[52]

246 68 20
                                    

Bungkam gue masih setia di bibir. Sosok Abang enggak pernah jauh mengikuti ke mana pun gue pergi tapi jangan harap ada tegur ramah atau manja dari bibir gue. Enak saja. Setelah dia bikin gue marah sejadi-jadinya? Lalu dia datang dan minta maaf? Itu pun karena ibunya yang menegur? Berhubungan dengan pria model apa gue ini?

"Neng," panggilnya entah sudah yang ke berapa kali. Gue memilih pura-pura tuli, meneliti dengan amat ponsel yang lebih menarik ketimbang dirinya yang duduk di depan gue sekarang.

"Neng, jangan diam terus dong. Abang bingung mesti gimana."

Kali ini, tangan gue mendapat sentuhnya. Sejak kedatangannya sehari lalu, gue benar-benar enggak membalas semua perkataannya. Di meja makan, gue tetap menjalankan peran sebagai istri yang baik Cuma enggak bicara aja. Anggap saja gue bisu. Gue kalau sudah sangat marah, memilih diam seribu bahasa biar orang yang menjadi sasaran emosi gue sadar diri, itu juga kalau sadar. tapi biasanya, sih, sadar.

Gue ini bawelnya tingkat kelurahan, tau-tau diam enggak menggunakan suaranya pasti aneh banget. Ayah berulang kali melirik ke gue dan Abang. Mungkin karena aura di meja makan berubah banget sejak kehadiran si Hulk di sini. Dan gue baru tau, kalau dia bisa secerewet itu untuk menarik perhatian gue.

"Neng, tambah ayamnya."

"Neng, minum Abang mana?"

"Neng, nasinya dikit lagi. Nah ... eh, itu kebanyakan. Dikit aja, kan, Abang bilang."

"Neng, ini yang masak kamu, ya? Enak banget. Istri Abang memang luar biasa."

Semua ucapannya? Enggak ada yang gue gubris.

"Ini sudah hari ketiga neng enggak bicara sama Abang. Abang pusing banget enggak dengar suara ceriwis istri Abang yang manis ini. Bicara gitu. Marahin Abang lebih baik ketimbang didiamkan begini," katanya. Yang sekarang setengah berjongkok di depan gue. Mata gue enggak mau menatapnya. Masih mempertahankan dengan amat kemarahan yang gue simpan rapat siap dilempar kapan saja.

"Abang salah, Neng. Abang minta maaf." Kali ini, ia jatuhkan sebagian kepalanya di pangkuan gue. Biasanya kalau Abang lagi mode manja seperti ini, gue enggak pernah ragu mengusap kepalanya. Sembari bercerita ini dan itu, bertukar banyak kisah yang gue anggap sebagai bagian dari saling mengenal satu sama lain. Tapi kali ini, gue enggak mau melakukan hal itu.

Merasa gue enggak ada pergerakan, Abang mendongak. Kembali menatap gue dengan pandangan nelangsa. Mohon maaf, gue enggak segampang itu membiarkan seseorang mendapat maaf.

"Abang bukan enggak suka dengan berita kehamilan ini, Neng. Sama sekali bukan. Abang Cuma ... gimana, ya?"

"Udah lah. Kalau enggak suka, tinggal bilang. Santai aja. Baby enggak butuh ayah juga enggak ngaruh," kata gue cepat."

Mata Abang mengerjap takjub juga sepertinya shock dengan apa yang gue katakan barusan. Mata gue kembali malas menatapnya.

"Enggak gitu, Rin. Baby juga anak Abang."

"Anak Abang? Ya ampun ... Arin masih belum pikun untuk paham ucapan Abang tempo hari. Kalau memang enggak mau bikin istrinya hamil, jangan terlena kalau berhubungan. Simple, kan? gilirna sudah hamil, seolah meragukan dan enggak siap. Suami model apa, hah?!"

Gue masih bisa menahan amarah, lho, enggak langsung nyembur mirip naga yang kelaparan siap menghanguskan lawannya. Eh ... malah ditanggapi dengan senyum yang bikin gue jengkel.

"Boleh Abang jelaskan dulu? Kenapa Abang merespon seperti itu kabar dari Neng beberapa hari lalu?"

Gue melengos tapi dengan menyebalkannya, dagu gue ditahan biar enggak lari ke mana-mana selain mengarah padanya. Juga netra gue yang jengah tapi tetap ditantang untuk tetap bersitatap. Pemaksa banget memang seorang Rasyid Ananta!

(not) FINDING NEMOWhere stories live. Discover now