ARCANE 16

2 2 0
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

Seorang perempuan mengerjapkan mata, berusaha menyesuaikan cahaya yang mengenai bola matanya. Setelah sekian detik, akhirnya ia bisa melihat jelas sekitar. Dahinya mengerut kala melihat kamar dengan cat berwarna hitam legam, padahal cat kamarnya bergambar kuning dengan dipadukan warna biru, bahkan ada gambar minion. Sedetik kemudian ia sadar bahwa ia sedang tidak berada di kamarnya.

Perempuan itu langsung bangun dan mengecek pakaiannya. Alhamdulillah masih lengkap, tak berkurang satu pun. Ia pun mengecek cincin di jari manis dan masih berada di sana. Ia berdiri untuk memeriksa setiap detail sudut kamar itu. Ia tak menemukan hal yang mencurigakan. Di kamar itu hanya terdapat kasur, lemari, cermin, serta meja kecil dekat jendela, yang diatasnya berisi buku-buku tentang filosofi, strategi, dan buku tentang bela diri.

Setelah mengecek satu persatu dan tidak ada hal yang mencurigakan, ia pun langsung memencet sebuah tombol kecil di cincinnya. Cincin itu pun langsung mengirimkan sinyal keberadaannya kepada rekan-rekannya yang mempunyai cincin yang sama serta mengirimkan sebuah pesan yang berisi, "Aku baik-baik saja. Aku minta tolong kirimkan seseorang untuk menjemputku dan katakan kepadanya agar berhati-hati. Terimakasih." Setelah mengirimkan sinyal dan pesan, ia pun berjalan ke pintu.

Sepi. Tak ada satu orang pun yang lewat. Ia pun keluar dan menutup pintu dengan pelan. Ia berjalan sangat pelan dan hati-hati. Langkahnya terhenti kala melihat sebuah foto besar yang dipasang di suatu ruangan. Ia sangat mengenali foto itu dan itu adalah foto keluarganya. Foto itu di potret kala sehari sebelum peristiwa yang menewaskan anak pertama Altair, yang tak lain dan tak bukan adalah Azzam Muttakin Maharaja Ricollas Pradipta.

"Sudah bangun adikku? Azurra Fellah Maharani Ricollas Pradipta?"

Suara itu mengalun merdu memanggil namanya dan Zurra mengenal jelas suara itu. Suara itulah yang sangat dirindukan keluarga besar serta sahabat-sahabatnya. Reflek ia membalikkan badan.

Zurra tak bisa menahan buliran bening di kedua mata saat melihat sosok yang berdiri di hadapannya tanpa lecet satu pun. Laki-laki itu mendekati Zurra dan memeluknya erat. Zurra pun membalas pelukan lelaki dirindukannya tak kala erat. Bahkan, tangisannya semakin keras kala punggungnya dielus penuh kelembutan.

"Aku kangen kamu, Kak. Aku enggak nyangka kamu masih hidup tanpa luka satu pun. Hiksss, jahat banget, huaaaaaa."

"Kakak minta maaf ya? Cup sudah jangan nangis. Ayo duduk di sana." Azzam menuntut Zurra ke sofa dan mengambil gelas berisi air dari tangan pengawalnya yang baru datang. Pengawal itu menunduk dan meninggalkan keduanya. Azzam menunggu tangisan Zurra reda.

5 menit berlalu, tangisan Zurra mereda dan tersisa hanya suara sesegukan Zurra. Azzam menuntut Zurra untuk minum air putih.

"Udah baikan?"

"Jelaskan semuanya tanpa terlewat satu pun."

Azzam terkekeh melihat raut wajah kembarannya yang sungguh menggemaskan. Hidung mancung serta pipi chubby kembarannya  memerah serta sisa-sisa air mata di kedua sudut matanya.

Zurra yang mendengar respon Azzam pun kesal. Ia mengepalkan tangan dan memukul dada bidang kembarannya berulang kali.

Azzam pun mengeluh terkekeh walaupun rasa sakit di dadanya mulai menyerang. Ia yakin sebentar lagi luka beberapa tahun lalu kembali berdarah. Sungguh pukulan seorang ketua dunia hitam tak main-main.

"Shh. Sakit. Sudah-sudah aku akan menjelaskan semuanya."

Zurra menghentikan pukulannya. Ia pun bersiap melontarkan satu kata, namun matanya membelalak saat melihat baju yang dikenakan Azzam terdapat noda darah.

ARCANE Donde viven las historias. Descúbrelo ahora