[7] Luka

122 2 0
                                    

Selamat membaca 🐹

🌭🌭🌭

Jangan bersikap seolah kamu perduli. Karena tak selamanya aku sanggup menahan sakit yang menikam hati.

🌭🌭🌭

Brum Brum Brum

Bunyi mobil memasuki halaman terdengar dari kamar Maudya. Meskipun tau suaminya telah pulang, Maudya tak berminat menyambutnya. Melihat jam yang menunjukkan pukul 22:23 malam, Maudya rasanya ingin marah.

Sepulangnya dia dari pasar, Maudya rasa dirinya tak ada hak untuk marah. Jadi, lepas melaksanakan sholat zhuhur, Maudya memutuskan untuk memasak menu makan siang karena dirinya pikir, Amrif akan pulang untuk makan. Sayangnya, pria itu tak kunjung pulang, membuat Maudya merasa lelah karena beberapa kali memanaskan kembali lauk.

Lihat saja, sekalipun pria itu memanggilnya, Maudya tidak akan menanggapi.

Tok tok tok

"Maudy. Kamu sudah tidur?"

Ketukan pintu dari luar kamarnya membuat Maudya seketika panik. Cepat cepat wanita itu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lalu menutup mata.

Cklek

Dalam diamnya, Maudya mendengar bunyi handle pintu dibuka. Dalam hati Maudya merutuki kecerobohannya yang selalu lupa mengunci pintu kamar.

Tap tap tap

Derap langkah kaki yang mendekat membuat jantung Maudya berpacu dengan cepat. Hingga sebuah tangan mengusap pipinya semakin membuat Maudya mati kutu. Namun, gerakan tangan itu terhenti tepat di keningnya. Karena tidak melihat apapun, Maudya cukup penasaran apa yang dilakukan Amrif.

"Bangun! Berhenti berpura-pura!" Titah Amrif menjauhkan tangannya dari wajah sang istri sambil bersidekap dada.

Perlahan Maudya membuka matanya. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah dingin Amrif yang menyorot begitu tajam padanya.

"Hehe mas, udah pulang?" Dengan cengengesan Maudya bangun dari kasurnya dan berdiri menghadap Amrif.

"Ikut saya!"

Maudya memandang kepergian Amrif bingung, meski begitu tak urung dirinya berjalan mengekor di belakang suaminya menuju ruang tengah.

"Duduk!" Seolah bawahan yang menerima perintah, Maudya duduk di sofa sambil memperhatikan Amrif yang berjalan menuju arah laci seperti mengambil sesuatu lalu pergi ke dapur.

Tak lama, pria itu kembali dengan sekotak P3K dan es batu yang dibungkus handuk di tangannya lalu duduk di samping Maudya.

"Kemari!"

"Mas, mas mau ngapain?" Tanya Maudya tak mengerti. Namun, karena kesal, Amrif menarik Maudya kuat hingga terjatuh dipangkuan pria itu. Sontak hal itu membuat Maudya ingin menghindar, tapi segera ditahan Amrif.

"Diamlah!" Ucap pria itu lalu mendekatkan bungkusan es batu itu kekening Maudya yang memar. Merasakan sensasi dingin di keningnya tanpa sadar membuat Maudya meringis.

"Kenapa bisa memar?" Tanya Amrif sambil fokus mengompres memar istrinya.

"Kepentok tiang halte." Jawab Maudya tak sepenuhnya salah. Untung yang Amrif lihat hanya memar. Kalau saja sepulang belanja tadi Maudya tak mengobati pipi nya yang bengkak, mungkin saat ini Amrif pun akan melihatnya.

Dear My HusbandUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum