💍22. Januar Harus Jelaskan Sendiri💍

398 63 0
                                    

Kemarin Januar sebenarnya tidak bisa tidur, jadilah sekarang dia kurang fokus mengecek daftar pesanan barang di gudang, sebagai kitchen requesation yang baru datang dari distributor. Rasanya mata Januar tinggal lima watt. Padahal banyak sekali yang harus dicek. Sebenarnya bisa saja Januar menyuruh Chef Anggit selaku Sous Chef untuk menggantikan dirinya, tapi ini adalah tanggung jawabnya. Dan harus Januar sendiri yang mengerjakan.

“Chef, apa Anda baik-baik saja?” tanya Chef Anggit. Sedari tadi wanita itu memerhatikan tindak tanduk Januar yang tidak seperti biasanya.

Januar masih sibuk mengecek. Tangannya mengambil satu buah tomat, memutarnya, dicari apa ada yang busuk atau tidak. Sebentar-sebentar dia menguap tanpa bisa dicegah.

“Chef terlihat sangat mengantuk. Apa Chef mau istirahat dulu, biar saya yang cek semua?”

Tawaran yang menggiurkan dari Sous Chef. Sempat Januar ingin mengiakan sebelum akhirnya menolak karena merasa ini adalah salah satu pekerjaannya dan tak boleh seenaknya melepas tanggung jawab.

Januar terus menguap sembari mengecek.

“Apa Chef kemarin begadang gara-gara menonton bola?” Chef Anggit mencoba memprediksi, seraya sibuk juga mengecek buah.

Wajar sih, jika ada pemikiran itu. Kebanyakan lelaki memang rela begadang demi acara giring-menggiring bola. Sayangnya, Januar tidak terlalu suka, hanya gemar saja. Dia tidak bisa begadang, paling-paling televisi yang menontonnya.

“Tidak,” jawab Januar singkat. Lagi-lagi diiringi kuap lebar. “Saya harus memperbaharui anggaran tahunan dulu, ini sisanya kamu handle, ya.” Karena tinggal sedikit lagi, Januar bisa menyerahkan tugas ini pada Chef Anggit. Jadi, dia tak perlu khawatir. Namun, tugas selanjutnya lebih berat karena ia harus membuat anggaran tahunan untuk mempersiapkan bahan-bahan makanan yang akan dijual. Tak boleh ada yang salah dalam setiap perhitungannya. Kalau salah, bisa-bisa bukan keuntungan yang didapat oleh hotel, malah kerugian.

“Siap, Chef,” sahut Chef Anggit. Gerakannya siap selayaknya seorang prajurit menerima perintah komandan.

Januar meninggalkan Chef Anggit. Berjalan sedikit lemas menuju ruangannya, tapi terhenti oleh suara caci maki yang keras.

“Gimana bisa rasanya berubah, HA?!”

Karena penasaran, Januar putar haluan dan sedikit mengintip ke dapur. Dilihatnya salah satu Station Chef memarahi chef trainer.

“Kamu masukkan racun?!”

Makian itu membuka masa lalu Januar. Dia pernah di posisi itu. Dibentak, dimarahi, bahkan yang terburuk adalah masakannya dibuang ke tong sampah tanpa mau repot-repot dicicipi. Hanya dilihat sekilas dan Chef senior langsung bilang, “Ulangi.” sembari memasukkan isi piring ke tempat pembuangan.

Terdengar kejam, tapi dari itu semua mental Januar jadi kokoh dan kuat, tak mudah tumbang apalagi hilang harap.

Januar jadi ingat juga ketika Executive Chef Naufal memberi wejangan saat Januar masih menjadi Demi Chef. “Hotel itu mencari Chef bukan karena background jenjang pendidikan yang tinggi, tapi skill, mental, serta good attitude yang dicari dan menjadi prioritas.”

Wejangan yang berguna dikala Januar pernah sempat ingin menyerah dan berhenti dalam pekerjaan ini.

“Jawab?!” Teriakan Station Chef mengembalikan Januar ke masa sekarang.

Januar berjalan mendekat. Dia berdeham sehingga Station Chef berhenti bersuara keras.

“Ada apa ini, Chef?” Kedua alis Januar naik. Menatap kedua Chef di hadapannya secara bergantian. Sayang, kedua Chef itu lebih senang menekuri sepatu hitam daripada wajah Januar yang tampannya di atas rata-rata. Tak ada jawaban cukup lama, hingga Januar perlu berdeham aneh baru Chef yang tadinya marah-marah, Chef Anju,  membuka suara.

“Chef Coki merusak cita rasa dari sup yang menjadi standar rasa dari hotel, Chef.”

Januar angguk-angguk sembari mendekati panci sup yang terbuat dari stainless steel. Dia sambar sendok dari tangan Chef Anju. Mencicipi sedikit sup itu, lantas alih pandang ke Chef Coki.

“Kamu masukkan apa? Mau improvisasi rasa agar dibilang pintar, keren, dan menakjubkan?” Januar menepuk bahu Chef Coki. “Maaf, Bung. Kamu salah tempat. Kalau kamu mau merasa hebat dan ingin mendapat pujian hingga menyalahi aturan, lebih baik kamu buat restoran sendiri di kampungmu dan keluar dari sini.”

Suasana semakin menegang. Chef Coki hanya mampu menunduk. Bibirnya menutup rapat. Jakunnya bergerak menandakan dia baru saja menelan ludah.

“Kamu mau saya pecat?” Lirih Januar mengancam.

Seketika wajah Chef Coki terangkat. “Tidak, Chef.” Dia berujar lantang. Ketakutannya terpampang jelas dari wajahnya yang masih muda.

“Kalau begitu buat baru sesuai standar. Dan untuk biaya pembuangan bahan ini akan dipotong dari gajimu.” Mutlak tak bisa diganggu gugat apalagi ditolak. Perintah Januar disikapi dengan persetujuan Chef Coki. “Paham?”

“Siap, Chef.”

Tanpa mengalihkan tatapan dari Chef Coki, Januar bercakap, “Baiklah semua. Lanjutkan pekerjaaan kalian.” Kemudian pergi tanpa pamit persis jelangkung.

Kompak seluruh staf kitchen bersua, “Yes, Chef!”

Deting jam berputar stabil bagi mereka yang tidak terlalu sibuk, beda dengan mereka yang super sibuk seperti staf kitchen. Waktu sehari serasa hanya satu menit.

Januar baru bisa keluar hotel saat malam hari. Ah! Jangan tanya soal bekerja delapan jam. Sekarang sudah mustahil untuk Januar. Awal-awal mungkin bisa, tapi untuk saat ini dua belas jam pun sudah terlewati. Datang jam lima pagi, pulang jam sepuluh malam. Sekalian saja pulang bersama Eri, istrinya.

Sembari menunggu di mobil, Januar melakukan panggilan suara. Gagal terus sedari tadi. Setelah dicek ternyata dia lupa isi pulsa. Lima rupiah, tidak bisa digunakan untuk melakukan panggilan sedetik saja. Januar mengembuskan napas lelah. Ditutupnya mata seraya mendengarkan lagu nostalgia dari radio dalam mobilnya.

Hingga sebuah ketukan, membuat Januar membuka mata. Dilihatnya Eri sudah masuk dan duduk di sampingnya.

“Pakai safe belt dengan benar,” ucap Januar. Eri menurut tanpa membalas. Aneh sekali menurut Januar. Tak ada ke-ganjen-an kata-kata yang keluar dari mulut Eri. Ini bukan berarti Januar ingin digombali. Tidak. Tidak sama sekali.

“Kamu kenapa tumben diem? Kebanyakan minum obat?”  Melucu hanya saja Eri tidak juga merespons. Januar jadi penasaran akut. Dipikirkan mungkin Eri tengah mendapat masalah dari senior, atau teman, atau mungkin ada Guest yang menyebalkan. Harinya mungkin buruk. Ya, tidak apa-apa setidaknya Januar tak perlu dapatkan polutan suara yang bising merecoki gendang telinga. Damai, itu kata yang tepat.

Dibawanya mobil melewati jalanan yang lenggang karena minimnya kendaraan yang lalu lalang. Jam segini memang begitu. Semua kendaraan milik pribadi sudah masuk garasi. Paling-paling yang melintas kalau bukan truk gandeng, bis antar kota, atau mobil Polisi yang tengah patroli memberantas balapan liar.

Suara gumaman yang diyakini Januar berasal dari mulut Januar, menjadikan Januar memulai obrolan, “Kamu kalau mau ngomong, ngomong aja. Kenapa harus ragu?”

Eri menggeser pantat. Memfokuskan mata pada Januar yang mengemudi.

“Keluargaku tadi ke rumah.”

Satu kalimat terlontar mengejutkan Januar. Dia curi pandang melalui spion dalam. “Lalu? Apa mereka bertemu Dimas? Apa tanggapan Ayah dan Ibu mertua? Menyuruh kita bercerai? Meski masih beberapa hari kita berstatus pasutri?”

Terdengar Eri menyemburkan napas.

“Belum. Ayah dan Ibu menunggu, Abang. Mereka meminta Abang yang menjelaskan, bukan aku.”

***

🌟🌟🌟

Catatan Kaki:

Station Chef: Bertanggung awab pada salah satu section di dapur. Misalnya; bagian sup, atau salad ataupun panggang-panggangan.

GercepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang