14. Mini Market

65 4 0
                                    

"Aku benci dengan situasi seperti ini. Situasi di mana semua pasang mata mengarah kepadaku dan menekanku."

—Ayra Navita Abdipati.

***

"Mau ke mana, Ra?" Pertanyaan yang dilayangkan oleh Ivy langsung membuat gadis yang semula berjalan lambat dengan minim tenaga itu langsung berhenti melangkahkan kakinya dan membalikkan badannya.

"Mau ke mini market, Vy. Ada beberapa barang yang mau gue beli soalnya," jawab Ayra dengan bibirnya yang pucat. Sepertinya akhir-akhir ini Ayra memang sedang sakit, pasalnya ia tak pernah mau diajak berkumpul dengan sepupu-sepupunya, pun bersama keluarga besarnya. Gadis itu lebih memilih untuk berada di kamar dan menghabiskan hari-harinya di sana.

Ivy yang semula sedang menuruni tangga pun langsung menghampiri Ayra. "Kalau gitu, bareng aja. Gue sama Raka juga mau ke mini market kok. Biar sekalian," ajak Ivy. Sebenarnya ia sedikit iba dengan sosok sepupunya yang satu ini, gadis itu seolah menutup diri dengan keluarganya pasca pertengkaran beberapa minggu lalu, saat berada di kolam renang. Tak tega juga jika Ayra sendirian ke mini market menggunakan motor, pasalnya jarak tempuh antara rumah Ivy dengan mini market cukup dekat, masih bisa dijangkau dengan kendaraan beroda dua tersebut.

Ayra menunduk, seolah berpikir dengan ajakan Ivy. "Emm ... gak usah deh, Vy. Gue bisa sendiri kok," sahutnya dengan nada rendah.

"Mau ke mana, Ra?" Menjadi orang selanjutnya yang bertanya, Navita—ibunda dari Ayra yang baru saja keluar dari kamarnya pun menanyakan hal serupa kepada sang putri. "Mau pergi sama Ivy?" lanjutnya.

"Enggak, Mah. Ayra mau ke mini market, sendirian." Jawaban demikian dari Ayra seolah menegaskan jika gadis itu tak mau diganggu, seolah sedang membutuhkan space dengan dirinya sendiri. Seolah menyukai kesendirian yang menjadi pilihannya.

"Ayo, Vy!" Selanjutnya, pria yang sudah menjadi separuh hati Ivy menghampiri gadis itu, langsung menggandengnya yang sudah rapi untuk pergi ke mini market bersama.

Navita yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik dari Ivy dan Raka pun kembali bertanya, "Terus ini Ivy sama Raka mau ke mana?"

"Mau ke mini market juga, Tante. Ivy udah ajak Ayra supaya bareng, tapi dia kayaknya gak mau deh." Kini Ivy yang menjawab.

Menggelengkan kepalanya, Navita sungguh tak mengerti dengan apa yang terjadi oleh putrinya, akhir-akhir ini putri tunggalnya itu selalu menyendiri, selalu menghindar dari gerombolan orang, bahkan tampak lesu terus-menerus saat ditanya oleh siapa pun. Apakah ada masalah yang sedang dihadapi oleh putrinya? Mengapa putrinya tak mau bercerita? Navita merasa gagal jika seperti ini, gagal menjadi sandaran ternyaman untuk putri tunggalnya.

"Udah, kamu bareng sama Ivy aja, Ra. Kamu lagi gak enak badan juga, kan? Nanti takut kenapa-kenapa di jalan kalau sendirian, mending sama Ivy sama Raka. Gapapa kan, Vy, Ka? Tante Nav titip Ayra gak masalah, kan?"

"Gak masalah banget kok, Tante. Ayo sekalian aja, Ra!" jawab Raka.

***

Keadaan di dalam mobil menuju mini market hanya didominasi oleh Ivy dan juga Raka, muda-mudi yang sedang dimabuk asmara itu tak henti-hentinya mengungkapkan bahasa cintanya satu sama lain. Tak merasa malu walaupun ada Ayra di belakang mereka, seolah berpikiran jika Ayra tak masalah dengan ini semua. Pun, Ayra sedari tadi hanya diam saja. Ayra hanya memejamkan mata.

"Ra, lo gapapa? Keliatan kayak pucet banget gitu. Mau gue periksa? Gue gini-gini udah jadi dokter, lho. Udah bisa meriksa lo," ujar Ivy memecahkan keheningan yang terjadi. Mencari topik supaya Ayra bisa turut berbincang bersama mereka.

"Gak perlu, gue juga seorang dokter kok," sahutnya sinis.

Ya meskipun merasa sedikit tersinggung dengan perkataan Ayra yang sinis, Ivy menetralkan perasaannya, menganggap bahwa ini semua adalah hal yang biasa, pasalnya ia harus ingat jika saudari sepupunya yang berada tepat di belakang memang seperti itu sifatnya, sinis dengan siapa pun juga.

***

"Kamu mau aku masakin spaghetti gak?" tanya Ivy saat sedang mengitari mini market. Gadis yang dulunya hanya bisa memasak mie dan memasak telur, kini cukup ahli membuat beberapa menu makanan. Tekadnya yang besar, tidak mau menjadi seperti ibunya lah yang membuat keinginan untuk memasak meronta-ronta, pun niatnya tersebut didukung dengan baik oleh sang kekasih. Oleh karena itulah, di saat Ivy mulai menguasai satu menu, pasti Raka yang menjadi sosok pertama yang mencicipi masakan Ivy.

"Mau banget lah! Pokoknya kalau kamu selesai mempelajari satu menu, kamu harus bikinin aku menu tersebut, karena penilaian aku itu valid sih, Vy. Kalau aku bilang enak, berarti kamu udah bisa lolos satu menu." Raka menjawab dengan senyuman yang sangat mempesona. Entah mengapa sejenak Ivy bersyukur karena memiliki pria tersebut. Pria yang dulunya dengan keras Ivy tolak mentah-mentah, namun kini sudah berlalu sembilan tahun mereka bersama.

Raka itu tipikal pria soft boy, selalu pengertian dengan Ivy yang keras kepala. Seringkali bahkan Raka lah yang menjadi penyelamat Ivy dengan keluarganya. Pasalnya perbedaan pendapat yang terjadi antara Ivy dan keluarga cukup sering, tentu saja Raka yang menjadi penengahnya. Seluruh keluarga besar Pati sudah percaya dengan pria tersebut. Mereka bahkan menitipkan Ivy kepada Raka untuk ia jaga.

Ya, memang Raka sangatlah sempurna di mata mereka semua. Ivy pun setuju dengan itu. Ia setuju jika Raka memang demikian, Raka memang selalu sempurna. Raka memang memiliki segala hal yang menjadi tipe ideal dari Ivy.

"Kalian udah selesai belum? Gue udah selesai soalnya." Tiba-tiba saja suara Ayra memecah. Gadis itu berada di belakang mereka, menaruh beberapa barang yang ia ambil karena ia butuhkan. "Gue capek, mau pulang," lanjutnya menegaskan seolah tak ingin berlama-lama di sini.

Melihat sikap Ayra yang seperti itu, Ivy pun langsung mengangguk, memberikan interupsi kepada kekasihnya untuk menyudahi acara berbelanja mereka. Toh, semua barang yang mereka butuhkan juga sudah tersedia di keranjang. Semuanya sudah lengkap.

"Ayo, Ra! Gue sama Raka juga udah semua kok barangnya," jawab Ivy dengan nada yang masih sangat sopan, padahal sedari tadi sikap dari Ayra benar-benar sinis dan ketus.

Gadis yang mengenakan hoodie berwarna putih itu langsung mengeluarkan dompetnya di dalam saku, lalu memberikan dua lembar uang berwarna merah kepada Ivy. "Buat belanjaan gue," ujarnya.

"Gak usah, Ra. Biar gue aja yang bayar. Lagian juga gak seberapa kok, sekalian aja sama belanjaan gue sama Ivy." Kini Raka yang menjawab, sudah terlanjur muak dengan sikap saudari perempuan kekasihnya itu. Sedikit menekankan nada bicaranya supaya ia mengerti.

"Gue gak terbiasa dibayarin sih, gak suka kalau dibayarin sama orang asing." Ayra kembali bertindak sinis, membuat Raka yang semula tenang menjadi emosi. Namun, Ivy segera menenangkan kekasihnya itu, menjelaskan bahwa Ayra memang seperti itu sifatnya, sinis dan ketus.

"Gapapa kok, Ra. Gue yang bayarin. Lo gak usah nolak." Itu suara Ivy yang akhirnya mengudara juga.

***

Hai, Guys! Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, dan selamat malam semuanya!

Apa kabar nih kalian? Udah mulai liburan, kan?

Gimana nih Dokter VS Akuntan sejauh ini, seru gak sih?

Jangan lupa vote sama komen yap!

Sampai jumpa secepatnya!

Xoxo,

Luthfi Septihana🌹

Dokter VS AkuntanWhere stories live. Discover now