[43]

212 63 3
                                    

"Rin, Rin. Kemarin nangis karena Hekky. Sekarang karena Kak Kiki. Lo yang benar aja, lah."

Satu-satunya hal sial yang terjadi dalam hidup gue kali ini adalah Mae yang berucap sembarangan seperti sekarang ini. Padahal saat gue datang tadi, gue masih dapat sambutan berupa peluk. Kangen juga gue enggak ketemu dia hampir dua minggu ini. Makin berisi gue perhatikan si Mae.

Gue hapus air mata yang turun tanpa permisi ini dengan segera. "Lo tau bagian paling miris di antara semuanya, Mae?" Dan detik itu juga, atensi ibu hamil di depan gue teralih dari kegiatannya mengupas apel. Tatapannya menyorot tanpa mau menunggu. "Gue enggak bisa berkata banyak. Semuanya kata nyangkut di tenggorokan. Dan itu enggak ngenakin banget." Gue raih salah satu bantal sofa, dan menenggelamkan muka di sana.

Ada satu usap lembut yang gue rasakan di bahu dan gue tau berasal dari mana.

"Kok, bisa?" Kali ini tatapan Mae menyorot sekali bingung. Jangan kan dia, gue saja bingung banget. Padahal apa yang Abang sampaikan sejak semalam itu enggak gue percaya sama sekali. Mana ada makan siang bareng kawan lainnya tapi hanya ada mereka berdua di sana? Belum lagi, ponsel itu hal privasi. Bisa-bisanya si Din-din itu malah mengutak atik dan menyalin nomor ponselku sekadar mengirimkan foto?

Sudah enggak wajar banget, kan?

Itu belum seberapa. Cerita mengenai kondisi Pets Shopnya juga bikin gue curiga, kok. Dia cerita panjang lebar mengenai kondisi di sana seperti apa. Enggak ada masalah selama ditinggal ke Jakarta hampir satu bulan ini. Dan gue sendiri dengar dengan jelas laporan yang selalu diberi orang kepercyaannya di sana. Enggak ada yang dikhawatirkan dan dalam kondisi aman.

Lalu sekarang?

Gue pantas curiga, kan?

"Gue merasa, ada hal yang memang ditutupi sama Abang dari gue."

Mae terdiam sejenak. "Kalau gue jadi lo, memang itu yang gue curigai, sih. Dan sekarang, apa yang mau lo lakuin?"

Gue mengedikkan bahu. "Sama sekali belum kepikiran apa-apa. Ya Allah, Mae, usia pernikahan gue aja belum genap sebulan sudah dapat hal yang bikin gue enggak tenang."

"Gue enggak tau kapan manusia diuji sama Tuhan-Nya. Mungkin untuk lo di saat sekarang ini. Gue enggak tau juga, sih, konsep ujian Tuhan ini seperti apa. Yang pasti, gue dukung lo seratus persen. Kalau Kak Kiki salah, gue enggak segan juga buat menyalahkan dia biarpun ini mencurigakan sebenarnya."

Alis gue tertaut. "Maksudnya?"

"Gue pernah bilang, kan, kalau Kak Kiki ini paling baik di antara kami berempat? Yang paling care dan paling bisa diandalkan?"

Gue mengangguk.

"Dia memang pernah cerita mengenai hubungan pribadi dengan perempuan, gue sudah cerita sama lo, kan?"

Lagi-lagi gue jawab dengan anggukan. Gue masih ingat dengan cerita Mae beberapa hari lalu mengenai seorang Rasyid Ananta. Pria tiga puluh lima tahun ini, pernah menjalin hubungan dengan perempuan tapi bukan dengan Dini. Mae ingat dengan jelas nama perempuan itu, karena mereka akrab sudah beberapa tahun lalu.

Sering kali obrolan random memang terjadi kalau mereka berempat sama-sama enggak sibuk. Biarpun Vodka itu tengil, dirinya sudah disibukkan dengan dunia kedokteran juga. Belum lagi Gin yang terlihat tegas dan kaku. Sama halnya dengan Whiskie alias Rasyid ini.

Nama gadis itu, Anisa. Gue perlihatkan foto dengan Dini yang baru beberapa hari gue dapatkan, Mae menggeleng. "Anisa pakai jilbab, Rin. Dan wajahnya enggak seperti ini. Gue ingat biarpun sudah hapus foto itu. Banyak banget di grup foto-foto kalau kami lagi ngobrol."

"Tapi Anisa ini sudah lama juga enggak pernah dia singgung kalau di grup. Saat gue lomba tahun lalu itu, dia bilang, dia memang enggak dalam hubungan terlalu serius. Hanya pendekatan."

(not) FINDING NEMOWhere stories live. Discover now