Khawatir

794 26 0
                                    


"Happy Reading"

°°°°°

Suara brankar menderit ketika bergesekan dengan lantai, di atas benda itu terdapat gadis yang kini tengah tidak sadarkan diri. Di samping kanan-kirinya orang-orang mendorong benda itu dengan raut cemas dan khawatir.

Entah sudah berapa kali tetesan air jatuh dari pelupuk matanya, wanita paruh baya itu sungguh tidak tega melihat anaknya yang terbaring tidak berdaya. Wajah yang selalu tersenyum dan penuh keceriaan itu sudah tidak ada lagi, berganti dengan bibir pucat yang membisu.

Saat mendekati pintu bertuliskan 'UGD' para suster menghentikan langkah Tias dan Rafly, dengan berat hati mereka harus meninggalkan Nasya bersama para petugas medis yang telah siap dengan alat-alatnya.

Rafly memeluk tubuh ringkih mama dari kekasihnya itu, rasa sakit yang Tias rasakan seolah menjalar ke dalam hati lelaki itu. Ia sudah menganggap Tias sebagai mama keduanya, Rafly bahkan tidak segan memanggil Tias dengan sebutan 'mama' sama seperti Nasya.

"Ya Allah, Nasya. Kenapa kamu jadi begini, Nak," ucapnya dengan nada pasrah, kejadian ini benar-benar tidak pernah terpikir akan terjadi pada anak semata wayangnya.

"Sabar, Ma. Nasya pasti bisa melewati ini semua, dia pasti kuat." Kalimat itu keluar dari mulut Rafly, tujuannya untuk menguatkan Tias. Namun nyatanya kalimat itu hanya kalimat penenang yang mungkin terdengar sangat basi di telinga.

Rafly mengajak mamanya itu agar duduk di kursi besi yang ada di sepanjang lorong, seraya menenangkan Tias yang terlihat sangat kacau. Ketika dirasa sedikit tenang, lelaki itu izin untuk membeli air dan beberapa camilan sambil menunggu Nasya yang tengah ditangani dokter.

Kini hanya Tias di sana, di depan ruangan berbau obat itu. Tubuhnya ada di sana, namun pikirannya terbang melayang jauh. Penampilannya sudah tidak karuan, matanya yang bengkak akibat menangis sejak tadi membuatnya terlihat benar-benar kacau.

Tangannya mengepal kuat, ketika mengingat apa yang telah dialami anaknya. Emosinya memuncak di kepala, orang bejad itu harus mendapatkan hukuman yang setimpal seperti yang dirasakan Nasya. "Kamu harus tanggung jawab atas apa yang telah kamu lakukan."

"Maksud Mama apa?" Rafly yang baru saja datang, terkejut ketika melihat Tias tampak begitu emosi.

Tias menatap Rafly, tiba-tiba ia bimbang apakah harus mengatakan ini semua pada Rafly. Lelaki yang sudah ia anggap anaknya sendiri itu berdiri dengan dua kantong plastik berisi makanan dan air, Rafly menatap Tias dengan tatapan bingung.

"Ada yang harus Mama kasih tahu ke kamu," ujar Tias, ia menepuk ruang kosong di sampingnya, menyuruh Rafly untuk duduk.

Lelaki itu mengikuti apa yang Tias suruhkan, kini keduanya sudah duduk berdampingan dengan Rafly yang dihinggapi rasa penasaran yang begitu besar. "Apa yang sebenarnya terjadi, Ma."

Tias menghembuskan napasnya lirih sebelum memulai menceritakan apa yang telah terjadi pada Nasya, wanita paruh baya itu kembali meneteskan air matanya ketika menjelaskan kejadian buruk itu pada Rafly.

Raut terkejut tergambar jelas di wajah Rafly, napasnya naik turun menahan emosi di dadanya. Ia meremas kantong plastik di tangannya, mencoba menyalurkan rasa sakit dan emosinya lewat sana. Lelaki itu tidak menyangka gadis manisnya akan mengalami hal seburuk ini, rasa bersalah mulai hinggap di hatinya.

Andai saja saat itu Rafly ada di samping Nasya mungkin semua ini tidak ada terjadi, gadisnya akan tetap di sampingnya dengan tawa dan senyum manis yang selalu terukir di wajahnya. "Nasya, maafin aku," batinnya menjerit.

Tias mengusap air matanya sebagai tanda ia telah selesai menceritakan semuanya. Saat ini hatinya remuk redam, ia merasa gagal menjadi orang tua bagi Nasya. Seandainya dulu ia tidak mementingkan egonya, pasti saat ini Nasya masih bisa merasakan kasih sayang dari papanya. Jujur, Tias menyesal.

Rafly berdiri, ia meletakkan dua kantongan plastik itu di samping Tias. Ia izin untuk ke toilet, sebelum pergi ia memastikan Tias baik-baik saja duduk sendiri di sana. Anggukan kecil dari mamanya membuat Rafly melangkahkan kakinya meninggalkan lorong itu. Saat ini ia harus mencari tempat untuk melampiaskan semua amarahnya.

Langkah kakinya membawa laki-laki itu menuju toilet, tanpa tujuan ia masuk dan bersandar di dinding yang dingin. Napasnya memburu, rasa sakit, kecewa dan sedih menyatu dalam pikirannya seolah-olah menggerogoti tubuhnya saat ini.

Argh!!

Rafly meninju tembok di depannya dengan sekuat tenaga sampai darah tercetak di sana. Darah yang keluar dari tangannya yang terluka akibat tinjuan keras itu. Air matanya lutut begitu saja, ia merasa gagal ketika tidak bisa melindungi kekasihnya.

Sakit

Rasa sakit itu bukan ditimbulkan dari luka di tangannya, namun sakit itu bersumber dari luka tidak kasat mata di hatinya, lelaki itu merasa hatinya seperti di kuliti saat ini.

Bugh! Bugh!

Dua pukulan mendarat, Rafly memukul dadanya sendiri. Menyalahkan dirinya atas semua yang telah terjadi, ia hanya bisa berteriak dan memukul tubuhnya terus menerus seperti orang gila. Lelaki itu mengutuk dirinya karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk Nasya–gadis yang sangat ia cintai.

"Maafin aku, Sya. Maafin aku." Tubuhnya merosot, ia menangis sesenggukan di dalam toilet. Hanya ini yang bisa ia lakukan, sungguh ia kecewa pada dirinya yang lemah ini. Rafly benar-benar menumpahkan segala rasa sakit dan kecewa yang menumpuk di hatinya, namun ia berjanji dalam diri. Biarlah saat ini ia terlihat rapuh tetapi nanti ia harus bisa menjadi tameng terkuat untuk melindungi Nasya.

 

*****

Have a nice day ❣️

Agliophobia (Tamat)Where stories live. Discover now