Berubah

646 23 0
                                    


"Happy Reading"

°°°°°

Dengan kasar, Nasya langsung menampik tangan hangat yang selalu menjadi favoritnya dulu. Setelahnya ia langsung berteriak histeris seolah-olah di depannya ini adalah orang paling jahat yang pernah ia temui.

"PERGI!!"

"Kamu kenapa, Sya?" tanya lelaki itu bingung, Nasya tidak pernah berbuat seperti ini padanya.

"PERGI KAMU PERGI!" jerit Nasya, berusaha sekuat tenaga untuk mendorong Rafly yang ada di sampingnya.

"Aku Rafly, Sya. Kamu kenapa?" Bukannya tenang, gadis itu malah semakin menjadi-jadi.

Mendengar keributan di dalam, Tias yang baru saja selesai sholat ashar langsung saja menerobos masuk ke ruangan anaknya. Betapa terkejutnya wanita paruh baya itu ketika melihat Nasya yang histeris di samping Rafly. Tidak segan Nasya melempar botol obat di samping ranjangnya untuk mengusir Rafly.

Ruangan itu benar-benar kacau, pecahan botol obat dan isinya berhamburan di mana-mana. Tias mendekati anaknya, mendekap tubuh rapuh yang selalu ia jaga. Menyalurkan rasa aman agar Nasya kembali stabil.

Rafly perlahan mundur, sepertinya Nasya sedang tidak ingin melihatnya. Ia memilih menunggu di luar, daripada tetap di sana namun malah semakin memperburuk keadaan.

Kini sisa mereka berdua yang ada di ruangan itu, dengan Nasya yang masih menangis di pelukan mamanya. Tias mengelus pelan rambut anaknya, satu hal yang ia tahu kini keadaan Nasya sedang memburuk.

"Sudah ya, Nak. Enggak ada yang bisa sakiti kamu selama Mama ada di sini," ucap Tias lembut menenangkan Nasya yang masih gemetaran dalam pelukannya.

"Nasya takut, Ma," cicitnya, ia semakin mengeratkan pelukannya.

"Sudah-sudah. Mama ada di sini, Sayang. Kamu enggak usah takut lagi." Tias merasakan anggukan kecil di bahunya, Nasya sudah tenang kini saatnya wanita itu menanyakan apa yang terjadi.

"Sebenarnya ada apa, Nak? Kenapa kamu tadi teriak-teriak begitu?"

"Dia jahat, Ma," jawab Nasya lirih.

"Kenapa bisa kamu ngomong kayak gitu? Kamu diapain sama dia?" Tias melonggarkan pelukannya, kini keduanya tengah berhadap-hadapan.

"Dia jahat, Ma. Dia jahat!" Air mata Nasya luruh, ia mulai menangis lagi. Namun kini gadis itu memeluk tubuhnya sendiri dan mulai ketakutan, lagi.

"Dia enggak jahat, Nak. Dia Rafly, pacar kamu," jelas Tias, ia meraih tangan Nasya tetapi langsung ditampik oleh gadis itu.

"DIA JAHAT! PERGI! PERGI!" jerit Nasya ketakutan, ia melihat ke kanan-kirinya dengan tatapan terintimidasi. Seolah-olah di sekitarnya banyak orang yang siap menyakitinya.

Tias menyerah, ia tidak bisa menenangkan anaknya. Akhirnya Tias memilih memanggil dokter untuk menangani Nasya yang semakin histeris, gadis itu meraung-raung sambil mengucapkan kata 'pergi'.

Tidak lama kemudian dokter datang dengan beberapa suster di sampingnya. Salah satu suster menyuruh Tias untuk keluar lebih dahulu. "Maaf sebelumnya, Bu. Silahkan tunggu di luar terlebih dahulu."

"Tapi dia anak saya!" ucapnya tidak terima. Napas Tias tersengal, ia lemas bahkan rasanya untuk beranjak dari tempatnya saja ia tidak mampu.

"Ikuti prosedur yang ada, Bu. Kami pasti akan berusaha semaksimal mungkin." Mau tidak mau Tias akhirnya berjalan keluar, seraya di papah oleh suster tersebut. Sesampai di ambang pintu, Rafly yang melihat mamanya langsung berlari dan mengambil alih tubuh Tias.

Rafly mendudukkan Tias di atas bangku panjang di sepanjang koridor, wanita paruh baya itu menangis. Meratapi keadaan anaknya yang semakin tidak terkontrol. "Nasya pasti sembuh, Ma. Rafly yakin Nasya bisa lewatin semua ini," ucap Rafly yakin.

Mendengar itu Tias tersenyum getir, rasanya ribuan kata semangat tidak berarti apa-apa lagi baginya. Jujur ia benci dirinya yang tidak bisa melakukan peran ibu yang baik untuk Nasya.

*****

Alana bergegas memakai helm dan naik ketika ojek pesanannya sampai, pikirannya benar-benar kalut ketika mendapat kabar mengejutkan dari Rafly mengenai keadaan sahabat baiknya yang kini terbaring di rumah sakit.

"Cepetan dikit ya, Pak," ucapnya pada bapak pengendara ojek online yang ia naiki.

"Siap, Neng."

Motor mereka melesat melewati jalan menuju tempat di mana Nasya di rawat, dalam hati Alana berdoa semoga tidak ada hal yang mengawatirkan yang terjadi pada sahabatnya.

Lima belas menit melewati jalanan kota yang terik, akhirnya Alana sampai di depan rumah sakit dengan plang besar bertuliskan 'R.S Citra Medika'. Rumah sakit dengan arsitektur megah yang membuat siapa saja pasti terkagum-kagum saat melihatnya.

Alana berjalan melewati lobby rumah sakit, tangannya mengetik beberapa angka di atas benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Beberapa saat menunggu akhirnya suara dari seberang sana mulai terdengar.

"Halo, Na," sapa suara dari balik ponsel Alana.

"Halo, Fi. Aku udah sampe di depan, Nasya sekarang di mana?"

"Nasya masih di UGD, dia tadi sempat sadar tapi tiba-tiba histeris. Jadi sekarang dokter lagi periksa di dalam."

"Oke, Fi. Aku langsung ke sana sekarang." Alana mematikan telepon itu sepihak, ia buru-buru memasukkan ponselnya ke dalam tas selempang berwarna coklat itu.

Langkah Alana sedikit cepat, ia tidak sabar lagi untuk melihat kondisi sahabatnya. Hingga akhirnya netra hitam itu melihat Rafly yang tengah menenangkan Mama Nasya. Gadis itu menghampiri keduanya, Tias kaget melihat kedatangan Alana yang langsung berhambur memeluknya sambil menangis.

"Maafin Alana, Tante. Alana baru tahu kalau Nasya sakit," ucap gadis itu.

Tias merasa simpati melihat Alana, raut khawatir terlihat jelas di wajahnya yang cantik. Tias tidak bisa membayangkan bagaimana jika Alana tahu apa yang sebenarnya terjadi pada teman baiknya itu.

"Enggak apa-apa, Nak. Udah-udah, jangan nangis lagi, ya," balas Tias menenangkan, sesekali ia mengusap pelan punggung Alana yang naik turun sesegukan.

"Nasya enggak apa-apa kan, Tante? Aku denger dia mau bunuh diri," tanyanya.

"Dia udah baik-baik, kok. Tadi langsung ditangani sama dokter." Alana mengangguk, namun dalam hati ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi hingga Nasya hendak melakukan perbuatan yang sangat dilarang agama itu.

Di tengah-tengah pikirannya yang berkecambuk, pintu ruangan itu terbuka. Menampilkan sosok tegap ber-snelli putih, ia tampak tersenyum sebelum akhirnya berkata, "Orang tua pasien?"

"Saya, Dok." Tias langsung beranjak dari duduknya mendekati sang dokter.

"Bisa ikut ke ruangan saya, Bu? Ada beberapa hal yang perlu saya katakan."

"Iyah bisa, Dok," jawab Tias, ia kemudian mengikuti langkah dokter menuju tempat yang ia katakan tadi. Meninggalkan dua insan yang dihantui berbagai pertanyaan.

Alana melirik Rafly yang masih memandang punggung suster dan mamanya yang semakin jauh meninggalkan mereka. Perlahan bibir itu mulai bersuara, tidak tahan lagi dengan semua pertanyaan yang terus terputar di otaknya. "Apa yang sebenarnya terjadi sama Nasya?"

Rafly mendengar pertanyaan itu, namun ia hanya diam. Bingung ingin menjelaskan semua ini dari mana, dirinya belum mampu menceritakan semuanya. Ia linglung, masih tidak percaya kejadian saat ini apakah benar-benar nyata atau mimpinya saja.

"Kenapa dia bisa jadi kayak gini?" Alana memegang pundak kekasih sahabatnya itu dengan kencang. "JAWAB AKU, FI!"

*****

Have a nice day ❣️

Agliophobia (Tamat)Where stories live. Discover now