BAB 8

1K 33 0
                                    

“Ehem ....” Suara deheman Ferdi yang berada tak jauh di belakang Intan dan Ridwan membuat keduanya terkejut.

Sontak Intan melepaskan diri dari genggaman tangan Ridwan kemudian berlari ke arah Ferdi. Tentu saja Intan takut berada di dekat ayahnya mengingat ia dipaksa untuk ikut jika tidak maka Ridwan akan merampas cincin nikah yang tersemat di jarinya.

Intan cukup tahu jika harga cincin berlian itu tidak murah sehingga ia akan tetap menjaga agar tetap tersemat di jari manisnya.

“Saya urusan kita sudah tidak ada lagi, lalu untuk apa lagi Anda menemui Intan?” tanya Ferdi tanpa basa-basi.

“Meskipun ia sudah menikah denganmu tapi jangan lupa jika dia adalah putriku,” sarkas Ridwan tak terima.

“Putri angkat maksud Anda?” ucap Ferdi membuat Ridwan melotot tak percaya dengan rahasia yang selama ini ia tutupi dari putrinya.

Intan yang mendengar ucapan Ferdi itu pun segera melepaskan tangannya dari lengan Ferdi. Namun, Pria itu sigap meraih kembali tangan sang istri dan menggenggamnya.

“Ayo kita pulang! Nanti kita bahas di rumah. Oke,” bujuk Ferdi, sementara Intan hanya pasrah mengikuti langkah sang suami menuju ke  mobil yang terparkir di belakangnya dengan air mata yang terus membasahi pipi. Kini ia menemukan jawaban dari pertanyaan yang selama bertahun-tahun bersarang di kepalnya.

Sementara Ridwan hanya membeku di tempatnya berdiri, bahkan ia tidak mencegah kepergian Intan apalagi menyanggah ucapan menantunya. Mulutnya seakan terkunci dengan fakta yang diketahui oleh Ferdi.

Mobil Ferdi melaju membelah jalan menuju ke rumah mereka, ia juga tidak membuka suara selama di perjalanan. Pria itu membiarkan sang istri meluapkan segala emosi yang kini tengah membuncah dalam dirinya. Rahasia besar yang selama ini tidak ia ketahui harus ia dengar dari bibir pria yang kini menjadi suaminya, bukan dari orang tuanya sendiri.

Setibanya d rumah, Intan segera keluar dari mobil dan berlari masuk rumah hingga ke sampai ke dalam kamar, Ferdi lagi-lagi hanya membiarkan istri kecilnya melakukan hal itu.

“Bik, siapkan coklat hangat dua, ya. Setelah itu antar ke kamar,” perintah Ferdi kepada Bik iyem. Bik Iyem dan Bik Surti memang bertugas di bagian dapur sementara dua asisten lainnya bertugas membersihkan rumah.

“Siap, Tuan,” sahut Bik Iyem kemudian melangkah ke dapur membuatkan pesanan majikannya.

Sementara Ferdi melangkah cepat menaiki anak tangga untuk mengejar sang istri yang sudah lebih dulu menghilang di balik pintu kamar.

Saat pintu kamar terbuka, Ferdi melihat Intan telungkup membunyikan wajahnya di atas bantal. Sudah bisa ditebak jika dia sedang menangis saat melihat bahunya yang bergetar. Namun, Ferdi memili duduk di sofa menunggunya untuk melepas semua perasaan kecewa yang berselimut dalam hati istri kecilnya.

Beberapa saat setelah cokelat hangat tersaji di atas meja, Intan turun dari atas ranjang dan melangkah ke arah Ferdi yang sedang duduk bersandar dengan kedua tangan yang dijadikan bantal sambil memejamkan mata.

Menyadari kehadiran Intan membuat Ferdi membuka mata dan juga merentangkan kedua tangannya untuk menyambut wanita yang terlihat payah di hadapannya. Rambutnya berantakan, hidung dan mata memerah serta bibirnya yang ... ah, sial. “Kenapa dia malah terlihat seksi,” batin Ferdi.

Pikiran pria itu bercabang, antara iba dan hasrat. Semakin diperparah saat Intan duduk di atas pangkuannya, memeluk Ferdi erat untuk menyalurkan kesedihan atas fakta yang baru saja ia dengar. Seharusnya Ridwan mengatakan siapa dirinya saat ia beranjak remaja agar semua tanya dalam pikirannya menemukan jawaban atas semua perlakuan Ridwan dan Mirna selama ini.

“Kenapa mereka tidak mengatakannya sejak dulu? Kenapa baru sekarang? Kenapa aku harus mendengarnya darimu bukan darinya? Kenapa?!” tanya Intan di sela sisa tangis.

“Om tahu dari mana tentang fakta ini?” tanya Intan lagi dengan tatapan penuh selidik.

