[8]

284 60 3
                                    

Gue berakhir di kafe yang sering gue kunjungi sekadar untuk menemani Hekky minum kopi. Di depan gue duduk pria yang enggak putus-putus menatap gue dengan pandangan rindu.

Sama. Gue juga. Kangen banget biarpun beberapa hari lalu enggak sengaja ketemu. Tapi entah kenapa suasana jadi canggung gini. Hekky lebih banyak diam ketimbang biasanya. Sudah orangnya memang pendiam, ditambah sekarang? Gue sendiri masih mencari topik apa yang bagus untuk dibicarakan sementara gue masih takut, ujung-ujungnya kita membahas hubungan yang enggak pernah ada ujungnya ini.

"Arin cuti?"

Pertanyaan macam apa itu? Jelas kalau hari kerja gue kelayapan di luar kantor, artinya gue cuti. Pantang buat gue membolos kerja biarpun kerjaan gue untuk sebagian orang menjemukan. Berkaitan sama uang dan nominal angka yang enggak bisa masuk ke rekening gue.

"Iya." Begonya gue menjawab. Astaga. Secanggung ini kah suasana kami?

Lalu gue dengar dengan jelas dia menghela napas panjang. Seperti mau bicara tapi ia tangguhkan gitu. gue jadi penasaran, kan. "Mas Hekky kenapa?"

Dia cuma senyum. "Mau mastiin aja, sih."

Kening gue berkerut. "Mastiin apa?"

"Arin serius sudah bertunangan dan mau menikah dalam waktu dekat ini?"

Pernah dengar suara petir tanpa ada mendung atau gerimis di siang hari enggak? Nah, persis seperti ini yang gue rasa. Pertanyaan Hekky bikin gue ketar ketir mendadak juga enggak bisa berkutik barang sedikit.

"Ah, ngeliat ekspresi kamu berarti hal itu benar, ya?" Hekky tersenyum kecut. Gue menelan ludah yang rasanya seperti ditabur duri ikan yang banyak banget. Bikin nyangkut di tenggorokan yang membuat gue makin susah bernapas.

"Mas masih sayang sama Arin," katanya sembari menggenggam tangan gue. Erat. Ya Allah, gue sendiri aja masih merasakan hal yang sama. "Dengan cara apa lagi biar orang tua Arin paham?"

Gue menggeleng dengan mata yang sudah basah air mata. Tiap kali bertemu, pasti ujung-ujungnya nangis. Padahal setiap kali bertemu Hekky, pasti gue bisa tertawa lepas juga menikmati hari. Sebelum Ibu dan Ayah menvonis kalau hubungan gue enggak mendapat restu.

Sakit rasanya.

"Tapi rasanya terlambat, ya? Arin sudah ada yang melamar dan setuju."

Mata gue mengerjap pelan. "Setuju? Dari mana?" Setengah berteriak gue berkata. Enak saja Hekky menyimpulkan hal itu. "Mana ada begitu!"

Hekky masih dengan senyumnya yang kecut itu. "Cincinnya dipakai."

Refleks gue tarik tangan gue yang dia genggam. Menyembunyikan yang gue rasa percuma banget karena dia tau. Sial banget memang cincin ini!

"Siapa pria yang beruntung itu, Rin? Mas boleh tau?"

Bahu gue merosot tiba-tiba. "Bisa enggak bicara hal ini enggak? Aku malas banget."

"Maunya enggak bicara hal itu, tapi entah kenapa ucapan pria yang angkat telepon Arin kemarin bikin Mas kesal."

Gue mengerjap. "Si Hulk bilang apa?"

"Ya?"

"Itu... cowok yang angkat telepon Mas Hekky. Bilang apa dia?" Gue yakin banget telepon itu pasti diangkat. Dia enggak ngaku pula. Ditanya malah cuma mengedikkan bahu gitu. Kan... dugaan gue tepat! Pasti ada yang dia bicarakan sama Hekky.

"Namanya Hulk?"

Gue mengusap wajah dengan frustrasi. "Bukan!"

Hekky malah tertawa kecil. "Kayaknya dia bisa bikin kamu stress tiba-tiba, ya, Rin?"

(not) FINDING NEMOWhere stories live. Discover now