Cerita

364 16 4
                                    


"Happy Reading"

°°°°°


Rafly memutuskan untuk pamit setelah mendapat telepon dari Geva, ternyata kakaknya itu tengah menunggunya di apartemen lelaki itu. "Sorry, Na. Aku enggak bisa nemenin kamu, soalnya Bang Geva udah nungguin aku di apartemennya."

"Iyah, enggak apa-apa, Fi. Aku juga bentar lagi mau pulang, kok," ucap Alana, sebenarnya masih ada yang ingin ia katakan pada kekasih sahabatnya itu. Namun rupanya situasi sedang tidak tepat untuknya membahas soal perasaan di sini, mungkin lain waktu ia bisa lebih lama mengobrol dengan Rafly.

"Ohh, Iyah. Aku cabut duluan, ya."

"Iyah hati-hati, Fi." Rafly mengangguk saja, ia segera berlari meninggalkan Alana di sana.

Setelah kepergian Rafly, kesunyian datang menghampirinya. Alana sesekali menyesap es kopinya, pikirannya kalut. "Enggak seharusnya perasaan ini tumbuh."

*****

Ceklek ....

Pintu terbuka, menampilkan wajah Geva yang tampak muram. Rafly langsung masuk begitu saja setelah mengunci pintu sebelumnya. "Tumben banget manggil aku ke sini, mau ngomong apa?" tanya Rafly tanpa basa-basi.

Lelaki itu duduk di sofa sedangkan Geva berada di seberangnya. "Gue pengen cerita sama lo."

"Cerita aja."

Geva tampak ragu-ragu untuk mengatakan hal yang katanya penting itu, ia tampak gelisah dan terus menghela napas. "Gue enggak tahu ini nyata atau enggak."

"Maksudnya?" Rafly tidak paham dengan ucapan Geva, ucapannya tampak ambigu. Apa lelaki itu sedang membicarakan hal mistis?

"Gue kayaknya ... udah perkosa anak orang," ucap Geva ragu-ragu, Rafly melebarkan matanya setelah mendengar itu. Sangat terkejut dengan apa yang telah Geva ceritakan.

"Siapa, Bang! Kok bisa?" desak lelaki itu.

"Gue enggak tahu, gue mabuk." Geva tertunduk, ia benar-benar tidak ingat apa yang terjadi pada malam itu. Ia saja tersadar sudah di kost Damar–teman baiknya.

Geva kemudian menjelaskan ketika Damar bercerita bahwa dirinya menelpon lelaki itu dalam keadaan mabuk. Damar yang khawatir langsung melacak keberadaannya dan akhirnya menemukannya dalam keadaan setengah telanjang di pinggir jalan. Damar curiga ia telah melakukan sesuatu karena baju kaos yang ia pakai terdapat bercak darah. Rafly terdiam, ia masih belum menanggapi cerita dari kakaknya itu.

"Kamu beneran enggak ingat apa-apa, Bang?" tanya Rafly, setelah lama membisu.

"Gue lupa! Gue beneran kacau malam itu, sampe mabuk berat dan enggak ingat apa-apa. Gue sama sekali enggak pernah berniat ngelakuin ini, Fi!" jelas Geva, ia sungguh menyesal jika memang benar dirinya telah merusak harga diri seorang wanita yang bahkan sama sekali tidak ia kenali.

Ia memang anak berandalan, namun Geva tidak pernah melakukan hal bejad itu pada kekasih atau mantan-mantannya. Geva selalu ingat hukum karma akan berlaku, ia takut karma akan mengenai bunda atau anak-anaknya nanti di masa depan. Ia begitu menghormati perempuan sebagaimana ia menghormati almarhum ibunya dan bunda.

"Aku paham, Bang. Tapi kasihan cewek itu, dia pasti trauma banget." Geva mengangguk, setuju dengan apa yang dikatakan Rafly. Siapa yang tidak trauma jika diperlakukan tak senonoh oleh orang yang tidak dikenal.

"Gue pengen minta maaf dan gue juga siap buat tanggung jawab," putusnya mantap, Geva berjanji ia akan mencari siapa gadis yang telah ia lecehkan. Ia juga akan bertanggung jawab atas segala konsekwensi yang terjadi setelahnya. "Bantu gue buat nyari cewek itu, Fi."

"Iyah, Bang." Geva tersenyum, ia kemudian meraih ponselnya dan mengetik nama 'Damar' di sana. Memencet tombol hijau bergambar telepon dan menunggu balasan dari seberang sana, tidak lama menunggu panggilan terhubung.

"Halo."

"Halo, Fa."

"Damar, gue pengen ketemu sama lo di cafe biasa deket kost," ucap lelaki itu, setelah terdengar suara di seberang sana.

"Sip, gue siap-siap dulu."

Panggilan telepon berakhir, Geva berdiri ia harus segera bersiap untuk bertemu Damar, sedangkan Rafly langsung menuju parkiran untuk mengambil mobil. Lelaki itu mengambil jaket hitamnya dan segera menemui Rafly yang menunggunya.

Tepat ketika Geva menutup pintu mobil, Rafly langsung saja menancap gas menuju tempat yang menjadi tujuan mereka untuk menemui Damar. Cafe itu tidak begitu jauh dari apartemen Geva, mungkin hanya membutuhkan lima sampai sepuluh menit jika jalanan tidak macet.

Sepertinya keberuntungan memihak mereka, keduanya terhindar dari macet dan sampai di cafe itu tepat waktu. Keduanya segera turun dan masuk mencari keberadaan Damar. Netra hitam Rafly menangkap keberadaan Damar yang duduk di pojok cafe dekat dengan jendela, lelaki berkaos hitam itu melambaikan tangannya ketika melihat Geva dan Rafly.

"Jadi gimana bro?" tanya Damar ketika ketiganya sudah duduk di tempat masing-masing.

"Gue mau minta penjelasan lebih detail soal kejadian Minggu lalu," balas Geva, ia hendak melanjutkan ucapannya namun tertunda karena pelayan cafe datang membawa daftar menu.

Setelah memesan dan pelayan itu pergi, mereka kembali memulai pembicaraan. "Gue mau tanggung jawab sama cewek itu."

"Sebenarnya gue sempet ketemu cewek sebelum nemuin lo tergeletak di jalan waktu itu," jelas Damar.

"Kamu masih ingat mukanya, Bang?" Damar menggeleng pelan sebagai jawaban pertanyaan Rafly.

"Sayangnya mukanya enggak kelihatan jelas, karena emang cuman sekilas doang. Gue enggak mikir sejauh itu makanya gue biarin dia gitu aja." Geva menghembuskan napasnya, ia harus merepotkan banyak orang akibat dari perbuatan bodohnya itu.

"Jadi gimana?" Geva bertanya putus asa.

"Kita tanya warga sekitar," usul Rafly, Damar dan Geva sempat saling menatap lalu mantap mengangguk.

"Gue setuju."

Tidak lama kemudian pelayan membawa pesanan mereka bertiga, setelah mengucapkan terimakasih ketiganya langsung menikmati makanan dan minuman itu. Namun sedikit berbeda dengan Rafly, entah mengapa pikirannya melayang. Ia terus kepikiran tentang Nasya, kejadian Geva memang hampir bersamaan dengan musibah yang menimpa kekasihnya.

"Enggak! Enggak mungkin Bang Geva yang ngelakuin semua ini ke Nasya? Pasti cewe itu bukan Nasya," pikirannya bergejolak, seolah tubuhnya ini membentuk dua kubu yang saling tolak menolak.

Satu sisi Rafly percaya tidak mungkin kakaknya yang melakukan itu pada Nasya dan di sisi lain mungkin saja cewek yang menjadi korban Geva adalah kekasihnya. Lelaki itu benar-benar tidak bisa berpikir jernih, rasanya kepalanya kembali berdenyut nyeri.

"Rafly!" teriak Geva ketika mengetahui adiknya tiba-tiba saja mimisan. Ia segera mengambil beberapa tissue untuk mengelap darah yang keluar dari hidung Rafly.

"Udah, Bang. Aku enggak apa-apa." Rafly mengambil alih tissue di tangan Geva dan langsung membersihkan hidungnya itu.

*****

Have a nice day ❣️

Agliophobia (Tamat)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora