Kekecewaan

426 20 3
                                    

"Happy Reading"

°°°°°

Nasya memukul dadanya beberapa kali, rasa sesak seketika menyerang pernapasannya. Sakit sekali ketika hal pertama yang ia lihat adalah kemunafikan orang-orang yang sangat ia percaya. Gadis itu mengelap air matanya dengan kasar, lalu segera menghampiri mamanya yang pada saat itu hendak berjalan menuju parkiran motornya.

"Mama!" teriaknya, langsung memeluk wanita itu. Hal tersebut sontak saja membuatnya kaget bukan kepalang, ia merasakan anaknya yang terisak memeluk punggungnya.

"Kamu kenapa, Nak?" tanyanya bingung, pasalnya tadi Nasya baik-baik saja. Namun saat ini gadis itu tampak kacau dengan air mata yang menghiasi pipi putihnya.

Tias berusaha membalik badannya, memindahkan agar Nasya yang awalnya memeluk dari belakang kini berpindah menangis di dadanya. "Sa-sakit, Ma," ucapnya tersendat-sendat.

Nasya benar-benar terguncang hebat, ia menangis sesenggukan di pelukan mamanya. Tias seperti merasakan dejavu, tangisan anaknya itu sama seperti tangisannya saat kejadian malam itu. Benar-benar menyakitkan ketika diingat kembali.

"Sudah-sudah, Sya. Ayok kita pulang aja, ya," ajaknya perlahan ketika Nasya mulai sedikit tenang dan tangisannya mereda perlahan.

Gadis itu merenggangkan pelukannya, memberi jarak dengan tubuh mamanya. Samar-samar kemudian ia mengangguk dan keduanya memutuskan untuk mengendarai sepeda motornya meninggalkan area sekolah.

Kepergian keduanya tidak luput dari netra seorang gadis yang menatapnya sendu, sedih ketika ia harus berbahagia di atas luka perih sahabatnya. Perlahan ia menangkup wajahnya menyembunyikan tangisnya yang kini mulai terdengar.

"Maafin aku, Sya. Maaf ...."

****

Nasya duduk sendiri di pinggir ranjangnya, menatap nyalang hujan di balik jendela kamarnya. Gadis itu tengah melamun, pikirannya melayang meninggalkan raganya yang terduduk tak berdaya. Kejadian itu sudah seminggu yang lalu, namun luka yang ditimbulkan masih terasa basah hingga saat ini.

Selama seminggu ini pula Nasya tidak pernah keluar dari kamarnya, ia mengurung diri menutup akses bagi semua orang untuk bertemu dengannya termasuk Alana yang dua hari lalu kedapatan datang ke rumahnya untuk pertama kali semenjak gadis itu sakit.

Alana datang membawa beberapa buah dan makanan yang dulu menjadi favorit mereka berdua, namun sayangnya ia harus menelan pil kekecewaan saat sahabatnya menolak mentah-mentah kehadirannya di sana. Sakit hati Nasya rupanya tidak main-main, sebab itu wajar kan jika ia menolak kedatangan orang yang telah mengkhianatinya?

Tidak berselang lama kemudian Alana pulang setelah berbincang-bincang sedikit dengan Tias, Nasya tidak tahu dan tidak mau tahu tentang apa yang mereka bicarakan. Ia sama sekali tidak berminat untuk sekedar gabung dan bercanda dengan keduanya.

Rasa kecewa sepenuhnya merasuki tubuh gadis itu, ia benar-benar dikecewakan. Apalagi Rafly sama sekali tidak memberi alasan atas apa yang telah mereka lakukan dan Nasya menyimpulkan bahwa yang ia pikirkan itulah kenyataannya.

Sama sekali tidak pernah terlintas di pikirannya, lelaki itu akan berbuat serendah ini, apalagi dengan sahabatnya sendiri. Dulu memang sempat terlintas dalam benaknya untuk meninggalkan Rafly, membiarkan lelaki itu mendapatkan gadis baik yang akan menjadi teman hidupnya.

Alana memang gadis baik, tapi apa harus Alana yang menjadi pilihan lelaki itu? Mengapa harus sahabatnya sendiri? Nasya benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran Rafly.  Dan tentang Alana, kenapa tega-teganya ia memilih untuk mempacari pacar sahabatnya sendiri? Kenapa harus Rafly? Kenapa bukan lelaki lain?

Tok ... tok ... tok ....

Pikiran Nasya buyar setelah mendengar suara itu, matanya kini beralih menatap pintu kayu berwarna hitam di depannya. Tidak lama setelah ketukan pelan itu, seseorang di balik sana kembali bersuara, "Sya, Mama boleh masuk?"

Nasya berdiri, ia berjalan pelan untuk membuka pintu kamarnya. Ketika terbuka menampilkan Tias yang tersenyum dengan membawa baki berisi makanan dan obat gadis itu. Tias berjalan melewati Nasya begitu saja, kemudian meletakkan bawaannya di atas meja lalu menyusul anaknya yang tengah duduk di ranjangnya.

"Sya, Mama udah urus surat pindahmu. Besok kamu Mama antar ke sekolah barumu," jelas wanita itu. Nasya memilih untuk pindah sekolah, meninggalkan luka pedihnya di sekolah lamanya. Ia tidak sanggup jika terus di sana dan melihat kemesraan sahabat dan pacarnya. Ya, Nasya masih menganggap Rafly pacarnya, karena memang tidak ada kata putus di antara mereka.

Nasya memanggut kecil mendengar penuturan mamanya, ia sekarang lebih banyak diam. Rasanya sangat sulit untuk mengekspresikan perasaannya seperti dahulu, mulutnya seolah terkunci rapat untuk sekedar melakukan basa basi.

"Diminum obatnya terus istirahat, besok pagi kamu harus siap-siap sekolah," perintah Tias yang lagi-lagi diangguki oleh Nasya. Sebelum meninggalkan anaknya, wanita itu sempat mengelus pelan rambut hitam Nasya.

Dan kini Nasya kembali dengan kesendiriannya, setelah kepergian mamanya hanya kesunyian yang tinggal di kamarnya. Tidak ada suara atau bahkan bunyi notifikasi dari ponselnya. Jujur saya Nasya kesepian, namun ia tidak bisa mengungkapkan bahwa dirinya saat ini sedang butuh seorang teman.

Entah ide dari mana, gadis itu tiba-tiba sangat ingin membuka laptopnya. Ia mengambil benda itu di meja belajar dan mulai menyalakannya. Tidak menunggu lama benda itu kini telah menyala, Nasya merefresh beberapa kali dan mulai membuka folder 'pictures'.

Nasya melihat-lihat koleksi foto-foto beberapa temannya dulu, ia tersenyum kecil ketika menyadari bahwa dulu ia begitu ekspresif. Terlihat dari beberapa foto dengan gaya kocak yang mendominasi.

Di sana juga terdapat foto-fotonya dengan Alana, ada satu foto yang membuat gadis itu salah fokus

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Di sana juga terdapat foto-fotonya dengan Alana, ada satu foto yang membuat gadis itu salah fokus. Yaitu fotonya dulu saat study toor, Alana tampak memeluk tubuh Nasya dengan latar gedung bertingkat. View hotel yang mereka tempati saat itu begitu cantik sehingga Alana dengan heboh meminta Sinta untuk memotretnya bersama Nasya.

Mengingat itu membuat senyum bulan sabitnya terukir, saat itu masa-masa yang mereka lalui begitu indah. Bahkan di tempat itu pula Alana berjanji untuk selalu menjadi pendengar yang baik untuk Nasya dan begitu pula sebaliknya, janji yang dulu sangat berarti kini hanya tinggal ucapan omong kosong.

Nasya tahu semua akan pergi meninggalkannya, ia teringat sebuah kalimat yang dulu tidak sengaja ia baca di salah satu akun motivator di media sosialnya. Ia mengatakan bahwa 'setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya'. Gadis itu baru paham betul maksud dari kata-kata tersebut setelah kejadian ini, Nasya jadi paham kita tidak bisa meminta seseorang untuk tetap stay di samping kita. Menemani dan menjadi support sistem karena mereka juga berhak untuk memilih jalan hidupnya.

  
*****

Have a nice day ❣️

Agliophobia (Tamat)Where stories live. Discover now