"Lo sama Rei gimana sekarang?" Tanya Jessi kembali bersuara. "Ini udah lebih dari sebulan semenjak kejadian itu, kan?"

Nathan menelan kopinya yang terasa dua kali lipat lebih pahit begitu mendengar pertanyaan Jessi. Sudah lebih dari satu bulan hubungannya dengan Reina begitu tidak sehat.

Hingga semakin hari kondisi buruk yang Nathan ciptakan itu hanya membuat dirinya jatuh ke dalam lubang besar bernama kebingungan, dan Nathan tidak mengenali dirinya sendiri, terlebih perasaannya.

"Gue juga nggak tahu, Jess. Di satu sisi gue marah sama dia, tapi gue harus bertanggung jawab. Dan di sisi lain, gue juga nggak mau semakin ngekhianatin Shanna dengan hidup bersama Reina. Akhirnya gue malah bertindak bodoh dan nyakitin dia."

Nathan lalu mengusap wajahnya kasar. "Gue kacau banget."

Jessi dan Vano saling berpandangan, lalu sama-sama menghembuskan napas jengah.

"Nate, kenapa, sih, lo harus begini?" Sahut Jessi sedikit kesal.

"Terus gue harus gimana? Membuang Shanna? Nggak akan! Bagaimana pun, gue tetap harus membatasi perasaan sama Reina. Gue nggak mau ngelupain Shanna." Balas Nathan sengit

"Ya udah, kalau gitu lo lepasin Reina. Kembaliin dia sama orang tuanya. Gue sebagai cewek, pasti nggak akan sanggup hidup sama pengecut yang nggak punya pendirian kayak lo." Jessi menatap Nathan berapi-api.

"Nggak usah bawa-bawa kata tanggung jawab." Sambung Jessi sebelum Nathan membuka mulut. "Karena yang lo lakuin sama Reina bener-bener jauh dari makna itu. Tanggung jawab jenis apa dengan nyakitin orang, Nate?"

Nathan terdiam, seolah kelilangan kata-kata untuk membalas ucapan Jessi barusan. Pandangannya beralih pada buku anatomi jantung super tebal di atas meja kaca.

Vano menghela napas, lalu beranjak menghampiri Nathan, kemudian menghempaskan dirinya di sebelah laki-laki itu.

"Gue nggak tahu seberat dan sesakit apa lo kehilangan Shanna." Ujar Vano tanpa memandang Nathan. "Tapi, Man. Dengan membatasi diri kayak gini, lo malah nyiksa diri sendiri dan juga Reina."

"Gue nggak punya pilihan lain." Nathan berkata lirih.

"Punya." Sahut Vano cepat, membuat Nathan menoleh ke arahnya. "Elo pun tahu itu. Cuma lo lebih memilih bertahan dengan keterpurukan daripada memulai hidup baru sama Reina."

"Vano bener, Nate. Selama ini lo udah ngebiarin perasaan bersalah dan ketakutan mengkhianati Shanna terus nguasaain diri lo, sampai akhirnya lo nggak punya keberanian untuk bangkit dan meraih dunia lo kembali." Kata Jessi tenang.

Nathan kembali terdiam, mencoba mencerna ucapan kedua sahabatnya perlahan-lahan, meski kepalanya terasa berdenyut-denyut.

Perasaannya pada keadaan saat ini benar-benar memusingkan.

"Nate, lo nggak akan mengkhianati siapa-siapa. Shanna udah tenang di sisi Tuhan." Vano menepuk pundak Nathan – menyemangati.

"People come and go. Tuhan selalu punya rencana-Nya sendiri. Jadi, jangan terlalu meratapi kehilangan. Lo tahu kenapa?"

Nathan menatap Jessi, menunggu perempuan itu menyelesaikan kalimatnya.

"Karena itu bukan akhir. Kehilangan itu bisa menjadi titik awal kehidupan lain, bahkan bisa kita jadikan sebagai awal kisah baru yang jauh lebih baik dari sebelumnya." Pungkas Jessi diiringi senyum tipis yang menenangkan.

Nathan memandang Vano dan Jessi bergantian, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. "Gue nggak yakin."

"Ini cuma masalah tekad. Bukannya kita sering bilang gini sama pasien yang hampir kehilangan harapan, 'kalau nggak ada kemauan sembuh dari diri sendiri, maka pengobatan sebagus apapun nggak akan berguna? Lo juga gitu Nate, kalau lo nggak ada kemauan buat ngelepasin masa lalu, lo nggak akan bisa memulai hidup baru sama siapapun itu." Ujar Vano.

Menjadi Dia [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now