[1]

712 88 10
                                    


"Yah, please. Jangan bikin aku tiba-tiba gila gini dong!" Gue enggak terima. Sumpah! Ini maksudnya Ayah gimana, sih? Mau menjodohkan gue? Seenaknya aja!

"Pokoknya Ayah tunggu kamu pulang on time sampai di rumah."

Kalau saja membanting ponsel di kantor itu sebuah kebiasaan gue yang lain, pasti sudah gue lakukan. Saat Ayah menutup telepon gue, yakin lah, gue sudah seperti banteng betina siap ngamuk.

"Rin?" tanya Mae tiba-tiba. "Lo kenapa?" tanyanya dengan pandangan menyelidik.

"Mae," Gue segera menghampirinya. Menggenggam tangannya erat-erat. "Lo enggak nyumpahin gue, kan?"

Gue tau, gue bicara ngawur sekali. Buktinya kening Mae berkerut.

"Pas lo dijodohin sama Adam, lo enggak nyumpahin gue dijodohin sama ortu gue, kan?"

Jelas saja Mae ngakak! Tubuhnya yang tambah berisi ikutan menertawaiku! Nyebelin! Gue cemberut saja, lah!

"Enggak, lah. Gue enggak sejahat itu." Mae menarik salah satu kursi. Duduk dengan nyaman selayaknya Nyonya Bos. Dunianya jungkir balik karena si Satria-Satria itu. Eh... Satria bos gue, sih. Sejak diketahui positif hamil, Mae kerjaannya dikit banget. Iya, lah! Nyonya Bos. Siapa juga yang bakalan ngasih kerjaan banyak ke dia. Bisa dilaser sama tatapan elang punya Satria.

"Kenapa memangnya?" tanyanya lagi.

Bikin gue berdecak kesal. Lembaran untuk report kali ini, gue remas-remas. Enggak apa. Nanti gue cetak lagi. Ketimbang gue banting ponsel? Sayang, baru beli.

"Bokap telepon gue," kata gue lesu. Bahu gue rasanya merosot sampai ke lantai. Terkulai, gue duduk saja lah. "Gue mau dijodohin."

"Mas Hekky?"

Makin jadi lah gue nelangsa. "Lo sering dengar gue cerita enggak, sih, Mae?"

Dia mengangguk pasti. "Kan gue selalu bilang sabar buat lo. Berarti gue dengarin lo curhat, Rin."

Kalau ingat Hekky, rasanya nangis enggak cukup untuk menyuarakan ganjalan akan hubungan gue berdua. Baru saja gue reguk manis berasmara dengan pria yang bisa gue bilang; dewasa, pemikirannya matang, belum lagi mampu imbangi gue yang reseh ini. Tapi? Gue masih mau hidup penuh berkah dan selamat dengan restu orang tua.

Ibu dan Ayah sama sekali enggak setuju gue pacaran dan ke arah yang serius dengan Mas Hekky. Sama sekali enggak kasih kadar toleransi bahkan alasan yang paling masuk akal untuk gue. Mereka langsung nge-cut gitu saja tanpa berpikir, gue bakalan patah dan sakit hati. Hubungan gue dan Hekky bukan sebatas pacaran gitu-gitu aja, kok. Eh... bukan yang aneh-aneh juga, ya. Gue benar-benar merasa dihargai dan disayang banget sama dia.

Gue sayang Mas Hekky, by the way. Dia tipe gue banget, lah. Eh... sandungan gue besar banget.

Restu.

Belum juga kering patah hati gue enggak dapat restu, tau-tau dapat kabar mirip bom atom yang jauh ke Nagasaki. Hebat banget bikin jantung gue porak poranda. Ayah kalau bicara enggak pakai tendeng aling-aling sepertinya. Langsung terabas!

"Jangan melamun, Rin. Siapa tau malah terbaik buat lo," kata Mae sok bijak. Dirinya mengusap lengan gue pelan. Sosoknya sekarang malah seperti seorang ibu yang lembut gitu. Ajaib banget perubahan dalam diri Mae. Mungkin karena dirinya langsung dipanggil Ibu sama dua anak Satria yang lucu-lucu itu kali, ya.

Bicara anak sambung Mae, si Nendra sudah enggak ketus lagi ke gue. Dia pernah langsung konfrontasi ke gue, lho! Katanya dia enggak suka kalau gue terlalu dekat sama ibunya. Hellaw anak kemarin sore... Mae dan gue lebih dulu akrab keleusss. Tapi gue enggak bilang begitu, sih. Gue cuma mesam mesem saja sambil berkata, "Terus sekarang Nendra tau kalau Aunty Rin sahabatan sama Ibu Mae?"

(not) FINDING NEMOWhere stories live. Discover now