[49]

226 61 6
                                    


"Lho, Rin? Kamu kenapa?"

Gue mengerutkan kening. "Kenapa apa, Bu?"

"Itu ... mata kamu sembab? Nangis? Kenapa?"

Ah, gue lupa. segamblangnya gue bicara, gue tetap perempuan. Yang punya banyak sisi mellow alias cengeng dengan kadar berlebih. Apalagi ditambah hamil begini yang gue rasa mulai menunjukkan eksistensinya. Alias berulah di pagi hari.

Gue bukan enggak terima perut dikocok menggunakan goyang bor atau goyang patah-patah yang pernah viral. Enggak sama sekali. Tapi mengingat perkataan Abang yang mengesankan kenapa gue mesti hamil sekarang-sekarang ini padahal jelas dia yang bikin gue hamil, rasa sakit hati gue timbul kuat banget.

Bikin gue rasanya pengin ninju perut demikian keras biar enggak bikin gue mual

Tapi gue masih ingat, betapa dosa dan bersalahnya nanti hati gue seandainya hal itu gue lakukan. Gue belum gila seratus persen, cuma enggak waras kalau bicara. Otak gue masih bisa digunakan dengan jalan yang lurus dan baik, kok.

"Iya semalam nonton drama," kilah gue. Malas berurusan panjang sama Ibu, belum pengin ditanya macam-macam soalnya. Ketimbang gue malah berakhir di pelukan Ibu dengan tangis, gue memilih membungkam kata. Masih ada empat hari kerja lagi untuk gue lalui. Enggak mungkin gue membolos demi menangisi sedih yang gue derita karena hamil.

Semua pesan, chat, telepon, panggilan, bahkan pesan suara yang Abang kirim, gue abaikan. Enggak ada satu pun yang berniat gue respon. Buat apa? Gue memberi kabar bukan sesuatu yang buruk tapi ditanggapi seolah hanya lalu begitu saja.

Kesannya ... dia enggak terima gue hamil. Sampai gue bangun tadi, enggak percaya banget dengan kata-kata juga ekspresi Hulk seperti itu. kalau memang mau nunda, kenapa juga mesti berhubungan sama gue segitu semangatnya?

Ah ... gue juga bego! Arin bego!

"Eh ... anak Ibu malah bengong. Kenapa, sih? Drama apa yang ditonton sampai enggak bisa menginjak bumi lagi?"

Rasanya gue mau tertawa tapi enggak bisa. Pada akhirnya bibir gue cuma mencebik kecil ucapan Ibu. Segelas susu yang gue tau adalah susu hamil, disodorkannya ke gue. Ragu gue terima tapi ini semua hasil kerja keras Ibu tadi pagi. Buatkan gue susu, sarapan, memastikan gue makan teratur. Gimana bisa gue untuk menolak semuanya?

Jadi yang gue lakukan saat ini; duduk manis sembari menikmati susu dan roti bakar yang Ibu buat sebagai peneman. Bekal makan siang saja Ibu sengaja siapkan, lho. Ya Allah, Ibu luar biasa banget padahal hati anaknya lagi koyak mirip jala milik nelayan usang.

Gue hanya bisa memberi senyum tulus dan rasa terima kasih yang gue yakin itu enggak pernah cukup akan kasih sayang Ibu. juga kembali mengingat permintaannya mengenai jodoh gue; Rasyid Ananta. Sampai detik ini gue masih belum menemukan korelasi yang benar-benar tepat di mana Ibu bilang Abang ini baik untuk gue. Kalau nyatanya, ucapannya semalam saja sudah bikin gue patah banget.

Ini lebih dari sekadar gue mendapat kiriman foto aneh.

"Arin berangkat, ya, Bu," pamit gue setelah ojek yang gue pesan sudah ada di depan gerbang. Ibu mengiring gue hingga duduk nyaman di jok belakang. Oh ... enggak lupa hal yang sebenarnya menghangatkan hati gue bersamaan dengan mirisnya perasaan gue. Ucapan Ibu.

"Pak, minta tolong hati-hati, ya. Anak saya lagi hamil muda."

Andai Ibu tau, pria seperti apa yang Ibu inginkan jadi suami gue.

***

"Rin, lo yakin bisa habiskan ini semua? Lo makan kayak orang kalap. Kenapa, sih?" tanya Sapto dengan kernyitan heran di dahinya. Gue makan siang berdua kali ini. bekal gue ada. Tapi entah kenapa gue mau soto daging juga.

(not) FINDING NEMOWhere stories live. Discover now