[35]

246 59 2
                                    

Pembicaraan di kafe menemui kesepakatan baru. Kalau kami harus saling meletakkan apa itu percaya. Komunikasi paling penting harus sering dilakukan. Buat gue, biarpun gue ini korban perjodohan tapi enggak bisa lagi seenaknya enggak menerima. Toh, semua yang gue punya sudah ikhlas gue beri ke Abang. Walau perkara hati belum sepenuhnya gue bagi.

Serius. Biar bagaimana pun gesreknya otak gue, gue itu tipe setia. Bukan selingkuh tiada akhir, ya. Bukan. Sembarangan. Itu enggak ada di kamus hidup gue. Bagi gue, selingkuh itu kejahatan. Bisa-bisanya berkhianat sementara di satu sisi, ada yang berharap. G!la aja. Kalau memang dirasa sudah enggak cocok, kenapa masih lanjut?

Gue selalu berpedoman dengan prinsip itu.

Berhubung ini hubungan gue dan Abang sakral banget, gue pun enggak bisa main-main lagi. Perlahan gue belajar untuk menerima keberadaannya yang memang sebelum akad pun, sudah perlahan mengusik hati gue. Dan semua perlakuan Abang ke gue, enggak ada yang buruk kok. Caranya bicara panjang lebar sama gue, bikin gue merasa ... apa memang Abang ini orang yang benar-benar dikirim Allah dalam hidup gue?

Menggantikan posisi Hekky di hati gue yang sudah enggak lagi dalam kuota seratus persen.

"Kok, melamun?" tegur Ibu. Gue lagi didandani kembali dengan kebaya yang kali ini bisa bikin gue bergerak bebas. Bahkan gue menggunakan sneakers biar lebih lega melangkah. Dibalut kebaya lengan pendek dengan aksen bunga bordir pink di beberapa bagian, lalu rok lilit sebetis yang bikin langkah gue enggak susah, juga dandanan yang friendly banget untuk pesta di luar ruangan seperti yang akan gue hadapi siang ini.

Iya, betul.

Resepsi di Bandung kali ini, Abang bilang enggak seperti di rumah gue. Lebih ke arah kumpul bersama dengan pengantin juga pihak keluarga dari pihak Abang. Soalnya memang enggak banyak yang bisa datang ke resepsi kemarin. Juga kawan-kawan Abang di Bandung. Undangannya pun katanya enggak banyak. Gue manut saja. Toh, enggak direpotkan banget mengenai segala urusan yang ada. Jadi enggak khawatir juga takut enggak sesuai.

Bertempat di salah satu villa yang ada di daerah Lembang, di mana terselenggara pesta dengan tema garden party yang sederhana tapi intim dengan keluarga. Dan jangan lupa rombongan ibu-ibu rempong sudah lebih dulu tiba di sana. Malah kata Ibu, mereka ikutan jadi seksi repot yang membuat suasana makin meriah.

Gue jadi enggak sabar pengin lihat venue-nya.

"Hei, Rin. Jangan bengong!" Ibu menjentikkan jemarinya tepat di depan wajah gue. Gue sampai mengerjap heboh saking kagetnya.

"Ibu apaan, sih."

"Kamu bengong?"

"Enggak," sanggah gue. Memang enggak bengong, kok. Cuma memikirkan betapa leluasanya gue dan enggak sabar melihat venue yang ada. Ini enggak dikategorikan melamun, kan?

"Ayo. Kamu sudah siap ke tempat resepsi," kata Ibu sembari memastikan dengan amat wajah gue. "Kamu kalau Ibu perhatikan benar-benar, ternyata cantik juga, ya."

Subhanallah, Ibu. Untung sayang. Coba kalau enggak! Sudah habis gue cibir dan membalas perkatannya dengan kata-kata sinis andalan gue. ketimbang meladeni Ibu, lebih baik gue bergegas keluar dari ruangan setelah mengucapkan banyak terima kasih dengan tante Auri. Beliau masih yang sibuk mengurus acara kami ini, sih.

Semua penanganannya luar biasa totalitas. Kalau kurang satu dua hal menurut gue hal biasa namanya juga acara penting. Khilaf hal yang biasa tapi selama enggak menganggu jalannya acara, buat gue enggak masalah. Masih bisa ditanggulangi, kan?

Ibu sedikit menarik lengan gue yang bikin gue kaget karena enggak siap. tapi begitu beliau ada di samping gue, gue paham kalau seharusnya gue keluar bareng sama Ibu. dasar, Arin! enggak sabar banget! Ya gimana enggak sabar kalau sejak semalam Abang bilang, "Jangan menangis terharu atau bikin malu, ya, besok. Abang punya kejutan buat Arin."

(not) FINDING NEMOWhere stories live. Discover now