Tanpa kabar

954 36 1
                                    


"Happy Reading"

°°°°

Kringg ... Kringg ... Kringg....

Akhirnya bel pergantian jam berbunyi, Alana berjalan was-was menuju kelas. Takut-takut kalau Bu Rini masih ada di dalam kelas, namun keberuntungan tidak memihak pada Alana.  Saat gadis itu akan masuk ke kelas, tiba-tiba Bu Rini muncul dari dalam kelas. Rupanya guru itu menghiraukan pergantian jam pelajaran dan terus menerus menjelaskan.

"Darimana saja kamu Alana?" Alana meruntuki kebodohannya, harusnya tadi ia tidak buru-buru kembali ke kelas.

"Saya tadi disuruh Bu Dewi ke perpustakaan, Bu. Disuruh bantu nyusun buku baru," alibi Alana sekenanya, ia tak memikirkan kejutan apa yang menantinya akibat dari menutupi kebohongan dengan kebohongan.

Guru paruh baya itu menatap Alana sinis, sedangkan gadis yang dipandangnya itu terus melantunkan doa agar ia bisa selamat dari jeratan guru killer ini. "Ya Allah, selamatkan hambamu ini dari jenis manusia seperti ini," batinnya memohon.

"Ya sudah cepat masuk, gurumu sebentar lagi pasti masuk. Nanti kamu di alpa lagi." Alana bernafas lega, ternyata doanya masih di hijabah oleh Allah.

"Siap, Bu. Siap," balas Alana, lalu pamit untuk masuk ke kelas.

Saat masuk, matanya tertuju pada bangku Nasya yang kosong. Tidak terlihat batang hidung sahabat baiknya itu. "Nasya enggak datang?" tanyanya pada Alfi–teman kelasnya.

"Enggak, Na. Orang tuanya tadi datang bawa surat sakitnya," balas Alfi, tangannya menunjuk kertas yang tergeletak di atas meja guru.

"Thanks infonya, Al." Alfi mengangguk lalu kembali fokus pada kegiatannya mengerjakan tugas.

Alana duduk di bangkunya dengan perasaan lesu, biasanya kalau jam kosong begini ia selalu pergi ke kantin bersama Nasya. Namun gadis itu sejak tadi malam tidak ada kabar, membuat Alana merasa gelisah.

Gadis itu meletakkan kepalanya di atas meja, ia memainkan ponselnya untuk mengusir kejenuhan yang melanda. Alana mengangkat kepalanya ketika mendengar suara yang tidak asing di kepalanya, itu suara Rafly. "Loh, Na. Nasya mana?"

"Nasya sakit," jawab Alana, ia sangat hafal tabiat Rafly ketika jam kosong pasti ke kelas untuk bertemu dengan sahabatnya.

"Dari semalem nomornya enggak bisa dihubungin," tutur Rafly, ia menatap pesannya yang sejak semalam tidak mendapat balasan.

"Sama, Fi. Dia tadi malam dari rumah, cuman pas mau pulang handphonenya low-bat," balas Alana, Nasya benar-benar membuatnya gelisah sejak tadi malam. Ini bukan kebiasaan Nasya yang suka menghilang tanpa kabar, biasanya gadis itu tidak pernah alpa untuk aktif di semua media sosialnya.

"Padahal pulang sekolah nanti kita berdua ada janji mau pergi nonton bareng," ucap Rafly, Alana yang mendengar itu hanya menghembuskan napasnya jenuh. Pasangan yang satu ini memang sangat bucin, bahkan bisa dibilang bucin tingkat akut.  

"Ya udah, samperin aja ke rumahnya. Simpel, kan? Sekalian nanya kabar tu bocah," saran Alana, sebenarnya ia berniat pergi melihat keadaan sahabatnya. Namun karena jarak rumah Nasya jauh, Alana berpikir ulang dan memilih menyarankan Rafly untuk menggantikannya.

"Iyah, deh. Aku masuk dulu, Na."

"Jangan lupa video call kalau udah sampe sana, aku pengen ngomong sama Nasya," teriak gadis itu ketika Rafly pergi begitu saja setelah pamitan singkat. Lelaki itu hanya mengangkat tangannya dan memberi isyarat 'oke' dan berlari semakin jauh.

Sedangkan, di lain tempat ....

"Nak, makan dulu, ya? Dari pagi kamu belum sarapan, loh." Tias mendekati anaknya yang sejak tadi hanya duduk di pinggir ranjang sambil menatap ke jendela, di luar memang sedang hujan. Wanita paruh baya itu tahu Nasya memang sangat menyukai hujan dan anaknya itu akan sangat bahagia, namun kali ini berbeda. Nasya menatap hujan dengan tatapan kosong, bibir pucatnya membuat Tias begitu khawatir.

"Makan, ya? Biar kamu ada tenaga." Tias kembali bersuara karena sejak tadi Nasya tetap tak menanggapi ucapannya. Gadis itu melirik sebentar ke arah Mamanya, di tangan Tias terdapat sepiring bubur Manado kesukaan. Padahal dulu ketika Tias memasak bubur Manado Nasya akan menyambutnya dengan tidak sabar, namun saat ini untuk berbicara saja rasanya Nasya tidak kuat.

"Cobain dulu, yuk. Ini Mama masak khusus buat kamu," ucap Tias sambil menyodorkan satu sendok bubur di hadapan anaknya.

"Nasya masih kenyang, Ma. Nasya mau tidur," balas gadis itu, ia kemudian merebahkan tubuhnya dan tidur membelakangi Tias.

Tias hanya menghembuskan napasnya lelah, sejak kejadian itu Nasya berubah. Perubahan itu sangat terasa bagi Tias, anaknya yang dulu begitu ceria kini cenderung lebih sensitif dan murung. Tias tahu apa yang di alami Nasya memang sebuah beban berat yang harus gadis itu tanggung, sebenarnya Tias sudah beberapa kali mengajak Nasya ke psikolog untuk konsultasi, namun anaknya tetap kekeuh mengatakan bahwa ia baik-baik saja.

Wanita paruh baya itu kemudian memilih untuk meninggalkan Nasya sendiri di sana, ia juga meninggalkan sepiring bubur tadi di meja samping ranjang anaknya. Tias pikir Nasya buruh ketenangan untuk menghilangkan semua pikiran buruk yang mendiktenya terus-terusan.

Prang!!

Tias terperanjat mendengar suara itu, ia yang baru saja meninggalkan kamar Nasya langsung memutar balik dan berlari ke sumber suara. Wanita paruh baya itu begitu terkejut ketika melihat piring berisi makanan tadi sudah hancur berkeping-keping, keterkejutannya tidak sampai di situ saja. Di sana ia mendapati Nasya dengan pecahan piring tadi yang hendak ia pakai untuk menyeset nadinya.

"Nasya!" panggil Tias panik, ia berlari ingin mengehentikan niat anaknya,  namun sepertinya ia terlambat.

Srettt ...

Darah mengucur dari bekas luka sayatan di lengannya, gadis itu hanya diam mematung menatap darah yang semakin banyak. Nasya seolah-olah tidak merasakan nyeri dari apa yang telah ia perbuat. Buru-buru mamanya itu merebut paksa pecahan piring di tangan Nasya, ia langsung menyobek sarung untuk mengikat tangan Nasya guna menghentikan pendarahan di lengannya.

Tidak lama kemudian, Nasya ambruk di pelukan Tias. Gadis itu terkulai lemas akibat banyaknya darah yang keluar, apalagi ditambah tenaganya yang sama sekali tidak terisi sejak kemarin. Tias panik, ia berteriak minta tolong kepada siapapun yang mendengar teriakannya.

"TOLONG!! TOLONG!!"

Bertepatan dengan itu, Rafly muncul dari luar. Ia langsung berlari menghampiri kekasihnya yang sudah tidak sadarkan diri, tanpa basa basi ia langsung mengangkat tubuh ringkih itu menuju mobilnya.

"Nasya bangun, Nak." Tias mengikuti langkah Rafly yang menggendong anaknya menuju mobil, ia membantu meletakkan Nasya di jok belakang. Selesai dengan posisi Nasya, Rafly langsung menancap gas menuju rumah sakit terdekat.

Selama perjalanan Tias menumpuk pipi Nasya untuk membangunkan gadis itu, namun sangat disayangkan ia tidak merespon panggilan mamanya. Mobil Rafly membelah jalanan yang ramai itu dengan lincah, meskipun lelaki itu masih sekolah tetapi skill mengemudinya tidak dapat diragukan.

****

Have a nice day ❣️

Agliophobia (Tamat)Where stories live. Discover now