[46]

253 59 2
                                    

Berulang kali gue mengusap ujung hidung dengan aroma minyak kayu putih. Kepala gue pening mendadak padahal seharian ini makan enggak telat. Abang batalin semua booking hotel dekat tepi pantai karena kondisi gue makin lemas sejak muntah-muntah tadi.

Entah karena sea food atau pengaruh perut gue yang habis jungkir balik naik wahana atau juga karena angin yang terlalu kencang. Gue enggak tau. Yang jelas, setelah gue makan sea food yang enak itu, perut gue bergejolak parah. Padahal jeda antara gue makan dengan disudahinya petualangan gue seru-seruan sama Abang itu cukup lama. Gue sampai kebingungan sendiri jadinya.

Apalagi Abang.

Mukanya panik banget saat gue enggak bolik-balik dari toilet dan begitu melihat gue setengah jongkok di kloset, dia langsung membantu gue memijat tengkuk dengan pelan. Lumayan bikin gue sedikit lebih lega. Agak lama gue duduk dengan kondisi lemas juga pening yang tau-tau mendera. Bikin gue enggak punya selera makan sedikit pun padahal lapar.

"Kalau ngantuk, Neng tidur saja," kata Abang yang masih fokus mengendalikan kemudi. Cukup lenggang jalan Jakarta malam minggu ini.

"Pengin minum jeruk anget." Gue sedikit menegakkan punggung. "Masih lama enggak keluar tolnya?"

Abang tersenyum kecil. "Sabar, ya, sebentar lagi kita keluar tol. Mau sekalian makan? Tadi Neng baru makan sedikit."

Gelengan gue beri sebagai jawaban. "Takut muntah lagi." Gue usap pelan perut gue yang masih sedikit enggak nyaman. "Masuk angin kayaknya."

Usapan lembut gue terima di kepala. "Terlalu seru mainannya, ya? Ke dokter, ya?"

"Enggak mau. Butuh tidur aja." Sejak awal Abang mengusulkan gue untuk berkunjung ke klinik terdekat tapi gue menolak. Yakin gue masuk angin biasa enggak perlu terlalu berlebih. Apalagi gue habis main seru parah gitu. Bisa jadi memang kondisi tubuh gue kaget juga dengan aktifitas yang tadi gue lakukan.

Gue dengar Abang menghela napas pelan. "Oke."

Selebihnya gue memilih memejam sejenak biar enggak terlalu terasa perjalanannya sembari sesekali menghidu aroma kayu putih. kadang usapan lembut penuh sayang itu gue terima dari Abang.

"Oiya, Abang lama di Makasar?"

Mobil Ayah mulai memasuki gerbang tol keluar, pikiran gue sudah mulai dipenuhi enaknya jeruk anget.

"Belum tau, sih."

"Kenapa Abang enggak percayakan pengelolaan toko sama Rama? Abang percaya sama Rama, kan?" tanya gue penasaran. Abang bilang, Rama ini orang yang paling bisa diandalkan di toko. Semua jenis barang dia hapal dan tau fungsinya dengan benar. Banyak pelanggan yang suka dengan referensi yang Rama berikan kalau mengenai makanan serta ragam obat yang bisa diberikan pada hewan peliharaan.

Sesuai dengan referensi Abang tentu saja.

"Abang rencananya juga seperti itu. Mungkin bulan depan. Untuk dua atau tiga minggu ini Abang serah terima dulu. Nanti laporannya biar Rama enggak terlalu pusing juga. Harus ada yang bantu karena toko enggak cuma satu, Neng."

Gue mengangguk paham.

"Neng enggak perlu khawatir mengenai Dini. Abang bisa pastikan itu, kok," katanya sembari tersenyum kecil. "Abang tadi sudah jelaskan, kan? Apa ada yang masih mau Neng ketahui lagi?"

Sebagai jawaban, gue menggeleng. "Tadi jelas, kok. Asal enggak main-main sama kepercayaan Neng aja."

Sekali lagi, gue coba untuk percaya. Karena dirinya juga berjanji enggak akan sembarangan lagi dengan ponsel. Mengesankan segampang itu, ya, gue? enggak juga. gue Cuma enggak kepengin capek dengan pemikiran buruk.

(not) FINDING NEMOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang