💍 Bab 33. Pengunduran Diri (Masih Rencana)

259 27 1
                                    

I lope you beby, uwo-uwo. Yuhuuu Eri kembali lagi. 🤣

Selamat membaca Cemuah.

💍💍💍

Cicak merayap di bingkai jendela. Berhenti sebentar hanya untuk ... berak. Eri yang sedari tadi mengamati seketika kehilangan minat. Tahi hitam dengan sedikit putih di salah satu ujungnya bukan pemandangan yang mengenakkan. Wanita itu meniupnya. Harap-harap gampang ikut semburan karbondioksida hingga terlempar keluar. Sayang, karena masih basah hal itu tidak memungkinkan.

Sapaan berupa pertanyaan dari seseorang di belakang Eri membuat wanita itu berjengkit kaget. Dia menoleh dan mendapati Bu Bulan berjalan ke arahnya dengan nampan berisi dua cangkir dan sepiring biskuit.

"Sedang apa kau, Ri?" ulang Bu Bulan sembari meletakkan barang bawaan ke atas meja, tepat di samping Eri. "Kukira kau sedang menulis surat pengunduran diri tadi."

"Sedang cari inspirasi aku, Bu. Bah! Ternyata susah kali merangkai kata." Eri tak lagi peduli dengan feses cicak. Langkahnya mengikis jarak dengan biskuit. Tangannya menyambar. Satu biskuit langsung masuk mulut. Kunyah sebentar, telan. "Enak. Pasti Ro, eh, enggak boleh ngiklan." Nyaris Eri menyanyikan jinggle iklan biskuit seperti di televisi.

"Jadi sudah sampai mana?" Bu Bulan menginspeksi kertas yang terpampang di meja. "Kosong melompong kayak dompetkau, Ri. Astaga. Macam mana kau, nih?"

Eri meringis, memamerkan gigi-gigi yang dipenuhi remahan biskuit. "Bingung kali aku, Bu. Macam mana pula cara buat surat pengunduran diri?"

"Kau carilah di internet. Pastilah ada. Sudah, Ibu mau lanjut bantu-bantu Bi Mira cabut rumput. Tampaknya menyenangkan kali berkebun. Kapan-kapan kuminta bapak kau jual rumah biar kita bisa beli sawah."

"Terus Ibu mau tidur di sawah berteman kodok dan anakonda? Mantap kali."

"Biar viral keluarga kita. Bah!" Bu Bulan pergi dengan terbahak. Tawanya menggema ke seluruh ruang. Lupa kalau sedang di rumah menantu.

Eri memakan lagi biskuit sambil geleng-geleng. Menyadari sesuatu, dia memekik kecil. "Dua cangkir ini untuk siapa? Ya, sudahlah. Biar kuminum semua. Mumpung haus kali aku."

Sesuai prosedur dalam hal mengundurkan diri, Eri mesti membuat surat yang nanti harus diserahkan kepada HRD. Tapi sebelum itu semua, dia harus meminta izin lewat lisan. Dan tentunya orang pertama bukanlah Manager F&B, melainkan Boru sahabatnya. Hal itu pula yang membuat Eri merencakan pertemuan dengan Boru nanti Pukul 10.00 WIB di Cemara Asri.

Pintu diketuk. Eri pikir Ibunya kembali karena meninggalkan sesuatu, ternyata begitu menoleh dia dapati Chyou yang membawa keranjang isi cucian bersih.

"Ada apa, Chyou?" Eri mendekat. "Mau Bibi bantu setrika?"

Chyou menggeleng, lalu memalingkan wajah sekilas ke arah pagar pembatas lantai dua. "Ada tamu mencari Bibi. Kalau tidak salah namanya Tante Boru."

Agak sedikit kaget karena Boru datang ke rumahnya. Padahal Eri memberi pesan singkat agar Boru langsung meluncur ke lokasi.

"Kalau begitu Chyou tinggal dulu, ya, Bi."

"Ah, ah, iya. Bibi akan segera turun."

Tepat setelah Chyou tak lagi tampak di tangga, Eri putar haluan kembali ke kamar. Mengaktifkan otak untuk berpikir singkat.

Perubahan rencana! Eri menyambar jaket denim dari gantungan di dalam almari. Memasangnya buru-buru. Untuk memudarkan bau badan, dia semprotkan minyak wangi ke kedua ketiak dan leher.

"Harum!" kata Eri setelah selesai mengendus, mengecek. Tak buang waktu, kedua tangan tergopoh memasukkan dompet dan juga ponsel pintar ke dalam tas selempang.

Eri mengembuskan napas semangat. "Baiklah."

Kedua kaki lincah menuruni tangga. Saat berpapasan dengan Dimas, Eri sempat memberitahu ke mana dia akan pergi dan dengan siapa. Dimas hanya mengangguk, menanggapi. Lelaki itu sibuk menggigit tempe sambil membawa tumpukan buku menuju kamarnya.

Sosok yang dicari sudah ada di ruang tamu, memakan sesuatu —sepertinya permen, dilihat dari pipa putih yang mencuat— lengkap mata yang melihat sana sini. Ponsel terangkat menutupi wajah. Begitu kamera ponsel menghadap Eri, barulah Boru menurunkan benda itu.

Satu pertanyaan keluar dari mulut Eri sebagai basa-basi. "Boru, bobor baru. Kenapa kau datang ke rumahku? Bukannya aku sudah SMS tempatnya?"

Boru membekap ponsel ke dada. Lantas berbisik, "Mana bisa aku menyia-nyiakan kesempatan ke rumah idolaku, Ri?"

Telinga Eri kesambet gara-gara tawa Boru yang persis anak siluman kuda nil.

Boru nyengir lebar. Make up yang luar biasa berbeda dari biasanya serta pakaian yang dikenakan, sudah menunjukkan bahwa sahabatnya itu melakukan persiapan dengan matang. Rambut dikepang dua layaknya anak TK.

"Sejak kau bilang ingin bertemu denganku di luar jam kerja, aku seketika memiliki semangat empat lima. Jiwa kemerdekaanku meluap-luap sampai tak bisa dibendung lagi." Boru terus beruforia sendiri. "Aku sungguh tak sabar. Dan tahu kah kau, Ri? Aku tak bisa tidur sejak semalam. Huuu! Luar biasa." Wanita itu berteriak dan bertepuk tangan antusias.

Astaga, astaga, astaga. Eri baru sadar kalau sahabatnya ini lebay bin alay.

Eri meraih pergelangan tangan Boru seraya menyemburkan napas.

"Tapi, maaf, Ru. Hari ini kita harus ke taman sesuai janji. Dan kita tidak bisa berlama-lama apalagi berkeliling rumah ini."

Berkat pernyataan itu, senyum yang tadi sangat lebar mendadak hilang dari bibir Boru. "Kenapa pula?! Tak punya hati kau. Tengok muka aku. Ini wajah fans nomor satu. Kasihanilah aku, Ri. Kapan lagi aku bisa bertandang ke rumah idola?"

"Tidak boleh." Eri bersikukuh menolak. Dia tarik Boru agar mau beranjak.

"Bedangkik."

"Terserah kau mau mengataiku apa. Yang jelas sekarang kita berangkat ke Cemara Asri."

Meski bermuka masam, Boru tetap mengikuti keinginan Eri. "Tapi janji dulu. Kapan-kapan jika aku datang kemari, kau bawa aku ketemu sama Chef Januar. Kasihlah kesempatan berfoto sama dia. Kau tahu, itu impianku. Susah kali minta foto kalau di tempat kerja."

Diingat-ingat, saat Boru datang ke acara akad nikah Eri dulu, sahabatnya itu hanya bisa melihat Januar dari jauh. Tidak berani sekali pun mendekat. Tapi Eri yakin kalau Boru itu pasti diam-diam mengambil foto sebagai bahan koleksi pribadi.

"Aku tak mau merasa berdosa telah menyia-nyiakan kesempatan. Dulu ada kesempatan, tapi terlewat begitu saja. Murka aku sama diriku sendiri. Heran pula. Kenapa tangan dan kaki mendadak kaku di akadmu. Sedih aku sampai sekarang." Boru pamerkan sorot mata bagai anak kecil teraniaya. "Jadi, please lah, Ri. Ya, ya?"

Sebenarnya Eri sudah mau bilang iya. Tapi kurang afdol kalau perjalan Boru lancar jaya bin tol. Terbersit untuk memberi cobaan pada sahabatnya itu.

"Baiklah."

"Nah, beg—"

Buru-buru Eri menambahkan. "Dengan syarat dan ketentuan berlaku."

"Bah! Sudah macam kuis saja ada syarat dan ketentuannya."

Eri memesan taxi online. Tidak terlalu menggubris omelan Boru. Hanya saja senyum selalu tak lupa dipamerkan. Pada akhirnya Boru menyerah.

"Baiklah. Apa syaratnya? Tak apalah. Demi bisa berfoto dengan Chef Januar, kan kuseberangi ribuan rintangan dari Mak LampiEri."

Eri menjeling. Boru langsung mengatupkan dua tangan mohon ampun.

"Maaf, keceplosan. Ampuni aku, Mak LampiEri. Ups! Keceplosan lagi."

💍💍💍

Yuk, vote, vote, vote

🌟🌟🌟

Terima kasih untuk pembaca semuanya.
Semoga makin glowing, kinclong abis. Muah 😘😘😘

GercepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang