Penjelasan

544 17 1
                                    

"Happy Reading"

°°°°°

Rafly kembali menginjakkan kakinya di rumah Nasya, namun untuk kesekian kalinya ia kembali mendapat kabar pahit. Kekasihnya masih tidak ingin menemuinya, Nasya masih tetap teguh untuk tidak lagi berinteraksi dengan Rafly bahkan walaupun hanya sekedar saling pandang.

"Maafin Mama, Fi." Kata-kata itu seolah sudah menjadi kata-kata andalan yang selalu Rafly dengar selama hampir semingguan lebih ini. Dan lagi ia hanya bisa tersenyum kecut menatap Tias yang tampaknya tidak tega melihatnya pulang dengan kecewa.

"Enggak apa-apa, Ma. Rafly pulang dulu, ya," pamit lelaki itu, ia menyalimi wanita yang sudah ia anggap sebagai mama sendiri.

Lelaki itu melangkah dengan hampa meninggalkan ruang tamu Nasya, penolakan terus-terusan ini seolah membuat hatinya mati rasa. Di belakangnya ada Tias yang ikut mengantarkannya sampai di depan rumah, pasti Tias sudah berusaha membujuk Nasya namun semua itu hanya mendapat jalan buntu.

"Rafly." Belum sampai keduanya keluar dari pintu, panggilan itu refleks membuat Rafly maupun Tias berbalik. Menatap gadis yang kini berdiri dengan tubuhnya yang semakin kurus.

Ada binar kebahagiaan di wajah Rafly ketika mendengar suara yang rasanya sudah lama sekali tidak ia dengar itu, suara Nasya yang begitu ia rindukan kini kembali terdengar memanggil namanya. Jujur saja Rafly begitu rindu dengan gadis ini, Nasya sama sekali tidak berubah. Ia masih cantik meskipun kini sudah kehilangan banyak berat badannya.

"Nasya," ucapnya lirih hampir tidak terdengar.

"Jelasin semuanya ke aku," ujar gadis itu, tak ayal membuat Rafly terkejut. Namun rasa bahagia juga menyerang lelaki itu, karena akhirnya Nasya mau mendengar semua penjelasannya.

"Iyah, aku akan jelasin semuanya ke kamu." Rafly berjalan mendekati Nasya mengajak gadis itu untuk duduk di tempatnya tadi.

Gadis itu mengikuti langkah Rafly, duduk berhadapan dengan lelaki itu. Sedangkan Tias memilih untuk pergi ke dapur, tidak ingin mencampuri urusan dua remaja itu. Kini Nasya menunggu penjelasan apa yang akan lelaki itu katakan padanya yang membuat Rafly tidak gentar untuk terus menemuinya setiap hari. "Alana udah enggak ada, Sya."

Nasya membulatkan matanya tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulut Rafly, lelaki itu tidak sepantasnya membuat bercandaan seperti itu. "Bercanda kamu enggak lucu!"

"Aku enggak bercanda, Sya. Alana meninggal tiga bulan yang lalu," jelasnya meyakinkan gadis di depannya ini.

"Enggak!" teriak Nasya. "Kamu bohong, Fi!" lanjutnya, gadis itu berdiri hendak meninggalkan Rafly sendiri di sana. Namun dengan cepat Rafly meraih tangannya, menahan Nasya untuk tetap di sana.

"Dengerin aku dulu, Sya," pinta Rafly. Akhirnya Nasya kembali duduk, lalu Rafly menjelaskan alasan mengapa dulu ia lost contact dengan gadis itu.

Flashback ....


Rafly heran mengapa dirinya akhir-akhir ini sering sekali mimisan, bahkan sehari ia bisa sampai dua kali mimisan. Padahal jika diingat-ingat dirinya tidak pernah melakukan aktivitas fisik yang berlebihan. Seperti saat ini ia tengah duduk di UKS di temani dengan Alana yang sedang merapikan kotak P3K.

Beberapa menit yang lalu Rafly mimisan parah ketika selesai pelajaran olahraga, Alana yang notabenenya anak PMR langsung sigap membantu Rafly ketika mengetahui keadaan lelaki itu.

"Kamu jangan kecapekan, kurang-kurangi begadangnya. Apalagi sekarang kamu harus gantian jaga Nasya di rumah sakit," ucap Alana, tangannya masih sibuk merapikan kotak P3K yang baru saja ia gunakan.

