[38]

203 51 6
                                    

Gue enggak mau mendetailkan saat perpisahan sama Abang di bandara. Bikin gue mau nangis lagi. jangan tanya gue kenapa, soalnya gue enggak punya jawaban apa yang terjadi sama diri gue. Beberapa petuah panjang Abang beri sepanjang peluk yang bisa dia kasih sesaat sebelum benar-benar hilang dari pandangan gue.

Termasuk pentingnya terus berhubungan di telepon. Lebih intens dari sebelumnya. Gue mengangguk saja namun di dalam hati sungguh menyetujui.

Gue sudah di rumah, lebih tepatnya di kamar. Memejam sejenak gue pikir pikiran gue yang melanglang entah ke mana bisa kembali. Nyatanya enggak. pikiran gue masih terfokus pada satu sosok; suami gue.

Astaga! setelah beberapa minggu terlewatin bersama, baru kali ini gue akui dia sebagai suami. Padahal berbagi ranjang, ya, sudah. Berbagi selimut, hampir setiap hari. Belum lagi bersama dalam satu bejana di kamar mandi. duh ... sering banget kami lakukan.

Bukan perkara having sex after marriage yang tiba-tiba gue pikirkan, sih. Bukan. Sama sekali enggak ada pemikiran itu dalam benak gue. Melakukan hal itu bersama Abang, seperti sudah alamiah terjadi begitu saja. Enggak tau siapa yang memulai, pasti kami berakhir entah setengah telanjang atau malah tanpa satu helai benang pun. Melainkan sosoknya.

Seorang Rasyid Ananta kayaknya sudah mulai merengut paksa otak normal gue biar agak enggak waras karena memikirkannya. Bagaimana dia di sana nanti. Atau gue di sini bagaimana kalau dia enggak ada. Kayak perkara makan, deh. Biarpun enggak perlu gue ingatkan, gue merasa menyiapkan makan untuk Abang itu jadi kesenangan tersendiri buat gue. Biarpun gue belum benar-benar bisa memasak untuknya tapi meladeni dia tetap gue lakukan sepenuh hati.

"Kalau nanti sudah bisa tinggal berdua aja, Neng masak, ya," katanya di suatu sore saat gue lagi menikmati kolam ikan di rumahnya. Setelah resepsi di hari Minggu, gue memang enggak langsung pulang. Sekitar tiga hari menginap di rumah mertua.

Di sana lebih parah lagi. Gue sama sekali enggak boleh menyentuh dapur. Mama bilang, urusan makan itu urusan Mama apalagi anak kesayangannya pulang juga membawa istri. Luar biasa memang mertua gue itu. Jadi selama di sana, gue hanya difokuskan melayani ... digarisbawahi, ya. Melayani seorang Rasyid Ananta.

"Tapi kalau masakannya enggak enak, gimana?" tanya gue dengan nada khawatir. Bukan apa. Ibu jago banget masak. Nah, sebelas dua belas sama Mama. Lah gue? Goreng emping aja kadang gosong.

"Enak. Belum nyoba secara utuh, kan? selama ini Cuma bantu Ibu atau Mama?"

Gue setuju di bagian itu. "Tapi kalau beneran enggak enak?"

"Buatan istri pasti enak. Kalau kurang rasa, nanti Abang bilang. Kalau gosong, ya diulang. Selama masih punya tekad menyenangkan suami, Abang selalu hargai."

Enggak. tenang aja. gue tipe perempuan yang enggak gampang blushing Cuma karena kata-kata seperti ini. yang ada, "Aduh ... isinya tentang menyenangkan suami mulu. Menyenangkan istrinya kapan, ya?"

Abang tergelak. "Neng maunya disenangi dengan cara seperti apa? Pujian? Perhatian yang banyak? Kasih sayang yang besar?"

Gue mencebik setelahnya. "Itu namanya keharusan. Abang harus beri itu ke Arin biar merasa beruntung diperistri sama Abang."

Dia masih setia sama gelaknya. Mengacak rambut gue pelan. "Pasti akan Abang beri. Arin bersiap aja."

"Can't wait kalau begitu."

Dan obrolan kala itu, banyak disisip hal-hal baru seputar pekerjaannya di sana. atau pekerjaan gue di sini. sesekali juga, Abang enggak segan menggoda gue yang justeru bikin gue kesal. Bukannya merasa tersanjung atau apa. Soalnya, selain kata-katanya yang memang manis tapi begitu gue menatap wajahnya, seperti meledek. Jadi gue anggap, dia ini sedang meledek ke arah gue.

(not) FINDING NEMOWhere stories live. Discover now