[54]

215 54 17
                                    


Enggak peduli betapa larangan itu keras banget Ibu gaung, gue tepat berangkat ke Makasar. Mama dan Bapak segera gue kasih tau, ketika cahaya masuk ke retina gue. enggak tau seberapa lama gue pingsan, yang jelas, kabar ini harus sampai ke mereka juga. Dan mereka berdua memutuskan untuk terbang segera ke Makasar. Juga gue.

"Tapi kamu lagi kayak gini, Nak. Lebih baik Mama Sofi saja yang ke sana, ya," bujuk Ibu lagi. Gue menggeleng tegas. Tangan gue cepat mengambil potongan baju dan menjejalnya ke koper. Tadi Mama sudah mengabari kalau bertemu langsung di bandara. Mama enggak membiarkan gue naik pesawat sendirian makanya beliau bablas langsung ke Soekarno-Hatta.

"Ibu benar, Rin. Tunggu kabar di rumah saja, ya." Kali ini, Ayah yang bersuara. Di ambang pintu menatap gue dengan pandangan yang sama; khawatir.

Gue menghela napas pelan, mencoba tersenyum biarpun kalut ge makin detik makin jadi. "Arin enggak sabar nunggu kabar, Yah, Bu. Arin mau lihat langsung keadaan Abang. Pamit kemarin masih sehat, kenapa malah seperti ini?" Gue berusaha banget untuk enggak menimbulkan getar pada suara gue. Sumpah. Menahan tangis itu gue sama sekali enggak pandai.

"Ya sudah. Sampai bertemu dengan Mama Sofi, Ayah antar dan temani, ya."

"Ibu juga."

Gue mengangguk saja, kembali meneruskan kegiatan gue dan memastikan enggak ada yang tertinggal. Hal pertama yang gue lakukan, mengusap perut rata gue. Berharap banget kali ini kerja sama yang paling baik, biar kami semua tiba di Makasar dengan selamat dan enggak ada kendala berlebih.

Saat gue jatuh pingsan, bertepatan dengan masuknya Ibu ke kamar mengingatkan gue makan. Niatnya seperti itu. Dan kabar itu pun Rama jelaskan pada Ibu. Gue ngotot banget mau nyusul, apa pun kondisinya karena ini berkaitan dengan Abang; suami gue. koper kecil gue sudah siap, tas tentng gue pun siap. Gue merasa sudah siap dan enggak ada yang tertinggal.

Ah, kabari Mae. Soalnya, gue pasti ada cuti dadakan. Segera gue ketik pesan sesingkat mungkin dan berharap, Pak Bos enggak marah. Juga Bu Ira.

Sepanjang jalan menuju bandara, gue merasa waktu berputarnya lama banget. Gue pengin segera tiba di sana. Melihat langsung keadaan Abang yang kata Rama, cukup mengkhawatirkan. Perkara apa, sih, sampai harus terlibat perkelahian begitu? Rama enggak kasih tau detailnya hanya info di rumah sakit mana Abang dirawat.

"Nanti kabari Ibu kalau sudah sampai, ya, Rin," pesan Ibu sesaat setelah akhirnya kami tiba. Gue sudah mendapat kabar kalau Mama sebentar lagi pun sampai.

"Iya, Bu. Doakan, ya," kata gue sembari menggenggam tangan Ibu. Lalu mengecup tangannya penuh takzim sebagai izin.

"Kita tunggu sampai Mama Sofi datang, ya, Rin." Ayah menepuk bahu gue pelan. Berusaha menguatkan gue.

Detik menunggu itu enggak pernah bikin gue dalam taraf sabar yang cukup, hingga akhirnya, Mama dan Bapak muncul. Bikin gue enggak bisa menutupi kelegaan akan hadirnya sosok Mama. Dan gegas, kami berpamitan.

"Sofi, tolong jaga Arin, ya. Takutnya nanti merepotkan kamu." Ibu khawatir banget wajahnya bikin gue tambah nelangsa. Mungkin kalau kondisi gue yang enggak hamil. Ibu enggak terlalu mengkhawatirkan gue seerti ini. Khawatir, tapi enggak sampai sekalut ini.

"Ya ampun, Arin itu sudah seperti anak aku sendiri. Kamu jangan khawatir. Insya Allah aku jaga baik-baik. Kan ada cucuku juga," kata Mama sembari tersenyum kecil penuh tulus.

Ibu dan Ayah saling pandang, lalu berbarengan menghela napas lega. Gue tau banget, Ibu dan Ayah bukan tipe orang yang senang merepotkan orang lain. Kalau mereka bisa kerjakan sendiri, pasti sudah dikerjakan. tapi berhubung gue yang akan pergi sendirian, Ibu enggak bisa jaga gue padahal gue sendiri bukan menolak pengawasan Ibu hanya saja, gue tau Ibu sudah sangat repot. Gue enggak tega kalau beliau terus menerus malah mau merepotkan diri untuk gue.

(not) FINDING NEMOWhere stories live. Discover now