G 22 : Insomnia

163K 14.4K 181
                                    

Gamma melirik jam di dinding kamarnya setelah menyelesaikan tugas matematika nya. Laki-laki itu melamun mengambil sekaleng Bir dari kulkas mini yang ada di kamarnya, menyalahkan rokok dan berjalan ke balkon. Gamma duduk di tepi balkon, dia menatap bulan yang terlihat begitu besar malam ini.

Waktu terus berjalan, tapi kenapa manusia tetap sama.

Seperti dirinya.

Terikat dengan masa lalu yang mengerikan itu.

11 tahun.

Bahkan waktu tidak bisa menyembuhkan.

"Kak Gamma kok jahat banget yah,"

Telinga Gamma mendengar sebuah suara, tanpa berpikir panjang buru-buru ia duduk di lantai balkon untuk bersembunyi dari gadis itu, dia mematikan rokoknya yang masih tersisa setengah.

Cheseli duduk di tepi balkon, rambut terurai bebas dan dengan piyama tidur putih, ia terlihat seperti penampakan di tengah malam.

Gamma memperhatikannya sembari meneguk Bir-nya.

Dia hanya diam disana, menopang dagu sembari melihat bulan yang sama dengan yang Gamma lihat malam ini, rambutnya menari dengan indah bersama similir angin.

Cheseli menghela nafas, jujur saja kejadian tadi siang benar-benar menyakitinya.

Ia hanya mencoba untuk baik dan Gamma tega melempar niat baiknya.

"Ah! Ba! Bu! Bi!" Cheseli sepertinya sedang stress, dia berseru tidak jelas.

"Papa!" serunya.

Gamma tertawa kecil, ada-ada ada tingkahnya.

"Pulangnya kapan?!"

Padahal ia baru bertemu Papanya minggu lalu.

"Amel galak!"

"Nuri polos-polos bangsat!"

Gamma langsung tersedak minumannya, ia mengelap bibirnya dengan kaos.

Sejak kapan Cheseli belajar kata-kata kasar?!

Siapa yang mengajari?

"Mona Gaje!"

Cheseli menarik nafas dalam-dalam, rasanya dadanya sedikit lega setelah menjerit keras seperti ini, semoga tidak ada yang bangun jam segini.

"Kak Gamma Gaje...." bisik Cheseli.

Gamma tentu saja mendengarnya.

"Padahal aku engga ada ngapa-ngapain kok makanannya di buang?" Dia berbisik-bisik.

"Niat aku kan baik, kenapa di buang?"

"Kalau kita bukan saudara terus namanya apa?"

"Sok misterius."

"Jahat."

"Nyebelin."

"Sariawan."

Alis Gamma naik sebelah, kenapa dia dikatai sariawan?

"Mau benci tapi engga bisa."

"Udah terlanjur sayang."

Apa-apaan.

Telinga Gamma memerah, seharusnya ia tidak mendengarkan sesi curhat gadis itu dengan alam.

"Kalau bukan adik apa? Apa? Engga mungkin pacar kan?!" seru Cheseli, ia sudah lelah berbisik-bisik.

Gamma terdiam, dia masuk kembali ke kamarnya, menutup balkon dan merebahkan diri di atas kasur.

Sementara Cheseli masih setia di tempatnya, ia mendesah kecil.

Gamma (The End)Where stories live. Discover now