[17] Noan dan Titano

103 2 0
                                    

Kalau baca jangan lupa tinggalkan jejak ya 🌚

➿➿➿

Aku sudah berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Tapi kenapa kamu selalu saja menikam hati ku yang sudah banyak terluka.

➿➿➿

Sudah beberapa hari setelah kejadian di kantor waktu itu, baik Maudya maupun Amrif sama-sama tidak ada yang mau menyapa lebih dahulu. Kalaupun bertemu hanya saat sarapan, itupun dilalui dengan keheningan sebelum akhirnya mereka kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Yah, setidaknya ini lebih baik bagi Maudya, karena jujur saja kata-kata dari Salsa tempo lalu masih belum hilang sepenuhnya dari ingatan Maudya.

"Hari ini aku ingin keluar." Akhirnya, keheningan yang melanda sejak tadi terpecahkan oleh suara Maudya yang datar.

"Kemana?" Tanya Amrif sambil melirik istrinya yang terlihat enggan untuk menatapnya. Seolah nasi yang ia makan jauh lebih menarik dari wajah Amrif yang tampan.

"Ke mall. Aku mau membeli kebutuhan kuliah ku." Jawab Maudya tanpa melirik suaminya yang kini terdiam memandangi wajah yang terlihat cantik itu.

"Ya sudah, nanti saya transfer-"

"Tidak perlu. Aku masih punya uang sendiri untuk membeli. Lagipula, itu kebutuhan ku, sudah sewajarnya aku menggunakan uang ku sendiri." Tolak Maudya sebelum Amrif benar mengirim uang padanya.

"Sudah saya kirim ke rekening kamu." Ucap Amrif berhasil menarik atensi Maudya pada lelaki itu.

"Kan aku udah bilang gak usah. Aku masih bisa beli sendi-"

"Maudy. Saya ini suami kamu, sudah seharusnya sebagai suami saya memenuhi segala kebutuhan kamu. Jangan hanya karena kamu merasa itu kebutuhan pribadi, kamu menghalangi kewajiban saya menafkahi seorang istri." Tegur Amrif menatap tajam manik mata sang isteri yang kini membalas sama tajamnya.

"Aku tidak menghalangi. Aku memang punya uang sendiri, sebagai istri aku hanya tidak ingin membebani suami. Salah memangnya?" Balas Maudya.

"Tidak salah, tapi tidak juga benar. Setidaknya kalau memang kamu tetap ingin memakai uang sendiri, kamu tidak perlu menolak uang yang saya kasih. Kamu bisa menyimpannya. Lagipula saya masih sanggup untuk membiayai kebutuhan kamu tanpa kamu berpikir bahwa itu beban." Tegas Amrif.

Maudya diam menatap Amrif sebelum menghela nafasnya berat. "Terserah kamu."

Tak ingin perdebatan mereka semakin panjang, Maudya segera bangkit dari duduknya membawa piring kotor bekas makan miliknya dengan Amrif ke wastafel untuk dicuci. Sambil mencuci piring, Maudya berusaha untuk fokus pada pekerjaannya tanpa mau menghiraukan tatapan Amrif yang begitu intens menatapnya.

Setelah menyelesaikan tugasnya, Maudya berlalu begitu saja melewati Amrif yang sedetikpun tidak melepaskan pandangannya dari Maudya. Sampai pada akhirnya, tepat saat Maudya melewati Amrif, pria itu menahan tangannya untuk tidak pergi.

Menghela nafas berat, Maudya menoleh. "Ada apa?" Tanyanya. Namun, pria itu hanya diam memandanginya tanpa terlihat sedikitpun minat untuk buka suara.

"Kamu gak kerja?" Bosan hanya dipandangi seperti itu, akhirnya Maudya kembali membuka suaranya.

"Kerja." Jawab Amrif tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya dari Maudya.

Dear My HusbandWhere stories live. Discover now