Ale harus benar-benar menonjok Bas kalau mereka bisa lolos hidup-hidup. Laki-laki impulsif semi tidak waras itu menjadwalkan 'praktik' untuk latihan hari ini. Kalau saja Ale tahu maksudnya 'praktik' adalah memancing huru-hara dengan preman stasiun, sudah kabur dia dari tadi. Biarkan saja Bas cari mati sendiri.

"Al! SSTT!"

Ale menoleh secepat kilat. Bas melongok dari tikungan, menempelkan jemari di ujung bibir. Bibirnya bergerak tanpa suara. Sini!

Ale meneguk ludah. Gadis itu celingukan, memastikan kanan-kiri aman, sebelum berjingkat menghampiri Bas. Bas refleks menarik lengan Ale begitu gadis itu sudah dekat. Mereka berdiri berdampingan, merapat di tembok gang. Tidak lama, terdengar maki-makian kasar dan langkah menjauh. Ale dan Bas bertukar tatap. Preman-preman itu sudah menyerah.

Hela napas lega meluncur bersamaan.

"Brengsek lo, Bas." Ale menggeleng, memegangi dadanya yang masih berdebar. "Nggak napas gue."

Bas juga terengah, tapi cengiran hebohnya tidak bisa dicegah. Laki-laki itu menawarkan fist bump. "GOKIL! Pukulan lo yang terakhir tadi- anjir! BANGGA GUE!"

Ale mendengus geli dan menyambut fist bump itu. "Dasar coach gila."

Bas kelihatan super puas. "Cepet juga progress lo, Al. Udah ada bakat kayaknya."

"Bakat jadi tukang pukul, maksud lo?"

"Bakat bela diri, elah." Lesung pipit Bas naik sementara sebelah tangannya mengacak singkat rambut Ale. "Udah, ah. Hari ini latihannya kelar. Sebagai hadiah karena lo udah keren, gue traktir lo makan soto paling enak satu Jakarta."

Alis Ale diangkat. "Di mana tuh?"

"Kontrakan. Hehe. Ibu masak."

Ale memutar mata meski senyumnya tersemat. "Gapapa gue numpang makan di rumah lo?"

"Gapapa, lah. Anggep aja makan di rumah sendiri."

Kalimat itu entah kenapa terdengar aneh di telinga Ale. Mungkin karena gadis itu saja lupa kapan terakhir kali dia makan di 'rumah sendiri'.

***

"Kalo berantem, kenapa lo selalu milih buat ngehindarin pukulan?"

Ale menyeruput kuah soto dari mangkok putih bunga-bunga dengan semangat. Meski cuaca sedang terik, dia tidak keberatan karena Bas tidak bohong waktu bilang soto buatan ibunya adalah soto terenak satu Jakarta.

"Lah, emangnya ada orang yang mau kena pukul?"

Di dekat jendela yang kacanya pecah, Bas menumpu lengan di satu kaki di atas tikar dan menggigit kerupuk.

"Tapi bukannya," kunyah Ale, "kalo lo ngerasain sakitnya dipukul, lo bakal berantem lebih oke?"

Bas mengerutkan kening. "Lo tuh ada apa sih sama rasa sakit?"

"Hah?"

"Barusan kedengerannya kayak lo mau belajar berantem cuma biar bisa ngerasain sakit."

Ale mengerjap. "Tapi kan, berantem emang soal rasa sakit."

"Nggak juga," geleng Bas, menuang kecap ke mangkok. "Berantem lebih soal power. Dan kontrol. Sambel?"

Ale menggeleng, membuat Bas terkekeh.

"Tampang lo doang rebel, nggak berani makan sambel." Laki-laki itu tidak bicara lagi sampai menandaskan suap terakhir dan menyalakan rokok. "Tapi lo udah jauh lebih punya kontrol sekarang. Menurut gue, ya. Daripada waktu kita pertama kali ketemu."

Kita Butuh Kapasitas SemestaWhere stories live. Discover now