak memberikan Ridwan uang. Namun, larangan itu ia abaikan. Sementara laporan dari dua pria itu sudah tersampaikan kepada Ferdi perihal pertemuan Intan dan ayah angkatnya.

“Ikuti terus ke mana pun istriku pergi,” perintah Ferdi masih dari sambungan telepon yang terhubung oelh kedua pria yang ia tugaskan untuk menjaga istrinya.

Ferdi menghubungi seseorang untuk mengikuti kemana Ridwan pergi. Ia ingin tahu untuk apa uang yang diberikan Intan.

Intan tidak kembali ke rumah, ia memilih untuk mampir ke salah satu toko buku untuk membeli beberapa buku bacaan. Namun, ia tidak sengaja bertemu dengan Herlan—teman sekelasnya di kampus yang kebetulan juga sedang mencari beberapa buku—pria keturunan China itu terlihat cukup akrab dengan Intan.

Sesekali mereka tertawa karena lelucon yang dilemparkan oleh Herlan. Sementara sebuah foto keduanya kini terpampang nyata di layar ponsel Ferdi. Tentu saja foto itu dikirim oleh bodyguard yang tugaskan untuk menjaga Intan, semantara ia tidak mengetahui jika ada dua orang yang mengikutinya sejak beberapa hari yang lalu.

“Sial*n! Apa yang bocah itu lakukan?” ujar Ferdi seraya meletakkan ponselnya dengan kasar di atas meja.

Pikiran Ferdi yang tidak tenang membuatnya memutuskan untuk pulang lebih awal, ia ingin tahu sejauh mana kejujuran istrinya jika ia menanyakan banyak hal hari ini.

Akan tetapi, saat tiba di rumah mewah miliknya. Ferdi tidak menemukan keberadaan sang istri, bahkan mobil yng ia hadiahkan kepada istrinya pun tidak ada. Itu artinya, Intan belum pulang sejak tadi.

Ada perasaan cemburu yang sulit untuk dijelaskan. Setelah beberapa bulan Ferdi menikahi Intan, ia belum pernah melihat wanita itu tertawa lepas seperti beberapa poto dan sebuah video dikirimkan oleh anak buahnya. Namun, Intan bisa tertawa saat bersama pria itu.

“Apakah selama ini aku terlalu kaku?” gumam Ferdi. Ia berusaha mencari di mana letak kekurangannya. Mungkin saja ia tidak bisa mengimbangi Intan, dan itu memang benar. Usia mereka yang terpaut jauh bisa jadi salah faktor kebahagiaan Intan.

“Darimana?” hanya satu kata yang terlontar dari mulut Ferdi, tetapi mampu membuat ledakan besar dalam diri Intan.

Terkejut? Sudah pasti. Intan tidak menyangka jika Ferdi sudah pulang. Tiga hari ini pria itu selalu pulang saat malam telah datang. Namun, sore ini pria ia sudah duduk manis menanti kepulangannya. Hari yang sial bagi Intan. Mengapa harus ada Ferdi saat dia telat sampai di rumah?

“Darimana?!” Pernyataan kedua dan penuh tekanan karena Intan tak juga memberikan jawaban membuat Ferdi semakin mencurigainya.

“Maaf, tadi pulang dari kampus mampir dulu ke toko buku ....”

“Lalu keasyikan pacaran dan lupa pulang,” ujar Ferdi menyambung perkataan Intan yang terpotong. Tentu saja ucapan Ferdi membuat mata Intan melotot tak percaya.

“Pacaran? Siapa yang pacaran?” tanya Intan, ia merasa jika dirinya tidak berpacaran dengan siapapun.

“Tidak usah berpura-pura, aku cukup mengetahui apa yang kamu lakukan sepanjang jari jika berada di luar rumah,” ucap Ferdi penuh penekanan. Matanya merah karena menahan amarah.

“Aku tidak pecaran seperti yang om tuduhkan,” jawab Intan membela diri.

Ferdi segera mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan menunjukkan. Beberapa foto dan video. Seketika Intan merosot dan mendudukkan bokoknya di sofa yang terletak di sampingnya.

Sementara Ferdi hanya duduk bersandar menatap keterkejutan dari wajah sang istri. Ia ingin mendengarkan langsung dari bibir Intan tentang foto yang kini sedang Intan perhatikan.

“Ini gak seperti yang Om lihat.” Intan mengatakan pembelaan setelah berusaha menguasai diri. Selanjutnya Intan menjelaskan mengapa ia bisa berada di tempat yang sama dengan pemuda itu dan mengapa dia tertawa hingga puas.

“Dia memang pria yang humoris. Jangan berpikir bahwa aku akan menyukai pria seperti dia. Tidak, aku tak pernah tertarik dengan pria yang terlalu mudah bergaul seperti dia. Aku hanya menganggapnya teman seperti teman-teman di kampus lainnya,” ucap Intan berusaha menjelaskan pada suaminya.

“Sejauh ini aku tidak pernah melarangmu untuk berteman dengan siapa saja. Aku cuma takut kamu salah pergaulan atau mungkin tertarik dengan pria yang lebih muda dari aku. Aku sadar jika usia kita terlalu jauh berbeda dan mungkin aku tidak bisa mengimbangi kamu,” imbuh Ferdi, setelah itu ia memilih bangkit dari tempat duduknya dan melangkah meninggalkan Intan yang masih sibuk mencerna ucapan pria di hadapannya.

“Jangan lupa siapkan penjelasan atas uang 200 juta yang kau kirimkan ke Ridwan!” Seketika tubuh Intan menegang. Ia mulai berpikir darimana suaminya mengetahui hal tersebut.

Sialnya, Intan lupa jika kartu debit itu merupakan kartu yang diberikan oleh Ferdi. Aplikasi M-banking dibuatkan oleh Ferdi, tetapi menggunakan sidik jari Intan sehingga ia mudah menggunakan fitur tersebut. Jelas saja jika Ferdi tahu karena SMS banking dan email akan muncul di notifikasinya.

“Itu ....”

“Tidak perlu jawab sekarang. Untuk sementara jangan temui aku, siapkan saja penjelasannya nanti.” Ferdi memotong ucapan Intan yang ingin memberi penjelasan. Namun, Ferdi sedang dikuasai amarah, ia tidak ingin lepas kontrol dan menyakiti hati dan fisik sang istri, sehingga ia memilih menenangkan diri terlebih dahulu.

Intan baru pertama kali melihat Ferdi marah, ia bisa melihat bagaimana Ferdi berusaha menahan amarahnya sejak tadi. Wanita yang masih mengenakan ransel dan memegang paper bag yang berisi beberapa buku yang ia beli tadi hanya bisa terduduk pasrah. Sedetik kemudian hari matanya menetes mengenai sebelah tangannya yang diletakkan di atas paha.

“Minum dulu, Non. Tuan marahnya hanya sebentar saja. Jadi, Non Intan teh gak usah sedih,” ujar Bik Iyem mengusap bahu Intan untuk memberikannya ketenangan.

Bukannya tenang, bahu Intan semakin bergetar karena tangis. Ia mengaku jika sudah berbuat kesalahan fatal. Uang 200 juta bukanlah uang yang sedikit jika Intan dituntut untuk menggantinya. Padahal Ferdi tentu saja tidak akan melakukan hal itu. Ia hanya ingin mengetahui sejauh mana kejujuran sang istri dalam mengatakan kebenaran atas apa yang Intan lakukan.

Bersambung...

Married To a Rich WidowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang