BAB 1

2.7K 74 2
                                    

“Ayah, aku belum ingin menikah. Aku bahkan ingin melanjutkan pendidikan setelah tabunganku tercukupi. Please, Ayah. Jangan memaksaku!” ujar Intan mengiba pada Ridwan.

“Jangan membantah, Intan! Turuti permintaan terakhirku kali ini saja, setelah ini  aku tidak akan membebanimu dengan biaya kebutuhan hidup. Kamu tinggal menikmati hidup dengan suamimu. Dia kaya raya, sudah pasti kamu tidak perlu bekerja untuk sekedar mencari uang,” ujar Ridwan tak ingin dibantah.

“Tapi, Yah. Kata Erliana, pria yang akan menikahi aku sudah tua dan bahkan seumuran dengan Ayah. Please, Ayah. Aku belum ingin menikah,” ucap Intan berusaha menolak tawaran sang ayah untuk menikahkannya dengan seorang duda yang sudah berusia 45 tahun.

“Berhenti membantah, Intan!” bentak Ridwan membuat Intan terperanjat. Setetes air mata mengalir di pipinya.

“Masuk kamar! Mulai besok kamu berhenti bekerja karena lusa pria itu akan datang untuk menikahimu. Paham!” bentak Mirna—ibu Intan—jika Mirna yang sudah angkat suara, maka Intan tak bisa lagi membantah daripada tubuhnya akan dibuat memar oleh wanita yang berusia 41 tahun. Wanita pemilik tubuh gempal itu juga belum tahu jika sebenarnya Intan telah dipecat.

Gadis yang memiliki tinggi 165 centimeter itu melangkah tertatih memasuki kamarnya, seharian ia sangat lelah bekerja. Namun, ia justru dipecat oleh bosnya karena tidak sengaja menumpahkan minuman di atas meja konsumen.

Sejak awal ia memang tidak menyukai bosnya. Gayanya yang sok pemilik restoran padahal dia hanya manager, bukan pemilik restoran. Menurut Intan, tingkah pria itu sangat menyebalkan.

Setelah lulus SMA, Intan melamar pekerjaan sebagai Waiters di restoran mewah tersebut. Dan selama setahun bekerja, ia baru beberapa kali bertemu dengan pemilik restoran yang terletak di tengah kota. Padahal beberapa kali pemilik restoran itu datang ke sana, hanya saja Intan tidak menyadarinya.

Bahkan pemilik restoran yang berstatus duda itu sering kali memperhatikan kinerja Intan. Melihat Intan yang berbeda dengan yang lain membuat dirinya penasaran. Terlebih lagi, Ferdi sering mendapati gadis itu dikunjungi oleh ayahnya dan meminta uang saat Intan baru saja menerima upah. Terpaksa Intan akan meninggalkan restoran beberapa menit menuju ATM yang terletak di sisi tempat ia bekerja, menarik semua gajinya dan menyerahkan kepada Ridwan.

Berulang kali Ferdi meminta orang suruhannya untuk mengikuti gadis itu, semua informasi terkait tentang Intan ia terima. Sejak saat itulah ia memutuskan untuk membebaskan gadis itu dari rumah yang hampir seperti  neraka. Jalan satu-satunya adalah menikahinya.

Bagaimana tidak, orang tuanya kejam dan kedua saudaranya memperlakukan Intan semena-mena. Intan yang selalu dibawah ancaman sang ibu hanya bisa pasrah. Ingin kabur tapi ia tidak memiliki keluarga selain ayah, ibu dan kedua saudaranya. Sehingga Intan tidak memiliki pilihan lain selain tetap bertahan di rumah itu.

***

“Nah, kamu cantik sekali. Pasti calon suami kamu sangat bangga memiliki istrinya yang cantik,” puji penata rias pada Intan. Berbeda dengan Intan yang justru meneteskan air mata usai menerima pujian itu.

“Wah, pasti kamu sangat bahagia, ya. Saya jadi ikut terharu. Tapi jangan nangis, ya. Ini make up-nya nanti hilang.”

Penata rias kemudian membersihkan air mata yang menetas di pipi mulus Intan. Gadis itu terlihat sangat cantik dengan riasan natural tapi elegan, sesuai dengan kebaya simpel berwarna putih yang ia kenakan.

“Duh ... kenapa pakai nangis, sih? Kamu bisa berhenti nangis, gak?! Bikin malu aja,” hardik Mirna membuat Intan menghentikan tangisnya, dadanya terasa sesak karena tidak bisa meluapkan kesedihan yang terpendam di dalam dadanya.

“Tolong dipersiapkan, ya! Sebentar lagi ia akan keluar menemui suaminya setelah ijab qobul,” perintah Mirna sebelum akhirnya wanita dengan memakai kebaya berwarna maroon dengan kain batik sebagai bawahan itu keluar dari kamar Intan.

“Apa kamu dipaksa Menikah?” bisik sang penata rias membuat Intan mengangguk sebagai jawaban.

“Duh, hari gini masih ada aja sistem perjodohan secara paksa begini. Yang sabar, ya, Sayang. Mudah-mudahan kebahagiaan menyertaimu,” ujar sang penata rias sambil mengusap bahu Intan untuk menenangkan gadis malang itu.

Beberapa saat setelah Intan sudah bisa menguasai diri, tiba-tiba terdengar suara seorang pria yang mengucapkan ijab qobul dengan lantang.