“Tentu saja aku tahu. Sebelum memutuskan untuk menikah denganmu, aku lebih dulu mencari tahu tentang siapa kamu,” jawab Ferdi mencoba untuk tenang karena ada sesuatu yang tidak bisa diajak bekerja sama dalam dirinya.

“Jangan-jangan Om Ferdi bapak kandungku?” tebak Intan yang justru membuat Ferdi tertawa terbahak-bahak. Merasa kesal karena ditertawakan, Intan memukul dada bidang sang suami agar berhenti menertawakan dirinya.

“Ya ampun ... gak mungkinlah, kalau kamu anakku mending langsung kuambil aja. Ngapain dinikahi. Dosa ... haram ....” Ferdi menjawil hidung Intan yang masih cemberut.

“Saat itu aku hanya penasaran mengapa orang tuamu selalu datang meminta uang setelah kamu menerima gaji, lalu setelahnya kamu menangis seperti telah dirampok. Dan ... ternyata faktanya cukup mengejutkan jika kamu bukanlah anak kandung mereka, semakin diperparah saat mereka meminta uang ratusan juta saat aku ingin menikah dengamu.” Ferdi menjelaskan cukup panjang pada Intan.

“Apa Om tahu siapa orang tuaku yang sebenarnya?” tanya Intan lagi.

“Kalau itu aku tidak tahu, Sayang. Kalau kamu mau, kita bisa mendatangi rumah orang tuamu untuk menanyakan beberapa hal sebelum mereka memutuskan untuk mengadopsimu saat itu. Siapa tahu ada sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang menitipkan kamu di panti, misalnya surat gitu,” saran Ferdi yang disetujui oleh Intan.

“Kita berangkat sekarang!” ajak Intan, tetapi Ferdi menahan tubuh sang istri tetap berada di atas pangkuannya.

“Nanti dulu, kamu harus terlihat tegar dan tidak menampakkan raut kesedihan saat berkunjung ke sana. Mungkin solusinya adalah mandi dulu dan habiskan cokelat hangat ini. Konon katanya, cokelat hangat bisa menangkan,” ujar Ferdi lalu setelahnya Intan mengambil posisi duduk di samping Ferdi.

Setelah keduanya menghabiskan cokelat hangat, lagi-lagi Ferdi menawarkan sesuatu pada Intan yang membuatnya kesal.

“Ish ... dasar mesum.” Intan segera beranjak dari sana usai mengatakan hal itu. Intan bergerak cepat masuk ke kamar mandi dan menguncinya.

Setelah melewati drama pasutri di siang hari, kini mobil mereka melaju membelah jalan raya yang cukup lenggang menuju kediaman Ridwan. Barangkali kedua orang tua Intan mau menceritakan awal mula mereka mengadopsi Intan. Syukur-syukur jika ada benda peninggalan seseorang yang dulu menitipkan Intan di panti asuhan saat itu.

Mobil mewah Ferdi segera memasuki halaman rumah mertuanya, terlihat sebuah mobil baru terparkir di sudut halaman rumah, bisa jadi mobil itu dari uang ratusan juta yang diberikan oleh Ferdi beberapa waktu lalu dan mungkin uangnya sudah habis sehingga kembali menemui Intan.

Mendengar suara mobil yang memasuki halaman rumah membuat Mirna segera keluar untuk melihat siapa tamu yang berkunjung menjelang sore hari.

Mirna tidak bisa menampik jika ada secercah rasa rindu pada Intan yang bersarang dalam hatinya. Tapi rasanya Intan tidak akan lagi menerima dirinya sebagai seorang ibu setelah fakta yang diketahui oleh putrinya.

Mirna sudah bisa menebak jika kedatangan Intan ke kediamannya setelah menikah adalah untuk mencari tahu asal usul dirinya sebelum ia diadopsi. Dan sebagai ibu, Mirna cukup berat untuk mengungkapkan fakta itu, tetapi bagaimanapun Intan berhak untuk mengetahuinya.

Sebenarnya Mirna juga tidak tahu siapa yang sudah menitipkan Intan di panti asuhan saat itu. Dia hanya menemukan sebuah surat atas nama ibu kandung Intan sebagai tertanda atas surat yang berisi alasan mengapa Intan dititipkan di sana dan sebuah kalung emas yang masih disimpan oleh Mirna berserta surat itu.

“Ibu ...,” panggil Intan saat turun dari mobil, ia melangkah ke arah Mirna yang berdiri di depan pintu. Intan mencoba untuk memeluk Mirna karena ada rasa rindu pada ibunya tersebut.

Intan cukup terkejut ketika pelukannya berbalas, ia mengira jika Mirna akan mengabaikan seperti yang selama ini dilakukan oleh ibunya.

Mereka akhirnya duduk di ruang tamu setelah dipersilahkan masuk ke rumah yang sudah beberapa Minggu tak pernah Intan kunjungi. Tak ada yang berbeda, semua masih sama seperti saat Intan masih tinggal di sana.

Bersambung...

Married To a Rich WidowerOn viuen les histories. Descobreix ara