💍16. Rahasia Masa lalu💍

440 62 0
                                    

Dimas:
Cak, susulen aku di bandara. Kiro-kiro jam 4 sore. (Kak, jemput aku di bandara, kira-kira jam 4 sore)

Pesan singkat dari adik Januar. Berita yang tak ingin dia dengar.

Telunjuk Januar sibuk mengetuk setir, otak bekerja keras mencari alasan serta solusi agar adiknya tak bertemu Eri.

Astagfirullah.”

Dulu waktu menikah dengan Eri, Januar mengaku kalau dirinya tidak memiliki keluarga kecuali hanya memiliki Bi Mira dan Chyou. Alasan yang memang gila. Jelas-jelas kalau keluarga besarnya masih hidup semua dan tinggal di Jawa. Kakek, nenek, bapak, ibu, dan adik, semua lengkap. Januar berbohong dengan kebohongan besar.

Januar berdecak, mengerut hidung yang mancung. "Kenapa Dimas harus ke Medan? Mendadak lagi!"

Kepalanya berdenyut sakit. Kalau begini apa yang harus dilakukan Januar? Haruskah tidak menjemput adiknya itu? Atau kah menjemput, tapi disuruh menginap di hotel saja? Tapi, tapi ... AAA! Bingung.

Namun, akhirnya setelah peperangan batin yang tidak mengeluarkan setetes keringat pun, Januar pergi juga ke Bandara Muara Namu.

Sampai di sana, Januar langsung mengenali seorang lelaki yang duduk di atas tas ransel super jumbo, bermain ponsel, sepertinya mengetik pesan. Dan benar, beberapa detik setelahnya Januar mendapat pesan singkat.

Diman
Pegel aku, kapan totok sampean, Cak? (Capek aku, kapan sampainya, Kak?)

Januar mencibir membaca setiap kalimat itu. Rasa-rasanya nada yang digunakan si adik seperti perintah yang tak boleh dibantah.

Daripada susah-susah mengetik pesan balasan, Januar lebih suka langsung menggunakan panggilan.

"Di endhi, Cak?!" (di mana, Kak?)

Untung saja benda itu belum menempel pada daun telinga, jadi terhindar dari suara cempreng nan keras perusak rumah siput.

"Noleho nang kiwo, onok montor putih. Paranono." (Menolehlah ke kiri. Ada mobil putih. Dekati.)

Dimas butuh beberapa waktu sampai menemukan mobil yang dimaksud. Lantas tersenyum begitu lebar ketika melihat wajah Januar yang melongok melalui jendela.

"Aku kira aku bakal diabaikan lagi," ucap Dimas tepat di jendela Januar.

"Kapan aku mengabaikan?" Tak terima, Januar protes.

Dimas menunjukkan gigi. "Jangan ngambek, Cak. Damai." Nyengir lebar sekali.

Januar memutar biji mata. Adiknya ini kalau dilihat dari segi menyebalkan, sebelas-dua belas dengan Gen-. Bersegera Januar mengalihkan pikiran.

"Masuk atau kutinggal."

Tak menjawab melalui lisan, tapi melalui gerakan hormat singkat yang berarti "Siap, Cak". Dimas memutari mobil, beralih ke sisi kiri. "Masuk, sih, masuk, tapi kuncinya buka dulu, Cak."

Antara lupa dan sengaja, Januar melakukan itu. "Sudah, masuklah."

Perjalanan menuju rumah diisi dengan ocehan Dimas. Lelaki itu kalau sudah bercerita seperti gerbong kereta api yang tak putus.

"Cak, kemampuan mengemudi sampean kok rasanya seperti kura-kura lamban."

Tak acuh, Januar tetap menggunakan kecepatan normal. Lebih memilih selamat daripada menuruti ego sang adik —yang dia sendiri tak bisa menyetir. Bukti nyata adalah mobil Januar yang lama. Penyok di beberapa bagian. Lampu depan sudah diganti lima kali.

Mobil berhenti di depan rumah, Januar cepat-cepat berujar, "Jangan menginap, nanti aku sewakan kamar hotel untukmu."

Gerakan Dimas yang mau melepas safe belt, terhenti. Dia tatap Kakaknya dengan linglung. "Kenapa? Biasanya aku dulu juga menginap di sini. Kenapa sekarang tidak boleh?"

"Mau kuantar ke bandara lagi?" Ancaman Januar memenangkan adu mulut. Sayang, itu tidak lama. Semua karena Dimas berkata pada Bi Mira agar diperbolehkan menginap.

"Lah, ya tentu boleh. Siapa yang enggak memperbolehkan?"

Senyuman licik terukir jelas di muka adiknya, tatkala Januar menengok pada Dimas.

Astaga.

Mau tak mau Januar harus cari cara lain.

Atau Eri saja yang kusuruh menginap di tempat lain?

Januar menggeleng. Merendahkan pemikirannya barusan. Ya, sudahlah. Nanti saja dipikirkan lagi. Dia harus mandi. Bau badannya sudah melebihi keasaman buah jeruk busuk yang dibuang ke tong sampah.

GercepWhere stories live. Discover now