[23]

249 61 5
                                    

"Gimana?" tanya gue dengan suara pelan. Merebahkan diri setelah rasanya lelah sekali menata hati. Eh ... sok puitis sekali hidup gue. Maksudnya energi gue jadi habis banget menghadapi hal yang sudah berlalu dua jam tadi.

"Enak. Lo enggak jadi main?"

Gue menggeleng samar padahal tau Mae enggak bakalan melihat, ya. Bodohnya. "Enggak. Gue makin galau jadinya."

"Kenapa, sih?" tanya Mae dengan suaranya yang lembut gitu. Gue baru tau sisi lembut Mae sekarang banyak banget yang keluar. Ah, gue jadi mellow.

"Tadi Mas Hekky ke rumah."

Gue tau Mae diam bukan karena enggak mendengarkan, tapi memberi jeda untuk gue melanjutkan bicara.

"Sama papanya. Dan ... yah, gitu lah. Jadi drama."

"Endingnya?"

"'Seperti yang pernah Ibu bilang, dia memang memaafkan tapi enggak mungkin melupakan. Lo tau rasa sakitnya gimana. Gue sudah bercerita sama lo tentang masalah ini."

"Sabar, ya, Rin." Mae berkata dengan suara pelan. "Kalau ada di dekat lo, pasti gue peluk. Kalau mau nangis, nangis aja. gue temani."

Enggak ada kata-kata seajaib ucapan yang barusan gue dengar. Luruh sudah air mata yang sejak tapi gue tahan ini. gue memang butuh nangis. Butuh pelampiasan besar karena sungguh, ini sesak banget. Memang ... gue sangat mengakui, perlakuan papanya Hekky bikin gue pribadi dendam. Gue masih muda, labil pula. Melihat orang tua gue dibuat seperti itu, bohong rasanya kalau gue enggak dendam.

Bahkan kadang gue sering berdoa, kasih hukuman yang setimpal sama orang yang sudah berbuat jahat sama Ibu dan Ayah. Eh ... kenapa jadi gue ikutan kena? Apa karena gue salah berdoa, ya? apa memang seharusnya dendam itu enggak perlu ada? Apa konteks memaafkan yang sesungguhnya, benar-benar mengikhlaskan?

Tapi gue belum bisa.

Bayang wajah Ibu yang merana. Ekspresi sedih wajah Ayah yang gue kunjungi dalam waktu singkat. Belum lagi perjuangan gue untuk tetap senyum padahal banyak yang menyindir. Semuanya terputar otomatis tanpa bisa gue kendalikan. Membekas banget di hati.

"Dan ... lo akhirnya gimana?" tanya Mae dengan nada penuh hati-hati. Gue sudah mulai mengusap air mata yang membasahi pipi. menarik napas pelan biarpun agak kesulitan, sepertinya ingus gue bikin mampet hidung. Biarlah dibilang jorok. Di depan Mae ini.

"Gue enggak mungkin berpaling dari kemauan orang tua gue, Mae. banyak pengorbanan kalau gue harus lanjut sama Hekky, salah satunya penerimaan. Gue enggak tau seberapa kuat badai menerpa gue nantinya kalau sama Hekky. Secara dari pihak orang tua gue aja, enggak suka dan enggak setuju."

Gue menarik napas lagi. mengusap ujung hidung yang tau-tau basah.

"Enggak mungkin gue harus berdebat terus sama Ibu dan Ayah terkait urusan rumah tangga gue dan Hekky, walau nantinya, gue bisa tinggal terpisah. Orang tua akan tetap memantau, kan, Mae? Kayak lo aja sama Enyak. Akan ada di mana orang tua kita interupsi entah itu masalah anak. Masalah sepele semisal peletakan barang di rumah. Atau paling besar, deh, kalau suatu saat gue sama hekky ditimpa sebuah masalah."

"Gue enggak mau, punya toxic relationship di rumah tangga. Kalau gue kuat, kalau enggak? kalua Hekky sabar, kalau enggak? gue bisa adu pendapat terus. Belum-belum gue sudah dapat label janda karena enggak tahan sama tekanannya."

"Wah ... penjabaran lo keren amat! Lo udah pantas jadi istri, Rin."

"Sialan emang lo!"

Mae ngakak. Gue heran. Meresapi dengan amat kata-kata gue barusan. Kenapa bisa selancar itu bicara mengenai hubungan di masa depan terkait rumah tangga? Baru juga jadi tunangan orang lain, sudah seperti ini jangkauan pemikiran gue? Bagaimana kalau gue jadi istri? Atau ... jangan-jangan gue dinobatkan jadi istri sholehah, ya?

Ngawurnya pemikiran gue!

"Tapi itu benar, kok. Kalau lo memaksakan diri, pasti hubungan kalian banyak tegangnya ketimbang adem. Padahal rumah tangga itu mengawali yang baik-baik. Biarpun yang tegang juga enak."

Tunggu, ini maksudnya Mae apa, ya?

"Tegang yang enak itu maksudnya apa, ya, Mae?" Gue penasaran lah. Gue kudu konfirmasi kalau-kalau pemikiran gue salah total. Enggak lucu lah kita enggak se-server nantinya.

"Nanti lo juga tau."

Ck! Berarti gue benar dengan asumsi gue. "Bikin nagih, ya?"

Mae ngakak lagi. "Sudah, ah. Gue capek ketawa. Tapi makasih udang baladonya. Enka banget. Bilang makasih banget buat Ibu, ya, Rin. Kapan-kapan gue repotin lagi mau, kan, ya?"

"Memang Enyak enggak bisa masak?" Bukan gue enggak mau direpoti seperti ini, sih. Hanya saja, Enyak itu terkenal banget masakan betawinya yang yahud parah. Langganan beliau banyak. Kadang kalau enggak jualan, pasti sedang ada pesanan.

"Enggak tau juga. setiap kali gue makan masakan Enyak, muntah-muntah. Kadang gue enggak enak banget sama Enyak. Sudah capek masak, repot ngurusin gue yang kadang pusing mendadak, eh ... makanannya enggak bisa gue makan." Ada nada sendu saat Mae berkata seperti itu.

"Kata Ibu, orang hamil itu memang enggak mudah. Jadi ... lo sabar, ya, Mae."

Dia terkekeh malah. "Lo benar. Semuanya serba salah. gue jadi ingat Enyak. Waktu beliau hamil gue, gimana, ya?"

Saat mae bicara itu, seketika gue pun ingat Ibu. "Itu lah yang gue ingat, Mae. Ibu terlihat bahagia di mata gue saat gue mau menerima Hulk. Dan memutuskan enggak akan memaksakan diri lagi untuk hubungan dengan Hekky. Pengorbanan dia enggak sebanding dengan pengorbanan hati gue."

"Gue berdoa, semoga Hulk lo ini bisa membawa bahagia tersendiri untuk lo, ya?"

"Aamiinn. Gue berharap begitu. Dan kayaknya, gue bakalan ikuti saran lo."

"Apa?" tanya Mae dengan nada penasaran.

"Perbanyak sholat minta petunjuk dari Allah. Siapa tau memang benar si Hulk jodoh terbaik."

***

"Ibu?" panggil gue pelan begitu keluar kamar, ada sosok Ibu yang masih duduk di meja makan. Sendirian. Dan bahunya kayak bergetar gitu. Seperti orang menangis. Gue berjalan pelan menghampiri. "Bu," panggil gue sekali lagi.

Saat Ibu menoleh, matanya memerah. Fix. Beliau nangis.

"Kenapa?"

Ibu malah menggeleng tapi tangannya terjulur mau menyentuh pipi gue. Tangan yang selalu menopang gue dan berjuang untuk gue. Tangan yang di permukaan pipi gue terasa kasar tapi yakin lah, lembut banget sentuhannya. Tangan yang siap banget menghalau hal-hal buruk yang menimpa gue.

"Ibu merasa jahat sama kamu jadinya."

"Lho, ini kan sudah dibahas. Kenapa Ibu bicarain lagi? Arin sudah buat keputusan, kok." Gue berkata ini juga dengan hati mantap. Apa yang tadi gue utarakan sama Mae, sepertinya itu memang berasal dari lubuk hati dan pemikiran alam bawah sadar gue. tanpa gue sadar, gue memang memikirkan dampak kalau gue tetap bertahan dengan Hekky.

Kenapa enggak mencoba dengan Hulk? Walau gue tau enggak gampang, enggak ada salahnya mencoba, kan?

Jangan tanya hati gue, jawaban gue masih tetap sama. gue masih cinta sama Hekky. Enggak mudah melunturkan namanya di hati gue yang meman terlanjur buat dia. Tapi gue enggak mungkin mengorbankan yang lainnya hanya demi cinta gue. gue tau, prinsip pengorbanan di sini seperti apa.

Gue cuma berharap, apa yang jadi keputusan gue ini memang yang terbaik.

"Iya. Ibu ngerti dan Ibu benar-benar salut. Jadi sedih lagi Ibu."

Gue merangsek dalam pelukannya. Menerima balas dekap dari Ibu dengan usapan lembut di puncak kepala.

"Ibu berdoa, semoga Rasyid adalah pilihan yang tepat, ya, Nak."

Gue senyum saja. Enggak pengin mengutarakan apa-apa lagi. Gue tekan sedemikian rupa perasaan gue yang bergemuruh di dada. Buat gue, Ibu segalanya.

"Eh, tadi gimana masakan Ibu? Mae suka enggak? Kamu sudah telepon?" tanya Ibu sembari mengurai pelukannya.

"Suka. Malah dia bilang mau enggak direpotin lagi kalau pengin yang lainnya? Kurang ajar banget emang si Mae tuh!"

Ibu malah jitak kepala gue! "Enggak boleh gitu. Selama Ibu enggak repot, Ibu enggak masalah."

Dalam hati gue mau teriak rasanya. "Iya, Ibu enggak repot. Yang repot belanja kan, Arin!"

(not) FINDING NEMOWhere stories live. Discover now