Kakak?

483 17 1
                                    


"Happy Reading"

°°°°°

Rafly baru saja pulang dari rumah sakit, saat ini sudah pukul empat sore yang artinya sebentar lagi kedua orang tuanya akan pulang. Lelaki itu memutuskan untuk membersihkan diri, sebelum akhirnya memulai dinner bersama keluarganya.

"Udah pulang, Dek?" Suara itu menghentikan langkah kaki Rafly, ia menoleh dan mendapati Cedric Gevariel, atau yang sering ia panggil Bang Geva.

"Bang Geva, kapan sampai?" tanya lelaki itu, ia memutuskan untuk menunda kegiatan mandinya dan memilih untuk duduk bersama kakaknya.

"Di Indo udah ada semingguan, cuman kalau sampe rumah baru kemarin. Lo sih enggak pernah pulang makanya kemarin kita enggak ketemu," jelas Geva, lelaki ini memang tinggal di luar negeri. Ia bahkan jarang pulang sekalipun saat ini lelaki itu sudah wisuda, makanya kedatangan Geva membuat Rafly kaget bukan kepalang.

"Tumben ingat pulang, biasanya kalau di suruh pulang banyak banget alasannya," cibir Rafly yang disambut tawa renyah dari kakaknya itu.

"Sebenarnya gue ada urusan di sini, tapi kayaknya gue bakal netap di Indo aja."

"Lebih baik gitu sih, Bang. Biar aku enggak kesepian banget di rumah, teman ngobrol aku di sini cuman Mbok Nem doang," tutur Rafly.

"Gue tahu lo pasti kangen banget sama gue," ucap Geva pede.

"Najis." Rafly berdiri, ia kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Geva yang tertawa melihat ekspresi adiknya yang sangat lucu baginya. Geva tahu adiknya itu begitu kesepian di rumah, apalagi melihat keadaan rumah yang seperti tempat bermain hantu ini.

Benar kata orang, lebih baik rumah sederhana yang di dalamnya penuh dengan suasana bahagia dan kehangatan yang begitu luas. Tidak peduli jika hari ini kamu hanya makan nasi garam asalkan disyukuri semua akan terasa nikmat apalagi di makan bersama keluarga tersayang.

Geva bersandar pada sofa yang ia duduki, kepalanya mendongak menatap langit-langit rumah yang berwarna putih dengan aksen warna gold di sana. Pikirannya melayang, membawa lelaki itu menuju ke alam mimpi. Tidak lama kemudian matanya tertutup dan laki-laki itu tertidur pulas di sofa dengan keadaan seperti itu.

*****

Rafly baru saja menyelesaikan kegiatan mandinya, kini ia menuruni tangga karena jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam yang artinya sudah waktunya makan malam.

Langkah kaki membawanya ke ruang makan, netra hitam itu menangkap pemandangan Geva yang sedang duduk di sana sendirian. Matanya menoleh ke sana-sini mencari keberadaan orang tuanya.

"Ayah sama Bunda belum pulang?" Geva menggeleng singkat sebagai jawaban pertanyaan dari adiknya itu.

"Tumben," ucapnya lirih.

"Kita makan duluan aja, gue tahu lo pasti lapar," ajak Geva, ia mulai menyendokkan nasi ke piringnya. Lalu menerima lauk pauk yang disodorkan oleh Mbok Nem. "Makasih, Mbok."

Kini giliran Rafly yang menyendokkan nasinya, namun belum sampai tangannya meraih sendok nasi. Mereka mendengar suara pintu terbuka, Rafly bisa menebak itu pasti kedua orangtuanya. Ia kemudian melanjutkan kegiatannya, menghiraukan mereka begitu saja.

Lima belas menit berlalu, Rafly dan Geva telah menyelesaikan kegiatan makan mereka. Keduanya memiliki rencana untuk pergi bersama, ke coffe shop di dekat rumah mereka. "Tunggu, gue mau ganti baju dulu."

"Iyah, Bang." Geva meninggalkan Rafly sendiri di sana, di meja makan besar yang di atasnya berisi beragam lauk pauk yang menggugah selera. Namun bagi Rafly makanan itu memang enak, ia mengakui makanan buatan Mbok Nem memang tidak pernah gagal. Tetapi jika ia bisa makan berempat bersama keluarganya, makanan itu akan terasa lebih nikmat lagi.

"Mbok, Rafly izin mau pergi dulu ya," ucapnya pada pembantu rumah tangga.

"Mau ke mana lagi kamu?" Bukan, itu bukan suara Mbok Nem. Rafly tahu betul siapa pemilik suara itu, dia adalah ayahnya, Dean Emanuel.

Rafly menatap wajah ayahnya yang baru saja mendudukkan bokongnya ke atas kursi makan. "Coffe shop."

"Dari mana saja kamu kemarin? Mabuk-mabukan lagi?" Suara bariton itu mulai terdengar, Rafly yang mendengarnya sedikit tersentil hatinya. Sejak kapan ia mabuk-mabukan, bahkan mencicipi minuman itu pun rasanya Rafly tidak pernah.

"Lagi?" balasnya. "Rafly enggak mabuk-mabukan, Yah! Meskipun Rafly kurang kasih sayang dari Ayah sama Bunda, tapi Rafly enggak pernah lampiasin ke minuman-minuman kayak gitu!" Wajah lelaki itu memerah, urat-urat di kepalanya menonjol ketika ia mengatakan itu.

"Kurang ajar! Sudah berani kamu sama ayah!" bentak Dean saat melihat Rafly hendak berdiri dari tempat duduknya.

Rafly tidak menggubris perkataan ayahnya, ia berlalu begitu saja meninggalkan ruang makan dengan emosi yang memuncak. Sakit rasanya ketika ia terus-terusan di tuduh melakukan hal yang bahkan Rafly sendiri tidak pernah melakukan hal tersebut.

"Dek ...." Geva mengurungkan niatnya untuk memanggil adiknya, ia tahu betul pasti Rafly sedang bertengkar dengan ayahnya. Hal lumrah terjadi ketika bundanya tidak ada di rumah, entah mengapa ayahnya selalu saja menuduh Rafly melakukan hal-hal buruk yang sebenarnya Geva yang melakukan, bukan adiknya.

Geva memang tidak memiliki ikatan darah dengan Rafly, namun ia begitu menyayanginya seperti adik kandungnya sendiri. Geva selalu merasa iba ketika Rafly sering diperlakukan tidak adil oleh ayahnya, hal ini terus berulang saat bundanya tidak rumah.

Namun ketika wanita itu di rumah, keluarga mereka akan sangat hangat layaknya sebuah keluarga harmonis yang diidam-idamkan banyak orang. Siapa sangka keharmonisan itu hanyalah cover saja untuk menutupi kasar dan buruk keluarganya.

Ini adalah salah satu alasan mengapa Geva jarang pulang ke rumah, ia malas jika harus melihat pemandangan ini. Enam tahun rupanya belum cukup untuk merubah sikap ayahnya pada Rafly, Geva sudah muak dengan Dean dan kemunafikannya.

"Geva," panggilan itu menghentikan langkah Geva yang hendak menyusul Rafly. Lelaki itu hanya menoleh ke sumber suara dan mengangkat alisnya seolah-olah berkata 'apa'.

"Mau ke mana kamu?" tanya Dean, nadanya sangat berbeda ketika berbicara dengan Geva. Dean lebih memelankan suaranya, dibandingkan saat berbicara dengan Rafly yang penuh emosi.

"Enggak ada urusannya sama lo," balas Geva kasar. Ia memang selalu seperti itu, Geva sangat berbeda dengan Rafly. Jika Rafly pintar dan sopan, maka Geva adalah antonim dari semua sikap Rafly, mereka berdua sangat berbanding terbalik.

"Geva!" Geva tidak menoleh lagi, ia langsung melangkahkan kakinya menuju garasi mobil. Mengabaikan panggilan dari ayah kandungnya.

*****

Have a nice day ❣️

Agliophobia (Tamat)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora