13. I'm Back, Jakarta

60 5 0
                                    

"Kenangan itu masih berada lekat di benak. Oleh karenanya, aku kembali. Menepati janji yang kita ukir bersama, sembilan tahun silam. Di dalam mobil."

—Sylvia Ivy Vianly.

***

Ivy memandang pemandangan di depannya, pemandangan ramai orang yang berlalu lalang untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Di sinilah ia, di tempat yang katanya penuh dengan salam perpisahan. Tempat yang katanya penuh dengan keharuan. Perpisahan di tempat ini pun katanya adalah perpisahan yang paling memaksa serta menyedihkan. Bandara.

Tepatnya, Bandara Soekarno Hatta.

Ivy kembali. Ia menepati janjinya untuk hadir lagi di ibu kota, di tempat di mana ia dilahirkan dan bertumbuh. Ia datang untuk melanjutkan semua hal yang sudah ia tinggalkan.

"Are you happy, Vy?" Di tengah keheningan memandang kembali jalanan ibu kota, seorang pria yang kini sudah menjadi separuh dari hatinya pun menghampiri, bertanya kepadanya dengan sangat lembut. Memastikan apakah yang menjadi sebuah keinginan dari Sylvia benar-benar membuat gadis itu bahagia atau tidak.

Ivy pun mengangguk senang. "Aku bahagia, bahagia banget, Raka. Makasih, ya. Makasih karena kamu, aku bisa kembali ke kota kelahiran aku. Makasih karena kamu, impian aku buat kembali merancang semua mimpi di sini terkabul."

Ya, benar! Siapa lagi selain Raka yang harus Ivy ucapkan kalimat terima kasih? Pria tersebut sangat berkontribusi lebih terhadap kepindahan Ivy dari Semarang menuju Jakarta. Lelaki itulah yang selalu meyakinkan keluarganya bahwa Ivy akan baik-baik saja jika kembali ke jantung perekonomian Indonesia ini. Ivy tidak akan main-main.

"Vy, nanti kamu satu mobil sama Raka aja ya? Berdua aja gapapa, kan? Kamu yang kasih tau ke Raka jalanannya. Sembilan tahun gak bikin kamu lupa sama jalanan Jakarta kan, Vy?" Kalau ini suara Vanya. Wanita yang wajahnya masih terlihat kencang di usianya yang terbilang sudah tidak muda lagi kini sibuk bertanya kepada putri tunggalnya. Memastikan apakah ingatan putrinya tersebut cukup tajam atau tidak.

Sedang sang putri yang diperintah demikian pun hanya bisa menggelengkan kepalanya tak percaya, senyumnya merekah. "Mamah kira kapasitas otak aku ini serendah itu apa? Sampai-sampai enggak bisa inget jalanan kota kelahiran aku sendiri," ujarnya dengan nada rendah. "Aku jelas ingat setiap sudut kota ini, Mah. Mamah tenang aja. Kalau dulu pas pertama kali aku ke Semarang, Raka yang jadi tour guide, sekarang di Jakarta aku yang jadi tour guide. Aku bakalan bawa Raka keliling Jakarta ini."

***

Ruangan luas yang tertata rapi itu perlahan membuat Ivy meneteskan air matanya, ia turut sakit saat kembali melihat semua sudut kamar yang dulu menjadi tempat paling nyaman. Tempat yang selalu membawakan Ivy kepada sebuah ketenangan saat beradu argumen dengan ibunya atau ayahnya. Tempat di mana ia selalu berkeluh kesah karena apa yang ia impikan tak pernah mendapatkan restu dari keluarganya.

Perlahan namun pasti, Ivy mulai berjalan menuju meja belajarnya. Tak ada yang berubah dari ruangan ini, pun rumah mewah ini sekalipun. Benar-benar seperti rumah kosong yang tak pernah ditinggali selama puluhan tahun saja. Bedanya, rumah ini terlihat sangat terawat walaupun tak berpenghuni. Dapat dilihat dari halaman yang kelewat bersih, lantai yang selalu kinclong, bahkan tak ada debu di mana-mana.

Ivy meraih sebuah kertas yang terlipat di atas meja belajarnya, ia mulai membuka kertas tersebut dan membacanya.

Dear, Ravin ...

Hai, Ravin! Aku menuliskan ini di hari terakhirku berada di Jakarta. Aku gak tau mau dibawa ke mana sama orang tuaku, Vin. Aku udah pasrah banget sama ini semua.

Boleh aku minta maaf, Vin? Minta maaf untuk semua perbuatanku. Minta maaf untuk janji yang gak pernah bisa aku tepati padahal saat aku bikin janji itu, aku dengan sangat percaya diri meyakinkanmu juga. Aku terlalu brengsek, Vin. Aku terlalu pengecut. Dibanding meyakinkan keluargaku, aku lebih memilih untuk mengikuti keinginan mereka dan pergi begitu aja. Bahkan tanpa salam perpisahan sekalipun.

Andai kita bisa bersama, Vin. Aku yakin kalau aku akan menjadi orang paling beruntung karena bisa mendapatkan sosok pria hangat sepertimu.

Andai tidak ada pertentangan di hubungan ini, kita bisa baik-baik aja sekarang.

Tapi, semua itu cuman kata 'andai'.

Denganku atau pun tidak nantinya, semoga kamu selalu bahagia ya, Vin. Kamu harus bahagia.

Maaf untuk wanita pengecut ini yang cuman bisa nulis surat tanpa berani mengirimkannya.

Semoga kamu mengerti, Vin.

With Love,

Ivy.

Buliran bening itu langsung terjatuh usai membaca selembar surat usang yang sembilan tahun silam Ivy tulis. Memori beserta rasa sakitnya langsung hadir kembali, membuatnya merasakan sesak bukan main dengan semua ini.

Hari ini, hari di mana Ivy kembali, hari di mana Ivy kembali membuka ingatannya untuk mengenang sembilan tahun silam, mengenang semua rasa sakit yang ditorehkan oleh keluarganya. Tepat hari ini juga, Ivy merindukan Ravin-nya.

Ravinivy.

"Vy, lo dipanggil sama Opa di bawah!" Natasya masuk ke dalam kamar Ivy. Kaget dengan keadaan Ivy yang menangis tersedu-sedu sembari memegang kertas usang. Wanita tersebut langsung saja merebut kertas usang yang semula digenggam oleh Ivy dan membacanya perlahan. Usai membaca dengan seksama, ia langsung menyodorkannya di hadapan Ivy. Raut wajahnya mengeras, marah dengan sikap adik sepupunya itu. "Jangan bilang kalau selama ini lo mempermainkan kita semua, Vy? Jangan bilang kalau kembalinya kita ke Jakarta adalah bagian dari rencana lo? Lo sengaja lakuin ini semua?" terkamnya.

Ivy berdecak kesal. Ia langsung membalikkan badannya, berjalan cepat dan duduk di pinggir ranjang. "Omongan lo ngacau. Apa sih, Nat? Lo itu gak tau apa-apa. Berhenti berpikir kalau gue itu gadis keras kepala yang masih sama kayak sembilan tahun lalu. Gue bukan Ivy yang dulu. Gue udah berbeda."

"Terus itu apa, Vy? Ini semua apa? Lo nangis-nangis di saat baca surat usang yang sembilan tahun silam lo tulis untuk Ravin. Sebenarnya lo beneran sayang gak sih sama Raka? Ah, atau lo cuman main-main sama Raka? Lo cuman berlagak jatuh cinta sama dia, setelah itu lo minta buat balik ke Jakarta seperti apa yang kita jalani sekarang. Terus lo cari Ravin dan mulai lagi sama Ravin. Lo masih cinta kan sama Ravin?"

"NAT! BERHENTI BERPIKIRAN GUE ITU LICIK DAN KERAS KEPALA! NYATANYA LO ITU GAK KENAL GUE. LO ITU GAK TAU APA YANG TERJADI DI HIDUP GUE DAN APA YANG GUE RASAIN. LO GAK BERHAK MENARIK KESIMPULAN KAYAK GINI. LO GAK TAU GUE ITU GIMANA!"

Daripada harus berlama-lama mendengarkan ucapan Natasya yang semakin menyakitkan hati Ivy, gadis itu langsung bergegas untuk turun ke bawah menemui seluruh keluarga besarnya.

"Gue tau lo, Vy. Gue tau semua permainan lo."

***

Hai, Guys! Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, dan selamat malam semuanya!

Hihi, aku kembali juga akhirnya:))

Ada yang kangen sama cerita ini gak sih?

Jangan lupa vote dan komennya yap!

Sampai jumpa secepatnya!

Xoxo,

Luthfi Septihana 🌹

Dokter VS AkuntanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang