Bagian 8

7 7 1
                                    

Naura menatap lama ke arah bawah bukit yang ada di hadapannya. Ia menangis terisak sambil berjongkok memeluk kedua lututnya erat.

"Ma-maafin Naura, ma. Ma-aaf karena Naura belum bisa jadi anak yang baik buat keluarga ini. Hiks.... hiks..."

"Na-naura be-benci semuanya, hiks..."

"Naura, nau-naura ga mau ketemu siapa-siapa sekarang. Pokoknya Naura benci sama dia, ma!!"

"Ketemu."

Sontak Naura menoleh ke arah belakang. Ia dengan cepat menyeka air matanya yang sedari tadi mengalir deras di pipinya.

"Lo siapa?" Tanya Naura menahan napasnya yang sesegukan.

Lelaki itu mendekati Naura dan ikut berjongkok di sebelahnya. "Pemandangannya cukup indah, ya."

"Cari tempat lain, gua lagi mau sendiri!"

"AKU PENGEN BEBASS!!" Sontak lelaki itu teriak.

Naura yang mendengar itu tertegun. Mengapa tiba-tiba berteriak? begitulah pikirnya.

"Cobain. Lebih lega kalau lo pakai tenaga dalam."

Naura kembali sesegukan. "Eh, lo..."

"Iya, gua. Pertemuan singkat ditemani buku berserakan di lantai koridor. Panggil aja Ray." Lelaki bernama Ray itu langsung berdiri dan turun dari bukit.

Naura menatap kepergian lelaki itu dalam diam. "Aneh banget." Batinnya.

"MAMAAAAA, NAURA KANGENN BANGET SAMA MAMAAA, HIKSSS....!!" Naura memegangi dadanya dan menangkup wajahnya menggunakan kedua tangan.

Setelah selesai meluapkan emosi, Naura langsung turun dari bukit tersebut.

"Nih."

"Gua ga haus."

"Ambil aja."

Dengan cepat Naura mengambil minuman yang diserahkan lelaki tadi. "Makasih."

"Jauh juga main lo."

"Apa?"

Ray menggeleng. "Ga ada."

"Pakai ini."

"Gua gapapa."

Dengan cepat Ray memasangkan syal hijau tersebut ke leher Naura. "Cuaca malam ga baik buat kesehatan."

Naura hanya diam menatap lurus ke depan.

"Tetaplah bernafas, meski tak merasa bebas."

Sontak Naura menghembuskan napas panjang.

"Semuanya akan baik-baik saja."

"Gua udah ga mau berharap apapun lagi. Semuanya terasa semu." - Naura

"Gua ga tau seberapa besar masalah yang lo hadapin, tapi kalau memang hal itu membuat lo sakit, menangislah. Karena hanya dengan itu lo bisa melegakan isi hati."

"Puitis."

Ray berdehem. "Kenalin, rajanya puisi."

"Buktinya?"

Ray tersenyum lebar. "Mau tau aja atau mau tau banget?"

"Dih, ga penting." Lirih Naura yang masih terdengar oleh Ray.

"Juteknya masih sama."

"Huhhh....." Naura menghela napas panjang.

"Mau tau ga, kenapa orang botak selalu bahagia?"

Naura menatap diam ke arah lelaki tersebut.

"Karna ga punya rambut, jadi dia juga ga punya beban."

Naura tergelak. "Apa-apaan, memangnya bisa gitu?"

D'amore (End)Where stories live. Discover now