"Iyah, Na. Aku sekarang sering mimisan, padahal dulu enggak pernah sekali pun."

Alana memasukkan kembali kapas sisa yang Rafly gunakan tadi ke dalam kotak P3K, lalu gadis itu berbalik dan mendekati Rafly. "Periksa, Fi. Jangan sampai ada apa-apa."

"Nakutin?" tanyanya dengan nada bercanda.

"Dibilangin ngeyel banget," jawab Alana sewot.

"Iyah. Besok aja, deh." Alana menggelengkan kepalanya, Rafly ini memang manusia yang susah di nasehati. Ia heran Nasya kok kuat menghadapi lelaki seperti Rafly.

"Terserah, deh." Alana berjalan melewati Rafly, gadis itu hendak meninggalkan Rafly sendiri di sana. "Aku mau ke kelas aja," lanjutnya kemudian meninggalkan Rafly di ruangan itu sendiri.

"Tungguin lah, anjir." Rafly berdiri dan melangkahkan kakinya mengejar Alana yang semakin mempercepat langkahnya.

Setelah kejadian itu, esoknya Rafly izin tidak masuk. Ia di temani dengan Destin–bundanya pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan diri, karena keadaan tubuh Rafly yang akhir-akhir ini semakin sering demam dan menggigil kedinginan.

Akhirnya setelah lelah mengantri panjang kini giliran Rafly yang masuk, ia yang awalnya senyum-senyum kini berubah muram setelah mendengar penjelasan dokter. Bahkan tangis Destin tidak berhenti, dari mulai dokter menjelaskan sampai kini keduanya telah duduk di taman rumah sakit.

"Udah, Bun. Rafly enggak apa-apa, kok. Lagi pula baru stadium awal," ucapnya menenangkan sang bunda, tangannya terulur menghapus air mata di pipi Destin.

"Kenapa harus kamu sih, Nak. Kenapa harus kamu yang dapat cobaan kayak gini," ujar Destin di sela-sela tangisnya.

"Tuhan sayang sama Rafly, Bun. Tuhan tahu kalau Rafly bisa lewatin semua, makanya Tuhan kasih cobaan ini," tutur lelaki itu, masih dengan senyumnya. Meskipun jauh di dalam lubuk hatinya, ia benar-benar terguncang hebat mendengar semua fakta ini. Ia sama sekali tidak pernah menyangka akan mengalami ini semua.

Air mata Destin semakin menjadi-jadi, anaknya ini rupanya begitu tabah menerima semua cobaan yang menimpanya. Wanita itu memeluk tubuh tegap anak kesayangannya ini, ia yakin Rafly bisa melewati ini semua dengan baik-baik saja.

Setelah hari itu Rafly hanya berdiam diri di rumah, ia bahkan tidak mengabari kekasihnya yang kini juga sama-sama sakit. Ia tidak ingin membuat keadaan Nasya memburuk, apalagi akhir-akhir ini gadis itu sering tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Rafly takut jika gadis itu tahu, ia akan stress dan berakibat buruk pada kesehatannya.

Keesokan harinya Rafly tetap berangkat sekolah seperti biasa, seolah tidak ada yang terjadi padanya. Saat jam istirahat dirinya bertemu dengan Alana yang baru dari kantin, gadis itu tersenyum ketika mata keduanya beradu pandang.

"Kamu nanti ke rumah sakit, Fi?" Dengan ragu Rafly menggeleng, hal tersebut kemudian membuat Alana kembali bersuara, "Kenapa?"

Tanpa menjawab, Rafly langsung menarik gadis itu menjauh dari keramaian lorong kelas saat itu. Rafly menariknya Alana sampai di belakang kelas yang lumayan sepi.

"Lepasin, Fi!" Seolah baru tersadar, Rafly langsung melepas genggaman tangannya pada lengan kecil milik Alana.

"Sorry, Na. Aku enggak sengaja nariknya kekencengan," ucap Rafly.

"Iyah, enggak apa-apa. Kenapa kamu narik aku ke sini?"

"Pulang sekolah bisa ikut aku ke cafe Kenangan? Ada yang mau aku bicarakan sama kamu," pinta lelaki itu, Alana mengernyit heran namun ia  perlahan menganggukkan kepalanya tanda setuju.

*****

Have a nice day ❣️

Agliophobia (Tamat)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt