[57]

271 73 27
                                    

Alasan gue untuk Ibu dan Bapak, gue sudah terlalu lama cuti. Padahal bisa saja gue habiskan cuti tahunan gue untuk tetap berada di samping Abang. Menemaninya hingga pulih minimal tapi itu enggak gue lakukan. Percuma. Hati gue terlalu sakit mendengar semua pengakuannya.

Bahkan permintaan maaf yang entah berapa kali gue dengar langsung dari bibirnya serta seguk tangisnya, gue enggak pedulikan. Enggak sangka kalau Abang bisa berbuat seperti itu di belakang gue.

Dari semua penuturannya, gue bisa tarik kesimpulan besar kalau Abang memang masih peduli dengan seseorang yang bernama Nisa ini. Bahkan Abang enggak peduli kalau Nisa sudah punya suami. Alasannya, "Nisa selalu dikasari suaminya, Neng. Abang enggak tega."

Kalau bisa gue mengumpat, pasti bibir gue sudah melafalkannya dengan lancar.

Dini, kakak dari Nisa yang memang dekat dengan Abang sejak awal. Mereka bersahabat dekat walau gue yakin seratus persen, Dini pun punya perasaan sama Abang. Biarpun berkilah, bersahabat tapi felling gue enggak bisa dibohongi. Memang, hubungan Abang dan Nisa sudah berakhir dua tahun lalu. Dan hanya dekat dengan Dini, karena mereka masih punya hubungan mengenai pekerjaan.

Persis seperti yang Rama bilang, Abang merasa kasihan dengan nasib Nisa yang memiliki suami kasar. Berbekal rasa kasihan itu lah, Nisa seperti enggak mau melepas Abang begitu saja. pun Dini. Kaka beradik itu menempel mirip lintah yang enggak kentara.

Kalian tau hubungan toxic dalam pertemanan? Mereka bertiga dalam satu jaringan. Kuat. Lengket. Lekat.

Dan puncaknya, Abang membela Nisa habis-habisan di depan suaminya. Ah ... drama banget, kan? Kesal gue kalau ingat. Semua yang Abang bilang, sama persis seperti cerita Rama. Kecuali satu hal; pengakuan Abang terkait perasaannya.

"Abang anggap Nisa dan Dini seperti adik, Neng. Enggak kurang enggak lebih. Mereka banyak bantu Abang di sini. Merasa enggak terima aja kalau Nisa diperlakukan seperti itu."

Gue meringis pelan. "Dan Abang lupa ... kalau sudah beristri. Ada orang lain yang menunggu kabar Abang. Yang membutuhkan Abang. Hebat banget, ya."

Dia diam mendengar ucapan gue dan tiba-tiba selibatan ingatan gue mengarah pada satu sosok; Adam. "Apa bedanya Abang dengan tunangan Mae dulu? Buat Arin sama. Laki-laki kardus."

Sekali lagi, Abang berusaha menggenggam tangan gue tapi enggak kurang-kurang gue menepisnya. Merasa jengkel dan marah gue bersatu banget pada satu tujuan; Abang.

"Gue mau pulang," putus gue cepat tanpa peduli kalau wajah Abang berubah pucat.

"Neng, jangan gitu. abang tau abang salah tapi abang mohon, maafin. Ini terakhir kalinya Ab—"

Sorot mata gue menghujam ke arahnya. Semua rasa sakit yang gue punya, terakumulasi di sana. "Maafin Abang? Gampang banget, ya?" Gue kembali duduk tapi tetap dalam keadaaan awas. "Lo tau, kan, gue hamil? Anak siapa? Anak lo. Gue istri Abang tapi ditinggal begitu saja hanya karena sebuah kabar, Nisa dipukul suaminya."

Gue tarik napas sebanyak mungkin. Suara gue sudah gemetar tapi enggan kalah dengan air mata yang siap turun.

"Dari situ aja gue sudah paham kalau gue ini ... gue yang lo nikahin, enggak ada harganya. Hamil anak lo pun, enggak guna untuk menjadi prioritas hidup lo. Dan gue akhirnya sadar, kenapa lo kaget gue hamil. Alasan lo enggak siap, karena lo belum siap 100% melepas yang ada di sini."

Tanpa sadar, gue usap leleh air mata yang turun.

"Neng, jangan gitu." Dia mencoba meraih gue tapi jelas gue menolak sentuhannya. Entah kenapa rasa jijik mulai menguasai gue. "Abang benar-benar enggak suka Arin bicara seperti itu. Nikah sama Neng itu harapan Abang. Neng hamil, itu juga bagian dari kebahagiaan Abang."

(not) FINDING NEMOWhere stories live. Discover now