Sampai di rumah, Manggala tidak pernah membayangkan kalau akan ada seseorang perempuan menyambut kepulangannya dan membantu membawakan barang-barang yang ia beli untuk Kala dan Askara. Seseorang yang pernah berstatus menjadi istrinya di masa lalu sekalipun belum pernah melakukan itu. Viola adalah orang pertama, meskipun melakukannya dengan setengah hati dan tidak berhenti mengomel sepanjang langkah sampai ruang keluarga.

"Kamu belum tidur nungguin saya?" tanya Manggala mengalihkan topik begitu Viola berhenti marah-marah. Manggala ingat. Di panggilan terakhir ia sudah menyuruhnya untuk tidur saja.

"Iya, baper nggak lo?"

Tidak ada jawaban karena Manggala anggap itu adalah candaan yang tidak perlu ditanggapi dengan serius. "Kamu nginep, kan? Nggak tiba-tiba berubah pikiran minta pulang."

"Itu mah lo!" semprot Viola. "Ngomong-ngomong kita tidur bareng, kan? Gue udah pake piyama model kimono gini biar gampang diunboxing. Nanti tinggal tarik aja tali yang ini, tapi request nariknya pake gaya yang sexy. Pake gigi gituloh. Nggak lupa, kan, gerakan yang itu?"

"Vi."

"Mau dibukain aja biar langsung wasweswos nggak pake ribet?"

"Viola."

Mendapati ekspresi Manggala seperti yang diharapkan, Viola tertawa renyah lantas kembali duduk di sofa dan melanjutkan kegiatan menonton yang sempat tertunda. Sementara Manggala pamit ke kamar untuk memastikan Askara masih tertidur pulas.

"Viola?" panggil Manggala dengan suara sedikit bergetar begitu kembali ke ruang keluarga.

"Mau main sekarang?" tanya Viola kurang cakap membaca situasi. Padahal ekspresi Manggala sudah cukup menjelaskan kalau sedang tidak ingin bercanda.

"Tangan Askara luka. Tolong jawab jujur, kamu nggak mukul Askara kan?" tanyanya takut akan kemungkinan terburuk yang terlintas dalam pikiran.

Ada banyak bekas luka di tubuhnya. Punggung, lengan atas, dada, perut sebelah kiri, dan kaki. Bekas luka itu adalah bukti seberapa mengerikannya seseorang yang ia panggil 'papa'. Luka itulah yang membuatnya gagal melupakan kelamnya masa kanak-kanak. Rekaman ingatan saat dirinya berkali-kali diamuk hanya karena masalah sepele, sering kali terputar otomatis tanpa mampu dihentikan ketika Manggala melihat bekas luka di tubuhnya.

Karena itulah Manggala berusaha keras agar anak-anaknya tidak memiliki bekas luka apapun agar di kemudian hari tidak mengalami hal sulit serupa dengannya.

"Lo nuduh gue?"

"Saya nggak nuduh, Viola. Saya cuma tanya, kamu nggak mukul Askara kan?"

"Tapi pertanyaan lo bikin gue tersinggung dan ngerasa dituduh. Daripada nanya kayak gitu, bukannya lebih enak didenger kalau lo langsung minta penjelasan kenapa tangan Askara luka?"

Manggala mengakui kebodohannya.
Di situasi seperti sekarang, kinerja otaknya memang menurun drastis membuatnya terlihat seperti orang paling bodoh. Saat itulah Viola menyadari ada hal tidak beres pada pria di hadapannya yang terlihat berbeda dari biasanya.

"Duduk," titah Viola seraya menggeser pantat, memberikan ruang kosong di sebelahnya pada Manggala. Begitu pria itu menuruti perintahnya, ia pun menjelaskan tentang Askara. Mulai dari ia yang berinisiatif mengajak bocah itu ke playground agar tidak suntuk di rumah sampai insiden Askara jatuh yang membuat tangannya terluka. Pada Manggala yang terlihat tidak baik-baik saja, Viola yakinkan pria itu kalau luka Askara hanyalah luka kecil dan sudah ditangani dengan baik. Tidak perlu khawatir berlebihan seperti itu.

"Maaf." Satu kata itu lolos dengan berat dari bibir Manggala. "Saya cuma takut ada yang mukulin Askara."

"Ya elah, emangnya siapa yang tega mukulin anak kecil sih?"

Naughty NannyWhere stories live. Discover now