💍21. Apa Yang ...? 💍

378 53 0
                                    

Teka-teki ini harus diluruskan. Sebab dari kejadian kemarin, Eri yakin bahwa Januar, suaminya tidak melakukan yang dituduhkan. Sayangnya, ini terlalu rumit karena Januar seakan pasrah dan tidak mau mengatakan kejujuran. Apa yang terjadi? Benarkah demikian kejadiannya? Eri bingung sekali.

Demi melihat dari sudut yang lain, Eri harus mewawancarai Dimas lagi. Namun, belum sempat menyapa atau memulai bercengkrama, sebuah notifikasi pesan singkat dari keluarga yang ingin ke rumah Januar, menghentikan tindakan Eri dan secepatnya mencari solusi. Keluarganya tidak boleh bertemu dengan Dimas kalau tidak ingin ada masalah untuk Januar. Jadi, ...

“Apa yang Mbak lakukan?!” Dimas protes karena tiba-tiba diseret Eri waktu lelaki itu sedang enak-enak menikmati kopi di dapur.

“Ada masalah serius. Keluargaku akan kemari.” Tanpa banyak bicara, Eri menyeret Dimas sampai ke pintu depan. “Kamu harus pergi dulu, setidaknya satu hari.”

“Ha?! Tidak mau!” Dimas meronta, mencoba melepaskan cengkraman Eri. Berhasil. Dimas langsung kocar-kacir naik ke lantai dua, tujuan utama kamarnya.

Eri geram. Susah sekali membuat Dimas untuk bekerja sama. Kenapa juga lelaki itu tidak bisa bersikap dewasa?

Eri berjalan hentakkan kaki bagai raksasa mengejar Timun Mas. Kalau saja lantai ini tidak kokoh, sudah dipastikan akan berlubang bagai dihantam meteor.

Tiba di depan kamar Chyou, Eri ketuk daun pintu secara brutal. Tak ada beda dirinya dengan para penagih hutang. “Dimas! Aku mohon kerjasamanya. Kamu ingin mencoreng nama baik Kakakmu Januar? Cepat buka!”

“Biar saja keluarga Kak Eri tahu kebohongan Cak Januar. Biar tak ada lagi dosa atas kesalahannya,” ucap Dimas dari balik pintu. Suaranya agak jauh, sepertinya lelaki itu berteriak dari kamar mandi.

Mendengar penuturan Dimas, Eri seketika diam. Tangannya terhenti di udara di samping wajah. Wanita itu menelaah lagi apa yang baru saja didengarnya. Mau menampik, kenyataannya itu benar. Kebohongan tetap saja menimbulkan dosa. Karena satu kebohongan akan ditutupi dengan kebohongan yang lain. Jelas, dosa pun akan terus mengalir. Kini Eri bimbang. Haruskah dia ikut berbohong demi menutupi kebohongan suami atau memutus kebohongan ini dengan berkata jujur pada keluarga Eri.

“Dimas,” panggil Eri lirih. “Kalau begitu kamu keluar. Kamu yang harus jelaskan alasan di balik Januar berbohong.”

Entahlah, Dimas dengar atau tidak, sebab Eri berkata dengan nada sama persis dengan hewan mencicit. Karena agaknya dia masih bingung, ragu. Pilihannya tidak terlalu pasti.

Tak berselang lama, pintu ternyata terbuka. Dimas berdiri dan menatap Eri dengan kerutan di dahi.

“Aku harus menjelaskan apa? Bukannya kemarin aku sudah menjelaskan semua pada Kakak.”

Eri memutar badan. Berjalan dan berhenti di depan pagar lantai dua. Tangannya sudah menyentuh pagar dan menggenggamnya erat. “Kalau dari mulutku. Aku takut aku salah nada hingga membuat kedua orang tuaku menangkap rasa kecewa. Karena benar, aku sempat kecewa. Tapi, aku tak bisa kecewa. Jadi, sebaiknya kamu yang jelaskan. Sekaligus,” Eri balik badan. “kamu perkenalkan dirimu di hadapan orang tuaku. Dan ... bantu aku agar orang tuaku tidak membenci Bang Januar.”

Eri tidak berbohong soal dirinya sempat kecewa. Bagi Eri keluarga itu segalanya. Itulah kenapa ada rasa tercubit tepat di hati saat Januar mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki keluarga kecuali Chyou dan Bi Mira. Eri memendam rasa penasaran sampai kemarin Dimas menceritakan sedikit mengenai alasan atas tindakan suaminya.

“Kamu kemarin belum menjelaskan padaku. Apakah Bang Januar diusir dari rumah mertua? Atau Bang Januar sendiri yang pergi dari sana?”

Dimas melangkah mendekat. Ikut bersandar pada pagar kayu berplamir alami. Kedua siku tangannya bertumpu pada pagar itu. Dia embuskan napas pelan sebelum menjawab pertanyaan Eri. “Cak Januar pergi keesokan harinya. Maksudku tepat setelah pemakaman Cak Gennaro. Diusir ayah.”

