1. Prolog

275 16 11
                                    

" Bagaimana bisa secuil kepingan
Harus terbagi kembali, bagaimana bisa hati yang sudah terisi harus menerima lagi satu penghuni "

Abizar Aifaz Fadgham

Angin berhembus agak kencang bahkan menerbangkan dedauan yang sudah terkumpul di tengah lapangan. Sontak saja beberapa santri terlihat kesal karena hasil kerja kerasnya kembali berantakan. Al hasil mereka harus kembali menyapu ulang daun daun itu.

Suasana pesantren di hari minggu terlihat ramai, kelas kelas yang hari biasanya penuh kini terlihat kosong lantaran para muridnya sedang beraktivitas di luar sekolah.

Lalu lalang para santri yang sedang menjalankan piket mingguan bersama itu menjadi pemandangan rutin setiap minggu. Sedari pagi mereka terlihat sibuk berbesih, namun wajah mereka masih berseri. Kegiatan rutin yang melelahkan itu terlihat menyenangkan karena di barengi dengan guyonan.

Tak jauh berbeda dengan lingkungan pondok putra, asrama putri pun juga tak kalah ramai. Jika santri putra berbesih dengan saling bercanda, berbeda dengan santri putri yang lebih banyak berbicara.

" Tadi aku gak sengaja lihat Ning Netta. Lah kok wajahnya serem. Apalagi ada bekas luka benda tajam di pipi kirinya. Hiiyyy kaya zombie "

" Masak sih? "

" Iya, makanya kok dia pakai niqob. Rupa rupanya malu ta sama mukanya sendiri hihihi "

" Insecure ga tuh "

Kedua santriwati itu bergosip sembari berjalan menuju ke gerbang utama, sepertinya keduanya mendapat mandat untuk berbelanja keperluan dapur terlihat dari tangan keduanya yang masing masing membawa keranjang besar kosong.

" Kok mau ya Gus Abi ama dia "

" Mendingan ama Ning dari pondok sebelah gasih daripada ama si Netta itu? "

" Ekhem "

Kedua santriwati yang sedang berbisik itu pun seketika kicep. Langkah keduanya terhenti mendengar suara deheman dari arah belakang. Sontak mereka berbalik arah dengan kepala menunduk.

" Coba katakan sekali lagi! "

Suara ketus itu terdengar menakutkan bagi keduanya. Tidak ada pembetakan, volume bicara Abizar pun seperti biasanya. Namun aura marah dari logat bicara Abizar cukup kentara.

" Kenapa diem? "

" Mboten Gus "
( tidak gus )

Keduanya menunduk tanpa berani menatap lawan bicaranya sama sekali. Abizar segera berlalu. Membuat kedua santriwati itu bisa bernafas lega dan segera berlari ke gerbang utama.

" Astagfirullahalazdzim ya Allah "

Dhzikirnya mencoba mengurangi amarah yang menguasainya. Ia memutuskan untuk mengambil wudhu untuk meredakan emosi. Setelah emosinya mereda ia baru pulang.

Di tengah perjalanan ponselnya berdering. Tertera nama sang ummi disana. Ia segera menjawab panggilan tersebut.

" Waalaikumsalamsalam ummi, kenapa? "

" Bi, ummi mau bicara sama kamu. Kamu langsung ke rumah ummi ya. Assalamualaikum "

Panggilan itu langsung di putus secara sepihak. Ia hanya bisa menghela nafas panjang dan tak ada pilihan lain selain menurut dengan umminya.

" Assalamualaikum "

Ia membuka pintu perlahan. Tak lama ada yang beberapa orang yang menjawab salamnya.

Gus AbiWhere stories live. Discover now