Aneh

559 22 2
                                    

"Happy Reading"

°°°°°

Alana melirik Rafly yang masih memandang punggung suster dan mamanya yang semakin jauh meninggalkan mereka. Perlahan bibir itu mulai bersuara, tidak tahan lagi dengan semua pertanyaan yang terus terputar di otaknya. "Apa yang sebenarnya terjadi sama Nasya?"

Rafly mendengar pertanyaan itu, namun ia hanya diam. Bingung ingin menjelaskan semua ini dari mana, dirinya belum mampu menceritakan semuanya. Ia linglung, masih tidak percaya kejadian saat ini apakah benar-benar nyata atau mimpinya saja.

Karena tidak kunjung mendapat balasan gadis itu kembali bersuara,"Kenapa dia bisa jadi kayak gini?" Alana memegang pundak kekasih sahabatnya itu dengan kencang. "JAWAB AKU, FI!"

"Aku enggak bisa cerita sekarang, Na," jawab Rafly, kepalanya tertunduk dalam seakan-akan tidak ingin menatap mata Alana.

"KENAPA!" Alana tidak habis pikir dengan sikap Rafly yang begitu berbeda.

"AKU ENGGAK BISA CERITA INI KE KAMU!" bentak lelaki itu, kini ia menatap nanar wajah Alana yang terkejut. Gadis di depannya tampak kacau, mungkin tidak jauh berbeda dengan penampilannya sekarang yang sama-sama kacau.

Alana diam membisu, timbul rasa bersalah di hati Rafly. Ia seharusnya tidak perlu sampai membentak gadis itu tadi, Rafly menyesal. Benar-benar sangat menyesal. Lelaki itu meraih tubuh Alana, menarik perlahan ke dalam pelukannya. Membekap erat, tubuh kecil itu.

"Sorry, enggak seharusnya aku bentak kamu tadi. Kalau keadaan udah lebih kondusif, aku bakal cerita semuanya." Alana hanya mengangguk, ia masih shock saat ini. Ketika tiba-tiba Rafly memeluknya erat, menimbulkan perasaan aneh yang sangat asing bagi gadis itu.

Lama mereka berpelukan, Rafly masih betah memeluk tubuh Alana. Dan sebaliknya gadis itu pun merasakan hal yang sama, hati dan logikanya tidak sinkron. Seharusnya ia segera melepas pelukan kekasih sahabatnya ini, bukan hanya diam menikmati wangi tubuh Rafly yang tiba-tiba menjadi favoritnya.

"Alana, Rafly." Pelukan itu terlepas, ketika suara Tias terdengar lirih memanggil mereka. Kini keduanya seperti sedang tertangkap basah telah melakukan perselingkuhan dan dipergoki orang lain.

Mencoba menghilangkan rasa kikuk, Rafly langsung angkat bicara, "Gimana keadaan Nasya, Ma."

Tias diam lalu menunduk, tarikan napasnya begitu dalam. Seolah-olah hal yang akan ia katakan begitu berat. "Dokter menyarankan Nasya untuk bertemu psikolog."

Flashback on ....

Tias duduk di depan dokter dengan nametag Faizal itu, tanpa basa-basi ia langsung menanyakan hal yang sejak tadi mengganggu pikirannya. "Apa yang sebenarnya terjadi pada anak saya, Dok? Sikapnya berubah-ubah dan tidak terkontrol, apa itu normal?"

"Selama di bawah pengawasan saya, anak ibu mengalami progres yang lumayan signifikan. Adapun untuk perubahan sikap yang tidak terkontrol itu bukan lagi masalah kesehatan tubuh, tetapi kesehatan mental yang perlu di diperhatikan lagi."

"Maksud dokter anak saya gila?" tanya Tias tidak percaya, ucapan dokter itu membuatnya tidak bisa berpikir jernih.

Dokter menggeleng pelan, tidak membenarkan apa yang dikatakan wanita paruh baya itu. "Penderita gangguan mental atau mental illness tidak bisa langsung dikatakan sebagai orang gila. Bisa jadi ada faktor-faktor lain yang memengaruhi penderita sehingga tidak mampu mengendalikan pemikiran, perasaan, perilaku dan suasana hatinya."

Tias kembali menangis mendengar penjelasan dokter barusan, begitu besar cobaan yang harus dilalui anak kesayangannya itu. Anak yang begitu ia manja saat ini harus menghadapi penyakit mental yang merebut paksa masa depannya.

"Apa yang harus saya lakukan, Dok," tanya Tias pada dokter Faizal.

"Anak ibu perlu penanganan khusus yang perlu ditangani oleh orang yang tepat, karena ini hal yang tidak bisa dianggap enteng," balas Dokter Faizal mengambil keputusan.

Flashback off ....

Rafly terduduk lemas, ia tidak menyangka ternyata Nasya separah itu sampai harus melibatkan seorang spesialis mental dalam penanganannya. Tidak berbeda jauh dengan apa yang dirasakan Rafly, Alana pun sama-sama tidak percaya sahabat baiknya yang selalu ceria itu harus mengalami hal ini.

*****

Pintu berderit terbuka pelan, Rafly melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, Rafly memilih untuk pulang terlebih dahulu karena nanti malam ia akan kembali lagi ke rumah sakit.

"Shalom," ucap lelaki itu, patung bunda Maria dengan salib besar menjadi pemandangan pertama yang ditangkap netra hitamnya.

Rafly langsung saja menaiki tangga setelah mengunci pintu, jam-jam segini orang tuanya memang belum pulang ke rumah. Apalagi kemarin ayahnya sempat meminta izin akan lembur, jadi dapat dipastikan mereka akan pulang terlambat hari ini.

"Eh, aden udah pulang." Langkah Rafly terhenti, badannya memutar melihat seseorang yang sudah tidak asing lagi baginya.

"Iyah, Mbok."

"Udan makan, Den?" tanya Mbok Nem, pembantu rumah tangga sekaligus pengasuh Rafly sejak kecil.

"Belum, mau mandi dulu. Mbok udah makan?," balas Rafly bertanya balik pada pengasuhnya.

"Udah tadi, Den. Ya sudah Mbok mau panasin sayur dulu, Aden mandi terus langsung ke dapur," suruh Mbok Nem.

"Iyah siap, Mbok. Aku naik dulu." Setelah mendapat balasan dari Mbok Nem, Rafly kemudian melanjutkan langkahnya ke kamar dan langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya.

Lima belas menit berlalu, kini Rafly telah menyelesaikan kegiatannya. Ia menuruni tangga menuju dapur, pandangan pertama yang Rafly lihat adalah punggung lebar Mbok Nem yang tengah menyiapkan lauk pauk yang akan lelaki itu makan.

"Mbok Nem."

"Eh, astagfirullah. Saya kaget loh, Den." Mbok Nem memukul pelan lengan Rafly, namun tidak sampai menyakiti lelaki itu.

Rafly tertawa melihat ekspresi wanita yang begitu berarti di hidupnya, ia selalu ada untuk Rafly ketika kedua orang tua lelaki itu sedang sibuk dengan pekerjaan yang tidak tahu kapan habisnya. "Maaf, Mbok. Bercanda."

"Ya sudah sini makan, Den. Sayurnya udah Mbok panasin." Rafly menurut, ia duduk dan mulai menyendokkan nasi berserta lauk pauk ke piringnya.

Rafly makan dengan hikmat, Mbok Nem sejak tadi hanya diam sampai anak majikannya itu menyelesaikan kegiatan makannya. Lelaki itu meneguk air sebagai penutup lalu menyenderkan tubuhnya ke kursi.

"Gimana keadaan Non Nasya, Den?" tanya Mbok Nem, ia memang sudah mengenal Nasya. Gadis itu memang beberapa kali datang berkunjung ke sini, apalagi Rafly yang sering sekali menceritakan tentang Nasya membuat Mbok Nem cukup mengenal pribadi gadis itu.

Sebelum membalas pertanyaan Mbok Nem, Rafly tampak menghembuskan napasnya kasar. Seolah ia sedang menghindari pembahasan tentang ini. "Nasya masih di rawat, Mbok. Nanti malam Rafly mau ke sana lagi buat gantian jagain dia."

Mbok Nem menatap sedih pada lelaki di depannya ini yang sudah ia anggap anak sendiri, ia tahu bagaimana perasaan Rafly. Lelaki itu begitu mencintai Nasya, namun Mbok Nem juga tahu ada tembok tinggi yang menjadi pembatas mereka bersatu.

"Apa enggak sebaiknya berhenti aja, Den?"

 
*****

Have a nice day ❣️

Agliophobia (Tamat)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