Eri masih setia mendengarkan.

“Cak Januar tak pernah pulang sejak itu. Meski Ibu pernah datang kemari membujuk,” Dimas menggeleng. “tetap saja Cak Januar tidak mau.”

“Lalu Erika? Dia hidup selama ini bersama Januar, 'kan?”

“Ya. Tapi, keduanya hidup seperti orang asing. Hidup satu atap, tanpa pernah bertegur sapa.”

Dari cerita Dimas, Eri membayangkan betapa kelabunya suasana di rumah ini. Chyou pasti selalu bersedih setiap hari hingga memunculkan sindrom aneh itu.

“Bi Mira. Apakah beliau sudah di sini dari dulu?”

“Sejak Cak Januar pergi dari rumah. Ibu meminta Bi Mira untuk menemani Cak Januar. Bi Mira tidak memiliki keluarga. Beliau adalah janda, tak beranak.” Ada jeda sejenak. “Cak Januar diasuh oleh Bi Mira sedari kecil, itu juga kenapa Cak Januar merasa lebih dekat dengan Bi Mira daripada Ibu.”

Paham. Sedikit paham.

Tetiba terdengar seseorang mengucap salam berbarengan dengan pintu yang dibuka lalu ditutup. “Assalamualaikum.”

Eri dan Dimas melongok ke bawah. Ternyata Bi Mira yang baru pulang dari acara belanja ke pasar.

“Sepertinya aku juga harus berbicara dengan Bi Mira,” ucap Eri seraya pergi. “Kau juga ikut, Dis.”

Keduanya menuruni tangga, langsung ke dapur.

Eri yang bersuara dulu. “Bi Mira. Boleh aku bertanya sesuatu?”

Waktunya memang mendadak. Eri harus memburu waktu sampai keluarganya datang. Setidaknya dengan tambahan informasi, nanti dia dapat ya ... menyangkal apa yang perlu di sangkal jika sang Ayah memerlukan kejelasan Eri.

Bi Mira menghentikan gerakan tangannya yang tadi sibuk mengeluarkan barang-barang belanjaan.

“Apa, Ri?”

Eri menelan ludah. Gugup juga rasanya. “Kita duduk dulu, Bi.”

Bi Mira setuju, beliau duduk tenang. “Kok berasa serius. Ada apa?”

“Begini, Bi. Kami, terutama aku. Ingin mengetahui masa lalu Januar.”

Air muka Bi Mira menegang. Ada pancaran tidak suka. “Dan apakah kamu percaya dengan apa yang diceritakan Dimas?” Beliau menggeleng. “Kalau kamu ingin cari tahu kebenaran, jangan hanya dari satu sudut pandang. Minimal dari tiga orang.”

Eri mendesah, pelan sekali, nyaris tidak terdengar. Takut kalau-kalau Bi Mira salah paham. Ya, Eri juga tahu kalau ingin mengetahui yang sebenarnya, dia harus ambil dari berbagai sisi, dan inilah alasan kenapa dirinya mau bertanya pada Bi Mira.

“Semua bukan salah Januar,” ucap Bi Mira, lesu. “Cak Ron terlalu buta dengan keadaan, hingga dengan mudah menyalahkan Januar. Padahal, Januar waktu itu tengah mengecek kabel rem. Eh tahunya besok, tanpa meminta izin, tanpa sepengetahuan Januar, Gennaro memakainya. Terjadilah kejadian nahas itu. Dan dengan seenaknya, semua menyalahkan, menuduh tanpa bukti. Hanya berdasarkan praduga.”

Bi Mira mengusap kening, memijatnya pelan. Eri bisa merasakan rasa tak enak yang dirasakan Bi Mira saat ini. Pasti sangat berat.

“Lalu kenapa Bang Januar tidak mencoba meluruskan?”

“Apa yang bisa diluruskan, jika orang-orang itu memilih menutup telinga, pura-pura tak dengar? Setiap omongan Januar hanya dianggap bualan. Tak ada kesempatan untuk dipercaya.” Bi Mira melengos, tertawa sindir. “Pantaslah jika mereka tak dianggap keluarga oleh Januar. Karena keluarga tidak seperti itu.”

Sebuah tomat menggelinding begitu Bi Mira mulai membongkar lagi isi dari keranjang belanjaan. Eri yang lumayan cekatan, menghentikan laju tomat agar tak jatuh ke bawah.

“Aku hanya ingin Bang Januar tidak berbohong tentang keluarganya kepada keluargaku. Jadi, Bi. Eri mohon nanti kalau keluarga Eri datang berkunjung, Bibi tolong jelaskan tentang masalah Januar.”

Bi Mira hendak membuka bibir, tapi suara salam yang ramai serta ceria menghentikannya. Keluarga Eri sudah datang.

“Boleh kan, Bi?” mohon Eri. Bi Mira mengangguk. Eri yakin, kearifan orang dewasa mampu menghalau terjadinya kesalahpahaman serta kebencian yang mungkin akan terjadi.











GercepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang