6. Masa-masa SMK

191 17 1
                                    

Dulu kita masih remaja, usia anak SMK. Di sekolah kita berjumpa, pulang pasti kita berdua.
—Sylvia Ivy Vianly.

***

Ravin terfokus pada jalanan yang cukup padat sore ini. Pria itu mengendarai mobilnya dengan penuh kewaspadaan. Semua cita-citanya satu persatu terwujud dan akan terus seperti itu, seperti janjinya yang sejak dulu ia tanamkan pada dirinya sendiri.

Motor matic yang dulunya menemani Ravin pergi ke sekolah, kini tergantikan dengan mobil keluaran terbaru. Rumah yang dulunya hanya satu lantai dan sempit, kini digantikan dengan rumah berlantai tiga yang sangat luas, bahkan saking luasnya saja Ravin sering tersasar.

Tangan Ravin mengusap punggung tangan seseorang di sampingnya. Ya! Siapa lagi kalau bukan Bening? Hidup Ravin akan lengkap jika bersama dengan Bening. Salah satu langkah terbesar yang Ravin syukuri sampai saat ini adalah berjuang bersama dengan Bening. Mereka sama-sama tumbuh dan mereka sama-sama mendapatkan semuanya setelah bekerja.

Lampu lalu lintas berwarna merah, Ravin langsung menghentikan mobilnya dan menoleh ke jok sebelah. Ia menatap gadis cantik yang tengah duduk di sebelah dengan kemeja pink dan rok putih. Gadis itu sangat manis dengan rambut curly yang digerai.

"Kenapa liatin aku gitu banget?" tanya Bening dengan kekehan singkat. Respon yang ia terima hanyalah gelengan dari Ravin. "Aku tau kalau aku cantik kok, jangan diliatin terus gitu lah," lanjutnya penuh kesombongan.

Ravin hanya mendecak kesal, mempunyai pacar yang over percaya diri seperti ini membuatnya hanya menggelengkan kepalanya saja.

"Percaya diri banget kamu! Gak lah, kamu gak perlu cantik-cantik, yang penting kamu setia, udah itu aja." Bening mengulas senyumnya, ia percaya kalau hubungannya dengan Ravin akan berakhir bahagia. Ia percaya jika Ravin adalah tipikal orang yang setia, yang tidak mungkin menduakan dirinya.

"Kalau kamu bilang kayak gini aku jadi inget masa-masa sekolah deh, Vin. Dari SMP aku suka banget sama kamu, gila sih emang aku. Dulu yang ada di pikiranku itu kamu orangnya baik, pintar, penyayang, kamu juga dulu terkenal karena kepandaiannya. Cita-citaku dulu pacaran sama kamu. Ternyata benar ya kata orang, mimpi itu gak boleh setengah-setengah, buktinya aku yang dulunya suka dan pengen pacaran sama kamu, terwujud bahkan udah memasuki tahun ke sembilan."

Bening mengingat masa-masa dulu. Ia mengingat bagaimana dulu pertama kali ia mengenal Ravin lalu Ravin tersenyum pada semua orang dan Bening sangat menyukai senyuman Ravin. Ia tak menyangka jika impian kecilnya dulu, kini menjadi kenyataan.

Tak hanya berpacaran sewaktu sekolah, mereka bahkan tumbuh dan berkembang bersama. Mereka bahkan kini bahagia bersama dengan kehidupan dewasa mereka. Mimpi itu terkabul dengan sangat sukses sekali.

Wajah Ravin memerah, ia juga tak mengerti mengapa semua ini terjadi. Dulu Ravin hanya menganggap kalau Bening hanyalah sahabatnya saja yang kebetulan bernasib sama. Namun kenyataannya, Bening lebih dari itu setelah Kayla membongkar segalanya.

Ravin dulu merasa penuh bersalah saat baru mengetahui Bening menyukainya. Pria tampan itu mulai menatap ke arah Bening dan sedikit-sedikit melupakan Ivy. Persahabatan kini berubah menjadi cinta dan berkembang selama sembilan tahun lamanya.

"Jujur aja Vin, dulu kamu ada niat suka sama aku gak? Ada pemikiran itu gak?" Sungguh, Bening ingin tahu apa yang ada di benak Ravin sehingga pria itu memacarinya dulu.

"Aku?" tunjuk Ravin ke dirinya sendiri. Balasan yang ia terima adalah kepala Bening yang terangguk-angguk. "Jujur ya. Aku dulu cuma anggap kamu sahabat aja, gak kurang dan gak lebih. Tapi semakin ke sini aku jadi paham semuanya. Lebih tepatnya setelah Kayla mengatakan itu semua sih. Tapi kamu jangan merasa minder atau apa, karena aku akan tetap memilihmu. Dan keputusanku yang paling tepat adalah bersama denganmu."

Pandangan Ravin kembali lurus ke depan. Ia melajukan kendaraan roda empat tersebut dengan kecepatan rata-rata. Namanya juga Jakarta, tidak lengkap jika tidak ada yang namanya macet. Apalagi ini adalah jam sore, jam di mana orang kantor berhamburan untuk pulang ke rumah masing-masing.

"Aku juga gak berharap lebih sih," sahut Bening. "Mungkin aku cuma jadi nomer dua saat Ivy per—"

Ucapan Bening terhenti saat jari telunjuk Ravin berada tepat di depan bibir gadis itu. Seolah mengatakan Ravin tidak mau mendengar kelanjutannya.

"Jangan bahas itu lagi. Itu semua cuma masa lalu dan akan tetap menjadi masa lalu. Itu semua cuma akan menjadi kenangan yang kemungkinan gak akan aku kenang lagi. Kamu bukan nomor dua, kamu bukan pelampiasan. Kamu adalah tujuan, dan aku yakin kalau Tuhan memang menciptakan kita berdampingan."

Ravin tidak mau mengungkit masa lalu lagi. Ia tidak mau mengatakan apapun dan ia tidak mau membahas apapun. Alasan di balik itu semua tentu saja karena Ravin tidak mau menyakiti hatinya dengan mengingat luka lama. Biarkan saja, lupakan semuanya.

Apalagi Ivy dengan tanpa bersalahnya sudah mempunyai lelaki lain di Semarang. Ivy tidak mengabari Ravin dan Ivy tidak mengucapkan satu patah katapun kepada Ravin. Itu yang semakin membuat Ravin sakit hati. Ivy seolah tidak merasa bersalah dan ia seolah menjadi salah satu wanita yang paling tersakiti.

Jujur saja, selepas dari pertemuan antara Ravin dan Ivy di Semarang waktu itu. Ravin tidak lagi membicarakan Ivy kepada siapapun. Pria itu tidak menceritakan kepada siapapun, tak terkecuali Bening, Kayla, dan Aksa.

Ia membiarkan begitu saja dan seolah tak terjadi sesuatu apa-apa. Semuanya berjalan sampai sembilan tahun lamanya.

"Kamu adalah Bening-nya Ravin. Gak ada satu orang pun yang bisa memisahkan kita. Aku dan kamu akan tetap bersatu," lanjut Ravin dengan penuh kepercayaan diri.

"Menurut kamu, apa yang akan menjadi ending dari perjalanan ini?" tanya Bening dengan suara yang sedikit lebih pelan, takut menyinggung perasaan Ravin.

"Bahagia. Tentu saja akan bahagia. Aku tidak akan membiarkan semua masalah terjadi di antara kita." Ravin kembali menyahuti pertanyaan Bening.

"Kalau kita berpisah bagaimana?" tanya Bening pelan. "Bukannya mendoakan sesuatu yang tidak baik. Semua kemungkinan pasti ada, walaupun hanya beberapa persen saja. Dan aku percaya kalau kemungkinan perpisahan itu ada, entah perpisahan dalam jangka panjang ataupun pendek. Sekalipun kita sudah menikah, Vin, kita masih bisa bercerai dan seperti itu endingnya. Kita masih bisa terpisah oleh keadaan."

Benar, perpisahan itu pasti ada. Entah ujungnya Ravin dan Bening menikah atau tidak, perpisahan itu pasti ada. Dan hubungan mereka akan berakhir di perpisahan. Entah nyawa siapa yang pergi terlebih dahulu, atau entah berakhir perceraian juga.

"Perpisahan itu memang ada, tapi aku akan berusaha sebisa mungkin untuk tidak menciptakan perpisahan. Perpisahan kita akan dipisahkan oleh Allah. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, kecuali kamu sendiri yang memintaku untuk meninggalkanmu. Aku janji."

***

Hai, Guys! Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, dan selamat malam untuk kalian semua yang baca cerita ini!

Finally aku update juga•́  ‿ ,•̀

See you secepatnya!

Xoxo,

Luthfi Septihana🌹

Dokter VS AkuntanWhere stories live. Discover now