Prolog

419 7 0
                                    

Suara gesekan antara pulpen dan kertas terdengar dikeheningan malam di sebuah kamar yang terlihat remang remang.

Sosok perempuan yang kini tengah duduk di depan sebuah meja terlihat menulis sesuatu di secarik kertas.

Dear my husband

Ketika sebuah rumah tangga terbangun beralaskan dengan satu cinta. Jelas tidak akan pernah bertahan lama. Aku tau kita adalah dua manusia yang tidak seharusnya bersatu.

Aku mencintaimu, dan Kamu tidak mencintaiku.

Maafkan aku yang egois mempertahankan hubungan yang seharusnya tidak pernah ada. Berpegang teguh pada prinsip cinta akan datang karena terbiasa. Begitu bodohnya aku menutupi rasa benci mu dengan rasa cintaku.

Aku akan pergi. Dan saat aku pergi, kamu bisa kembali pada sosok yang memang seharusnya disandingkan untuk mu. Maafkan untuk keegoisanku selama ini.

Untuk yang terakhir kalinya..

Aku mencintaimu mas..

Tertanda- Maudya Annisa

Maudya melirik sosok pria yang kini tertidur lelap di atas kasur. Meletakkan pelan kertas tersebut di atas sebuah map berisi surat perceraian, Maudya bangkit menghampiri suaminya.

"Maaf mas. Aku sudah berusaha untuk selalu percaya bahwa kita memang ditakdirkan untuk bersatu. Tapi aku mengerti, tidak seharusnya aku kembali lagi dalam kehidupanmu." Gumam Maudya menatap sendu Amrif yang terlihat tampan dalam tidurnya yang lelap.

"Maafkan aku yang menyerah dalam medan peperangan ini. Bukan aku tak mampu untuk bertahan, hanya saja aku tidak ingin menyakiti siapapun lagi terlalu dalam." Bisik Maudya berusaha menahan genangan air yang sudah memupuk dimata.

Menarik nafas panjang, untuk yang terakhir kalinya. Maudya mengecup kening suaminya lama lalu berbalik pergi membawa satu buah koper yang telah dia sediakan tanpa sepengetahuan Amrif.

Amrifan Virgonio Abraham. Nama yang sedari dulu tertulis rapi tanpa bisa dihapuskan.

Maafkan aku yang datang tanpa diundang dalam kehidupanmu. Merusak kebahagiaan mu tanpa belas kasih.

Setelah aku pergi, berjanji lah satu hal padaku. Kamu harus bahagia. Jika memang kebahagiaanmu adalah Salsa, maka kembali lah padanya.

Meski hati ini tidak akan mampu diobati. Tapi setidaknya senyum mu yang mekar mampu meringankan sedikit rasa sakit yang ada.

Dan teruntuk kamu Salsabila. Maafkan sahabatmu yang jahat ini. Kamu bisa membenciku, karena sejujurnya aku pun juga ikut membenci diriku sendiri.

Aku sudah pergi. Jadi, kamu bisa kembali merajut kebahagiaan yang sempat tertunda karena kehadiranku ini tanpa takut terganggu lagi.

Di depan gerbang rumah bertingkat dua tersebut, Maudya menghentikan langkahnya. Di depannya sudah ada sebuah mobil yang akan mengantarkannya menuju bandara.

"Maudy.." panggilan tersebut menyadarkan Maudya dari lamunannya. Tatapannya yang kosong mengarah pada sosok pria yang menjadi teman masa kecilnya itu.

"Ayo, satu jam lagi pesawat akan terbang. Lo gak mau lama lama menetap di kota penuh luka inikan?" Sindir pria tersebut sambil bersandar di pintu mobil, menghadap Maudya.

"Kota Lo yang sebut penuh luka ini adalah kota kelahiran gue kalau Lo lupa Noan. Gue gak akan pernah lupa sama kenangan yang ada di sini. Meski penuh luka, tapi gue gak bisa menampik kalau gue pernah merasakan apa yang namanya bahagia." Balas Maudya tajam.

Pria yang dipanggil Noan itu hanya terkekeh pelan lalu masuk kedalam mobil, membiarkan sahabatnya itu sekedar mengucapkan sepatah kata perpisahan pada kota yang ia bilang penuh kenangan. Karena setelah ini, Noan yakin Maudya tidak akan pernah pulang.

Maudya membiarkan pria menyebalkan itu mendahuluinya. Tatapannya kembali mengarah pada rumah tingkat dua yang menjadi tempat tinggalnya setelah menikah dengan Amrif.

Dan yah. Pada akhirnya kisah ini memang sudah tidak bisa dilanjutkan lagi.

Dear My HusbandWhere stories live. Discover now