Intan sempat mendengar mahar fantastis yang berikan untuknya, sebuah rumah, mobil, satu set perhiasan dan uang 500 juta. Ia tidak menyangka jika pria yang menikahinya memiliki kekayaan sebanyak itu, pantas saja Ridwan dan Mirna memaksanya menikah dengan duda kaya.

Intan membayangkan jika duda itu memiliki tubuh gemuk, buncit, memiliki kumis, rambutnya botak di bagian depan dan memiliki tatapan penuh nafsu. Seketika tubuh Intan menegang karena takut membayangkan sosok duda kaya yang lebih pantas menjadi ayahnya tersebut.

Tanpa terasa air mata intan kembali menetes mendengar suara yang diyakini bahwa pemilik suara itu adalah pria yang kini sah menjadi suaminya.

“Hai, waktunya keluar menemui suamimu,” ujar Erliana berdiri di dekat Intan dengan senyum menyebalkan kemudian disusul oleh Erliani. Kedua saudara itu merupakan saudara kembar. Sayangnya paras cantik mereka tidak diiringi dengan akhlak yang baik.

“Buruan! Lelet banget sih, makanya jangan menyusahkan biar gak disuruh nikah sama om-om,” ujar Erliani karena Intan tak juga bergerak dari tempat duduknya.

Sayangnya penata rias tadi sudah pergi karena masih ada urusan yang harus ia selesaikan sehingga ia tidak menunggu dan mengantarkan Intan untuk mempertemukan dengan mempelai pria. Kalau seandainya perias itu masih ada, pasti ia bisa membela intan saat ini.

Intan akhirnya beranjak dari kursi setelah tangannya ditarik oleh dua saudara kembar tersebut. Dengan perlahan intan melangkah keluar dari dalam kamar sederhana miliknya yang hanya berukuran 3x4. Rumah yang ditempati intan cukup sederhana tapi berukuran besar. Sehingga ia cukup lelah ketika membersihkan rumah itu.

Intan tidak berani mengangkat wajahnya untuk melihat ke arah para undangan dan juga suaminya yang duduk di depan penghulu. Hal itu tentu saja membuat Mirna geram karena Intan hanya menundukkan kepala, terlihat sekali jika  gadis itu terpaksa menikah, terlebih lagi matanya terlihat sembab.

“Duduk sini, Sayang,” panggil Mirna berpura-pura lembut seraya menuntunnya untuk duduk di sisi Ferdi—suaminya.

Intan hanya pasrah menuruti perintah Mirna, ia juga sadar jika panggilan itu hanya sandiwara saja, tetapi ia tak mendebat karena ia sudah menjadi seorang istri. Mengelak pun percuma, hanya akan membuatnya malu. Toh, mungkin saja uang ratusan juta sudah diterima oleh kedua orang tuanya.

“Nah, mempelai wanita sudah datang, bisa saling berhadapan dulu. Kepada mempelai wanita untuk menjabat tangan suaminya,” ujar seseorang memberikan arahan dan aba-aba kepada sepasang pengantin.

Sampai akhirnya sebuah cincin putih bertakhta berlian melingkar di jari manis Intan, cincin itu sangat pas di jari manisnya. Selanjutnya Intan juga menyematkan cincin putih polos berbahan platinum di jari manis sang suami.

Saat cincin berlian disematkan di jari manis Intan, Mirna sempat menahan napas dengan mata terbelalak melihat berlian tersebut. Sungguh ia tidak percaya jika suaminya akan memberikan sebuah cincin mahal untuk anak ‘pembawa sial’, menurut Mirna.

Selama intan duduk di samping Ferdi, tak sekalipun gadis itu menatap pria yang sudah sah menjadi suaminya tersebut. Ia selalu menunduk tak ingin menatap siapa pun di sekitarnya.

Beberapa kali seorang pria memberikan aba-aba untuk melihat ke arah suami dan juga para undangan, tetapi sampai acara usai, Intan tak juga mengindahkan perintah tersebut. Hal itu membuat Ridwan dan Mirna geram.

Setelah melakukan beberapa ritual pernikahan, mereka melakukan sesi foto. Namun, Intan sama sekali tidak ingin melihat wajah Ferdi, sehingga fotografer memiliki inisiatif lain agar hasil foto tetap terlihat cantik dan elegan.

“Silakan kemasi barang-barang yang ingin kau bawa. Mulai sekarang kamu akan tinggal bersamaku,” ujar Ferdi untuk pertama kalinya pada Intan setelah semua undangan pulang dan hanya menyisakan kedua orang tua Intan.

“Permisi.” Hanya itu yang Intan katakan sebelum akhirnya meninggalkan suaminya di ruang tamu.

Tidak lama kemudian Intan keluar membawa sebuah tas berukuran sedang, ia hanya mengisi berkas-berkas berharga seperti ijazah dan beberapa pakaian yang masih bagus.

“Jangan lupakan Ayah dan Ibu, ya, Intan. Sering-seringlah berkunjung ke sini,” ujar Ridwan bersandiwara di depan menantunya.

Tak disangka Ferdi mengucapkan sebuah kalimat yang menohok membuat Ridwan kesal setengah mati.

Bersambung...

Nah, kira-kira apa yang dikatakan oleh Ferdi, ya?

Married To a Rich WidowerWhere stories live. Discover now