[61]

310 70 12
                                    

"Nak, jangan buat Mami seperti ini, ya?" katanya pelan sembari mengusap perut gue. Baru banget gue memuntahkan makan yang memang enggak enak tapi gue paksakan makan ketimbang gue kena infus terus. Gue enggak mau. Sakit rasanya sekarang. Belum lagi gue makin enggak bebas bergerak. Bedrest nyiksa gue juga, ya.

Tapi gue enggak boleh nyerah, kan? Gue harus berusaha untuk menstabilkan kondisi gue demi Utun. Kepala gue agak pening lantaran hanya bisa masuk infus. Oh ... apel yang siang tadi gue makan. Selebihnya? Enggak ada yang bisa masuk dan berakhir—lagi dan lagi—di closet. Gue sampai capek dan pengin nangis tapi kalau ingat Utun, gue berusaha banget untuk menahan diri.

Apa yang Hulk lakukan di perut gue, gue abaikan.

"Masih enggak enak perutnya?" tanyanya pelan. "Mau teh hangat?"

Gue menggeleng atas tawarannya. "Gue mau tidur. Lo pulang aja sana," usir gue sembari menepis tangannya yang lagi-lagi ingin menyentuh perut gue. yang gue dengar hanya kekehannya saja.

"Abang enggak akan pulang. Di sini temani kamu, Neng."

Selimut yang tadinya tersibak, kembali gue raih dan menutup sebagian badan gue. memberinya punggung tanpa berkata apa-apa lagi. mungkin karena capek muntah-muntah terus, bikin gue cepat banget ngantuk. Mungkin juga gue seharian ini capek lantaran memikirkan banyak hal yang Mae suarakan untuk gue pertimbangkan setelahnya.

Enggak tau, lah. Yang jelas, enggak berapa lama gue tertidur. Enggak peduli Hulk mau temani gue, kek. Dia milih pulang, kek. Sebebasnya dia aja. gue enggak tau seberapa lama gue terpejam, yang jelas, tidur gue malam ini nyaman dan nyenyak. Enggak ada rasa khawatir berlebih atau pikiran gue yang terlalu penuh sama hal-hal yang enggak bisa gue jangkau.

Gue sendiri enggak tau kenapa adanya rasa nyaman itu. Dan saat gue membuka mata kembali, jam di dinding kamar rawat gue sudah menunjuk pukul tiga dini hari. Gue lirik, Hulk lagi sholat. Khusu' banget. Kurang ajarnya, mata gue enggak teralih ke mana-mana. Memperhatikan dengan amat semua geraknya.

"Jujur sama gue, lo cinta sama Kak Kiki, kan? Kalau cinta, masih ada harapan memperbaiki, Rin. Kesempatan kedua itu kadang diperlukan dalam sebuah hubungan. Ini bukan sekadar pertunangan doang, tapi sudah suami istri. Terikat sah. Apalagi sebentar lagi ada anak."

Perkataan Mae kembali memenuhi kepala gue tanpa permisi. Gue enggak menjawab pertanyannya karena enggak punya jawaban yang pasti.

"Gue enggak tau hutang budi model gimana yang dimaksud Abang saat menyinggung si Nisa ini," kata gue pelan. Rasa apel yang tadinya manis dan segar, berubah jadi hambar. "Gue cuma mau, dia cerita semuanya. All of. Enggak ada yang ditutupi. Kalau gue marah karena cerita yang dia punya, bukannya lebih baik ketimbang dia bohongin gue? Ditutupi begini? Yang bikin gue kecewa banget."

Mae mengusap bahu gue pelan tanda simpati.

"Dia bilang, sudah cerita semuanya tapi apaan? Buktinya masih bilang kalau dengan Nisa ada hutang budi. Coba lo jadi gue? Hati gue ini enggak setegar kelihatannya. Kayak puyo. Rapuh."

Dasar punya sahabat yang enggak bisa banget bikin hati gue adem. Satu cubitan cukup kencang diterima lengan gue padahal gue ini lagi bedrest. Bukannya diusap-usap sayang malah dianiaya. Gue protes malah dibilang berlebihan. S!alan, kan, Mae itu?

Hamil tapi tambah sadis.

"Mungkin ... ada sesuatu yang enggak perlu lo tau." Mae berkata agak hati-hati di sini yang bikin gue melengos.

"Gue istrinya kali. Masa iya gue enggak boleh tau hal itu? Dia tau gue masih cinta sama Hekky."

Mae ngakak. "Yakin? Bukan cuma bibir doang yang bilang cinta? Kalau cinta sama Hekky, gue yakin banget Hekky sekarang sudah di sini, Rin. Temani lo. Lo, kan, lebay masalah sakit sedikit. pasti sudah laporan sama Hekky minta disayang-sayang."

(not) FINDING NEMOWo Geschichten leben. Entdecke jetzt