Berhenti?

523 21 2
                                    

"Happy Reading"


°°°°°

"Apa enggak sebaiknya berhenti aja, Den?"

Rafly menatap nanar pemilik wajah teduh yang selalu menjadi panutannya itu, lagi-lagi ia disarankan untuk berhenti. Rafly bukannya tidak tahu seberapa kecil peluang keduanya untuk bersatu, namun ia percaya cinta mereka akan menemui jalan bahagia, Rafly yakin itu.

"Aku enggak bisa ninggalin Nasya sekarang, Mbok. Nasya ada di titik terendah dalam hidupnya, ia butuh support dari aku," jelas Rafly.

"Tapi bukannya ini saat yang tepat buat Aden lepasin Non Nasya?" Rafly menggeleng, menolak mentah-mentah pendapat Mbok Nem, ia tidak sejahat itu untuk meninggalkan Nasya untuk berjuang sendiri. Rafly akan selalu menemani gadis itu sampai ia benar-benar bangkit lagi.

"Sekarang aku akan fokus jagain Nasya, Mbok. Mungkin bukan saat ini aku lepasin dia," jelas lelaki itu, Mbok Nem hanya diam. Membiarkan Rafly berjuang untuk mendapatkan restu dari Sang Pencipta.

****

Rafly memarkirkan motornya, ia kini baru saja sampai di rumah sakit tempat Nasya di rawat. Ia berjalan sambil menenteng kantong plastik berisi sempol ayam kesukaan gadisnya. Senyum tercetak di wajahnya, Rafly mempercepat langkahnya menuju ruang inap Nasya.

Lelaki itu mendorong pelan pintu ruangan 'Melati', netra hitam itu langsung mendapati wajah tenang Nasya yang tengah tertidur. Senyum Rafly semakin lebar, ia berjalan mendekati ranjang Nasya. Mengelus pelan rambut hitam yang wanginya menjadi salah satu wangi favorit lelaki itu.

Rafly meletakkan bawaannya di meja, lalu duduk di samping ranjang Nasya. Ia menatap lama wajah cantik pacarnya, mengamati lamat-lamat ukiran sempurna ciptaan tangan-tangan Tuhan. Perhatiannya teralih ketika mendengar dorongan pintu yang ada di belakangnya, tidak lama muncul Tias dengan menenteng mukena dan sajadahnya.

"Eh, Rafly. Udah lama, Nak?"

"Baru sampai kok, Ma. Mama udah makan?" ucap lelaki itu.

"Sudah kok, barusan."

"Mama jadi panggil psikolog?" tanyanya.

"Jadi, cuman jadwalnya padet. Makanya kebagian sesi siang hari Selasa," terang Tias.

Asyik mengobrol sehingga mereka berdua tidak menyadari Nasya kini telah sadarkan diri. Ia hendak berteriak lagi, namun dengan lamat-lamat ia memperhatikan ternyata dia Rafly, pacarnya.

"Rafly," panggil Nasya lirih, pemilik nama itu langsung berbalik dan mendapati gadisnya yang tersenyum melihatnya. Senyum yang rasanya sudah lama sekali tidak ia lihat.

"Nasya." Rafly mendekat, menggenggam erat tangan mungil yang sangat pas dengan tangannya. Lelaki itu tersenyum, bahagia rasanya kini Nasya sudah mengenalnya.

"Aku takut," cicitnya lirih, senyum manis itu luntur berganti dengan tangis sendu yang menyayat hati.

"Aku di sini, Sya. Udah, ya? Kamu enggak usah takut lagi," ucap Rafly menenangkan, yang dibalas anggukan kecil dari Nasya. Melihat itu Tias perlahan mundur, sebaiknya ia menunggu di luar saja. Membiarkan keduanya berbicara terlebih dahulu.

Rasanya Rafly tidak bisa membendung kebahagiaannya ketika melihat Nasya sudah kembali seperti dulu lagi, setelah berbincang-bincang ringan tiba-tiba Rafly teringat bawaannya tadi. "Aku bawa makanan kesukaan kamu."

Mata Nasya berbinar mendengar kalimat itu, ia dengan semangat langsung berkata, "Sempol?"

Lelaki itu tertawa kecil dan mengangguk, Nasya memang selalu semangat ketika membahas makanan yang satu ini. Ia bahkan tidak pernah bosan memakannya bahkan sampai puluhan tusuk. Rafly mengambil satu tusuk sempol ayam yang ia bawa tadi, lalu menyodorkannya pada Nasya.

Dengan lahap gadis itu memakannya, melupakan bahwa tadi Nasya hampir saja kehilangan nyawanya. Rafly seolah merasa mereka berdua sedang makan sempol di pinggir jalan. Di tempat langganan mereka yang setiap pulang sekolah selalu menjadi tempat nongkrongnya.

"Enak, enggak?" tanya Rafly.

"Selalu enak." Nasya tersenyum setelah mengatakan itu, senyum yang menular pada Rafly.

Setelahnya tidak ada percakapan di antara mereka, Rafly membiarkan Nasya menghabiskan makanannya. Ia sesekali menyodorkan segelas air untuk gadis itu. Akhirnya sempol terakhir sudah selesai dikunyah, Nasya mengakhiri makannya dengan senyum bahagia.

"Makasih ya, Fi. Aku suka banget, enak," ucap gadis itu.

"Iyah, Sya. Kamu cepetan sembuh biar kita bisa makan langsung di tempat, sambil ngitung mobil yang lewat." Nasya mengangguk dengan semangat, layaknya bocah TK yang dijanjikan mainan.

Rafly kembali teringat dengan ucapan Mbok Nem yang menyarankannya untuk berpisah dengan Nasya, bagaimana bisa Rafly lepas dari gadis di depannya ini. Selain cantik dan baik, Nasya selalu bisa mengerti keadaan Rafly. Dia bagaikan rumah kedua baginya.

Dia selalu berusaha untuk menjaga Nasya, membantu gadis itu untuk pulih dari rasa trauma yang masih membekas dalam ingatannya. Rafly yakin dia bisa membuat Nasya kembali seperti dahulu lagi, menjadi Nasyanya yang ceria dan penuh kebahagiaan.

"Aku bakal jagain kamu, Sya. Aku enggak akan ninggalin kamu duluan, aku akan sekuat tenaga buat ngeyakinin orang tuaku untuk bisa terima kamu," batin Rafly

Rafly terkejut ketika tiba-tiba Nasya memeluknya, awalnya lelaki itu bingung apa yang harus dilakukan. Namun lama-kelamaan ia mulai memeluk balik tubuh Nasya. Ia tidak tahu maksud dan tujuan gadis itu memeluknya secara tiba-tiba, apakah hanya bentuk spontanitas atau memang ada maksud lain. Rafly tidak tahu, tetapi ia tidak menolak pelukan hangat itu.

"Jangan pergi," ujar gadis itu, suaranya teredam dengan pelukannya yang erat. Namun masih terdengar jelas oleh Rafly. "Jangan tinggalin aku sendiri lagi, aku takut."

Lagi-lagi ia tidak bisa menjawab ucapan Nasya, ia tidak mau memberi harapan pada gadis itu. Rafly tahu betul hubungan mereka memang sebaiknya tidak pernah terjadi dan bodohnya lelaki itu baru sadar akhir-akhir ini. Rafly sudah tidak ingin memberi harapan pada Nasya, ia tidak bisa lagi berjanji untuk selalu berada di sisinya.

Merasa tidak mendapat balasan, perlahan pelukan itu melonggar. Nasya menatap Rafly yang hanya memandang lurus ke depan, lelaki itu sejak tadi melamun?

"Rafly?" panggil Nasya, lelaki itu langsung menoleh menatap wajah kekasihnya yang tampak bingung. "Kamu kenapa?"

"Eh, enggak. Kamu tadi ngomong apa?" Bohong, Rafly pura-pura tidak mendengar ucapan Nasya. Agar gadis itu tidak membahas lagi perihal kejelasan hubungan mereka.

"Enggak." Nasya memang tipe orang yang malas mengulang ucapan untuk kedua kali, jadi ketika ia berbicara dan lawan bicaranya tidak mendengarkan dengan baik dan meminta mengulang ucapannya lagi maka Nasya hanya akan berkata 'tidak'.

Tanpa mereka sadari ada seseorang yang menatap aktivitas keduanya dari balik pintu yang sedikit terbuka, tangannya meremas bajunya menahan rasa cemburu yang membara. "Aku akan rebut Rafly dari kamu, Sya. Aku enggak akan biarin kamu bahagia, aku akan buat hidup kamu hancur sehancur-hancurnya!"

*****

Have a nice day ❣️

Agliophobia (Tamat)Where stories live. Discover now