18. Alasan Dari Segalanya

64 6 0
                                    

"Pada akhirnya pergi sejauh apa pun jika harus kembali pastinya akan kembali juga."

—Sylvia Ivy Vianly.

***

Lima menit sudah berlalu, namun gadis yang mengenakan gaun selutut berwarna biru itu masih diam, tak bisa berkutik. Otaknya seolah tak bisa mencerna keadaan yang terjadi saat ini. Otaknya tak tahu apa yang harus ia lakukan dalam menghadapi situasi seperti ini, karena sesungguhnya ia tak pernah menyangka akan dihadapkan dengan keadaan semenegangkan ini.

Seharusnya Ivy tahu konsekuensi jika ia kembali ke Jakarta bagaimana, ia pastinya akan berkemungkinan lebih besar bertemu dengan Ravin serta sahabat-sahabatnya. Namun, jika bertemu saat ini, Ivy masih belum menyiapkan apa-apa. Terlebih mentalnya. Ia takut. Ia sungguh takut. Kejadian masa lalu yang seketika berputar di otaknya membuat Ivy berulang kali meremas ujung gaunnya.

Apakah sekarang waktu yang memang benar-benar pas untuk kembali dan berdamai dengan masa lalu? Meminta maaf kepada semua pihak yang Ivy tinggalkan begitu saja, walaupun pada kenyataannya itu semua pun bukan keinginannya. Ivy sendiri pun terpaksa meninggalkan mereka semua.

"Diam-diam aja, Vy. Lo boleh duduk dan gabung sama kita kok." Akhirnya setelah sekian lama tidak ada yang bersuara, Bening mulai mengeluarkan suara. Ia mempersilakan sang sahabat lama untuk bergabung walaupun ia yakin keadaan ke depannya tak akan baik-baik saja. Pasti akan ada kecanggungan di dalamnya.

Melihat sang kekasih yang diam saja membuat Raka tak bisa menafsirkan keadaan yang terjadi saat ini. Tubuhnya hanya bisa bereaksi duduk di tengah-tengah sahabat sang kekasih tanpa sedikit pun suara yang muncul.

"Thank you tawarannya, Guys! Long time no see and long time no talk. Apa kabar kalian semua?" Akhirnya setelah melihat Raka yang sudah terjebak dengan tawaran sahabat-sahabatnya, Ivy hanya bisa tersenyum dan mengikuti suasana yang terjadi. Ia sudah tak bisa kabur lagi.

"Iya nih, udah lama gak ketemu sama sahabat yang pergi gitu aja, ninggalin kita semua. Mana gak ngomong perginya kemana, gak ngomong mau pergi juga. Berasa gak dianggap loh kita-kita. Udah gitu cuman dikasih surat perpisahan, yang bahkan buat gue aja enggak." Kayla memang seperti itu orangnya, ia blak-blakan dan sangat sarkas. Tak segan-segan Kayla mengucapkan sebuah kalimat sarkas menyakitkan hati kepada orang yang memang membuatnya sebal. Ia tak sebaik itu untuk memikirkan perasaan orang.

"Maaf." Ivy hanya bisa bergumam demikian. Sedari tadi pandangannya tak pernah menatap lurus kepada sosok pria yang menjadi masa lalunya. Sedari tadi, Ivy tak memiliki keberanian yang cukup untuk menatap ke arah Ravin.

Raka menyipitkan matanya, kembali memperhatikan dengan detail sosok pria yang sepertinya ia kenal dan sempat bertemu. "Ini Ravin bukan sih, Sayang? Yang waktu itu ketemu sama kita, kan?"

Berkat perkataan yang dilontarkan oleh Raka, semua pasang mata langsung menatap bolak-balik ke arah Ravin, Raka, dan juga Ivy. Merasa tak ada yang beres dengan mereka semua. Merasa jika ada yang disembunyikan dari ketiga orang di hadapan mereka.

"Pernah ketemu? Lo pernah ketemu sama Ivy setelah Ivy kabur ninggalin kita, Vin? Kenapa lo diem aja? Kenapa lo gak pernah cerita? Kapan lo ketemunya?"

Emosi Kayla saat ini benar-benar memuncak. Ia merasa bodoh sekali saat ini. Ia merasa dipermainkan oleh semua orang. Ia merasa tak dianggap oleh siapa pun juga. Baik itu oleh Ivy maupun Ravin. Kayla hanya sosok pelengkap saja rasanya, bukan siapa-siapa. Hanya orang asing yang tak perlu masuk ke dalam kisah mereka, seperti itu yang kini Kayla rasakan.

Merasa asing di lingkungan ini membuat Raka sadar bahwa ada sebuah konflik yang nampaknya harus segera diselesaikan dan konflik tersebut tak melibatkannya. "Kayaknya kalian semua perlu ngomong buat menyelesaikan masalah ini ya? Sekalian reunian gitu. Santai aja ya, nikmati waktu ketemu kalian. Aku ke mobil dulu ya, Vy. I think you all need privacy. I shouldn't be here."

Dokter VS AkuntanWhere stories live. Discover now