44. Take Time

Mulai dari awal
                                    

Sepertinya bunuh diri lebih baik untuk menyelesaikan semuanya. Hal itu sempat terbesit dalam pikiran Reina, tapi dia masih takut dengan hukuman Tuhan.

********

Sebenarnya, suasana rumah bergaya Eropa modern itu cukup akrab dan nyaman, tetapi Nathan seperti orang asing yang pertama kali menginjakkan kakinya di sana––kediaman orang tua Reina.

Mungkin, karena sudah lama pula Nathan tidak mengunjungi rumah yang masih menjadi bagian dari hidupnya dan Reina. Ada sedikit perubahan dari rumah itu, tapi kenangannya masih sama.

Sangat manis. Nathan dan Reina sering berlarian di rumah itu sampai Mama Anggra pusing sendiri karena kekacauan yang mereka buat setelahnya.

Nathan terus bergerak menuju tempat paling ujung di lantai satu rumah itu, di mana studio pribadi milik Reina berada. Meski sebelumnya beberapa pelayan melarang, tapi pada akhirnya Nathan bisa menerobos masuk ke dalam rumah.

Mama Anggra dan Papa Riza yang melarangnya–jelas. Namun, Nathan sedikit beruntung karena mereka sedang tidak ada. Katanya, mereka sedang mengunjungi psikiater untuk berkonsultasi terkait penanganan Reina, serta melaporkan gejala yang Reina alami dari hari ke hari.

Reina didiagnosis mengalami PTSD (Post-traumatic stress disorder) karena peristiwa yang dialaminya. Dia sangat tertekan secara emosional.

Ya ampun. Sumpah, Nathan merasa dirinya sangat brengsek layaknya sampah tak berharga sudah membuat Reina mengalami itu.

Nathan semakin mempercepat langkahnya. Perjalanan di lorong lantai satu rumah tersebut rasanya menjadi sangat lama. Hingga dia tiba di depan ruangan besar yang di dalamnya terlihat sangat artistik dengan pintu kaca yang tertutup rapat.

Nathan menghela napas lega ketika melihat punggung Reina dari sana. Pintu kaca otomatis terbuka begitu Nathan mendekat. Namun, sayup suara pintu yang terbuka tak membuat Reina mengalihkan perhatiannya.

Nathan bergerak mendekat, kemudian dengan hati-hati menyentuh pundak Reina.

"Rei. . ."

Reina tersentak dan sontak menoleh, dia terdiam menatap Nathan dengan wajah menegang. Ada kemarahan dan kesedihan yang mendalam dari sorot mata bening itu, Nathan bisa merasakannya.

Hatinya mencelos sakit melihat Reina semurung itu.

"Hai. . . ." Sapa Nathan lembut. "Aku cariin kamu ke mana-mana, ternyata pulang. Lain kali, jangan bikin aku panik dengan pergi tiba-tiba kayak gini, Rei." Nathan mengulurkan tangan, bermaksud menyentuh pipi Reina, tapi dengan cepat perempuan itu menepisnya.

"Rei. . ."

"Pergi kamu!" Usir Reina seraya memalingkan wajah, enggan melihat Nathan.

Nathan melangkah maju, bermaksud untuk lebih mendekat pada Reina agar bisa menatapnya, tapi Reina dengan sigap beranjak dari duduknya dan mengambil langkah mundur.

Hati Nathan sakit, tapi bukan karena Reina yang terlihat begitu defensif, melainkan karena alasan yang menyebabkan Reina seperti itu.

"Rei, aku bener-bener nyesel."

"Aku mau pisah sama kamu."

Nathan menggeleng cepat sembari terus berusaha menjangkau tangan Reina, tapi Reina tak membiarkannya . "Enggak, Rei. Demi Tuhan, waktu itu aku nggak tahu kamu hamil."

Reina terperangah. Benar-benar memuakkan.

"Nggak tahu, jadi kamu bisa bebas nyakitin aku, iya?" Kepala Reina menggeleng lemah disertai tatapan sedih. "Dan sekarang apa? Kamu bilang nyesel, tapi masih nyari pembelaan?" Lalu berdecih. "Aku nggak paham sama isi kepala kamu."

Menjadi Dia [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang